Babak-babak yang terlewati, dalam satu kilas balik untuk mengenal diri sendiri. Kembali ke lingkungan yang sedari awal tidak tersangkakan. Bergerak dari desa-desa, ke wilayah pinggiran, sampai ke jantung-jantung kota. Suatu gambaran yang saya kira cukup realistis, bukan menyoal pada miskin atau kaya, namun rasa yang berasa paling Indonesia.
Saya merasakan keberadaannya, sebagai kekhasan desa yang dituntut untuk bertahan hidup, mengolah apa yang telah dilahirkan alam untuk menjadi kawan. Di tengah suasana politik yang kadang pasang dan terkadang juga surut, saya mencari suatu pikiran mengenai pengembalian untuk menilik jati diri. Bukan hal yang sulit, namun ragu karena harus menimbang-nimbang, keren atau tidak.
Permasalahannya, tidak ada pada keren atau tidak. Namun soal kesejatian, akan jati diri dan kekhasan yang memang harus ditonjolkan. Istri saya langsung saja mengatakan, “Tempe” makanan orang desa, juga orang kota. Begitu banyak hal yang paling Indonesia, namun istri saya tetap menyarankan keberadaan Tempe ini. Menurutnya, Tempe bisa di dapatkan dimana saja, terhidang dari pedagang kaki lima sampai ke restoran yang berbintang lima (kalau penilaian status kelas restoran dapat disamakan dengan hotel, karena saya tidak mengerti soal ini).
Tempe, makanan khas Indonesia sampai dalam film “Ketika Cinta Bertasbih”, di sana kita temukan bahwa Tempe dapat dijadikan sumber penghasilan di Kairo. Makanan yang dibuat dari Kedelai, dicampur dengan bahan fermentasi yang menghasilkan rasa khas.
Makanan ini banyak dikonsumsi – sebagai lauk maupun sebagai cemilan (gorengan) – oleh orang kota dan desa. Makanan rakyat yang memang benar-benar merakyat. Bergizi tinggi, serta memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Dapat bersaing dengan Pizza pun Hamburger, juga Spageti. Orang miskin bisa saja tidak pernah makan Pizza, tapi dapat dipastikan kalau orang kaya pernah merasakan apa yang namanya Tempe. Inilah makanan yang dapat memberikan kita pelajaran mengenai arti dari “merakyat”, seluruh dari elemen masyarakat bisa memanfaatkannya. Yang paling Indonesia itu, cukup sederhana dialah “TEMPE”.
StudioSDS – 11 Mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H