Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dari "Kawin" ke Religiusitas

12 November 2012   10:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:34 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertemuan dengan seorang dimedan dunia maya dapat saja terjadi pada sesiapa pun. Asal dia memiliki koneksi, baik sebagai rekan dalam jejaring soal yang bernama Facebook atau apa pun. Dan hal ini adalah biasa-biasa saja.

Pertemuan saya dengan manusia itu, ada pembukaan yang lumayan cukup menyenangkan. Membicarakan masalah “kawin” yang dalam berbagai sudut pandang. Istilah kawin ini sebagai suatu kegiatan yang dapat dikatakan memiliki sisi-sisi keunikan. Pada umumnya, manusia senang dengan kegiatan kawin berkawin ini. Yah, memahami kondisi akan kebutuhan alamiah manusia itu, saya pun mengiyakan, terlebih lagi memaklumi adegan kawin mengawin. Tentu saja, harus berada dalam kondisi, waktu, dan cara yang tepat sehingga rasa nikmat dan kesenangan yang diciptakan tidak menjadi sesuatu yang akhirnya nanti merugikan.

Peristiwa yang menyoal kawin tiba-tiba saja, berubah menjadi suatu perbicangan mengenai tatanan religius ketika mempersoalkan pada sah atau tidaknya kegiatan kawin tersebut. Sah dan tidaknya diukur dari sisi religius, dalam hal ini kita sebut dengan agama. Kegiatan kawin harus tertib sesuai dengan sistem pengaturan yang ada di dalam agama, begitu saya pernah dinasehati seorang kawan.

Anehnya, setiap kali pembicaraan sudah memasuki ke dalam sistem keagamaan, maka ada juga yang nyeletuk yang entah dia mengerti atau tidak. kata orang itu seperti ini, “agama hanya buatan manusia” secara tidak langsung menolak unsur keagamaan yang mengatur urusan manusia. Saya pun langsung mengatakan, kalau manusia tidak mampu membuat alat-alat untuk kawin, tidak mampu membuat energi, tidak mampu membuat unsur-unsur terkecil dari kehidupan beragama itu, jadi lantas, “kenapa kamu harus membuat-buat? Dan kita sama-sama menunggu hari itu, dimana kita tidak bisa berdialektika soal keagamaan kita atau penyembahan kita pada Tuhan Yang Esa.”

Yogyakarta, 12 November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun