Sebuah periode, dalam suatu perjalanan hidup manusia seringkali kita bertemu dengan berbagai hal yang berada di posisi sulit. Posisi ini, mungkin akan kita katakan sebagai bencana, suatu tragedi, atau kesakitan-kesakitan yang keberadaannya tidak mudah kita mengerti, sebab tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Ingatkah kita pada bencana alam di hari kedua puluh tujuh pada bulan Mei di tahun kosong tujuh?
Darisana lah keadaan ini dimulai. Kesakitan yang teralami oleh masing-masing kita mengingatkan pada penderitaan kematian. Tidak, bukan penderitaan saat kita mati, namun lebih penderitaan untuk melepaskan orang yang kita cintai mati. Melepas untuk terkubur di dalam tanah, tidak bisa kita jumpai, kita pegang tangannya, kita rasai manis senyum dan lain sebagainya. Hanya gambaran-gambaran dalam ingatan yang dapat kita temui. Kenangan yang terkadang membuat diri kita masuk ke dalam genangan sedih yang terus berturut-turut.
Tapi tetap saja, meski kesedihan atau kebahagiaan yang akan kita rasakan, itu hanya sebatas pada kenangan. Oleh-oleh dalam perjalanan hidup untuk kita jadikan semacam kenang-kenangan, dimana kita bisa bercerita pada istri, anak-anak kita, orang tua kita, sahabat-sahabat kita, bahkan orang lain.
Melalui tulisan ini, saya mencoba berbagi oleh-oleh itu. Manis dan pahit berusaha untuk dicampur menjadi satu. Manis biar tidak terlalu manis, sedang yang pahit tidak juga terlalu pahit. Kematian hal sederhana namun menjadi begitu besar dan sebagai momentum agung bagi manusia. Bagaimana siklus kematian itu? Mula juga bagaimana akhir dari kematian?
Apa yang berat dalam menerima kematian itu? Kenapa kita lebih takut mati ketimbang takut pada hidup?
Kantor Jurnal Biro Khusus Sarekat Sastra Indonesia – Yogyakarta, 23 November 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H