Hidup seringkali menghantarkan pada persimpangan rumit. Bukan sekedar antara kanan atau kiri. Lebih dari itu, terbangun pada jalinan kompleksitasnya benang kusut. Menjadikan pikiran yang tadinya bening untuk berubah keruh. Sampai tidak mampu berkaca di sana. Ada selintas bayang menghalangi. Merebut jernih yang lama berusaha untuk diendapkan. Saya berusaha untuk tetap waspada, memutar kembali perjalanan dan pertarungan di persimpangan. Ternyata, sudah jauh waktu melaju sampai ada yang tertinggal.
Teringat pada hari lalu disaat hati mengeras, ketika saya dan istri bergemuruh panjang. Hidup ketika itu begitu sederhana. Saya lihat dari kacamata seorang anak petani yang tidak tertalalu tinggi melambungkan mimpi. Namun, realitas meniupku ke dalam kompleksitas tersendiri. Kenyataan hidup menghadirkan suasana baru. Dahulu, pada hening malam saya memburu cahaya pengertian, pertemuan yang seringkali disebut dengan Kemesraan Pecinta. Hari ini semuanya berubah. Yang ada di benak bagaimana cara memburu kesenangan di atas dunia ini. Mencapai apa yang namanya kepuasan, kekayaan, prestise. Yah, itu yang namanya pengakuan secara “umum” dalam pandangan masyarakat di zaman modern sekarang ini.
Keengganan untuk ikut ber-urban, membawa pada kalimat tersendiri. Berangkat dari kota yang riuh dengan kepentingan menuju ke pedesaan di atas puncak yang teramat asing. Demi apa? Ada yang membisik, semua demi suaka ekonomi keluarga yang setiap harinya semakin membobot berat. Tidak! Kalau hanya masalah “uang” keluarga saya yang petani masih mampu memberikan jaminan kehidupan dengan lebih baik. Entah kekuatan apa, biar saja hanya diri dan Tuhan Semesta Alam yang mengetahui.
Di sini, di pertengahan ketinggian kini saya menjalani kehidupan. Terkurung oleh aliran sungai yang deras mengalir. Kemudian saya bersahabat dengan tanah dan air. Bersama penduduk desa menjadi petani seperti yang dahulu pernah saya impikan. Ah, masih terdengar jelas bagaimana dulu saya berteriak dalam gumaman: “Kaum tani di seluruh dunia bersatulah!” Dan kini, suara itu begitu nyata. Petani bukan lagi menjadi angan namun sudah menjadi realitas yang mengasyikkan.
Di hening desa ini, saya merasakan kerinduan pada deru debur kota yang menempa tubuh dan jiwa. Rindu pada keluarga yang menawarkan cinta juga persaingan, kemesraan sejati. Pada dua orang tua yang di detik ini kurasakan cinta mereka begitu manis dan kental. Ah, saya justru ingat dosa-dosa saya pada mereka. Di waktu yang hampir bersamaan, ingat pada ruangan kecil yang selama bertahun menjadi kamar dan ruang kerja yang pernah saya sebut dengan nama “Soenji Poestaka” atau Pustaka Sunyi. Di dalam kamar itu, ada kesunyian yang hadir menjadi guru. Mengajak untuk berdiri di tengah telaga yang ada di dalam dada. Kemudian menyaksikan sekeliling.
Di sinilah saya justru kehilangan apa yang namanya sunyi, sepi, pun juga senyap. Ada gemuruh yang tidak dimengerti. Riuh memporandakan telaga sunyi yang semasa bertahun terus diselami. Seringkali saya bertanya, “Ini menyoal apa, sampai lingkungan pedesaan yang umumnya memiliki telaga sunyi lebih luas justru riuh?” Kembali saya membuka memori lama, bersama dengan tetembangan yang begitu hening namun penuh dalam guratan tanda. Di setiap malam, ada gemerujuk air sungai Blimbing membuat saya berusaha ikut mengalir bersama air.
Seperti saat berdiri di lereng pada di bawah rimbunan bambu. Seperti terbungkam, terkucilkan, tersudut untuk sendirian. Tidak berteman sesiapa pun selain Keheningan yang merasuk di semilir angin. Merangsek, membuat rimbunan bambu menari juga berdendang dalam derit sunyi. Keheningan ini membangkitkan ruh, untuk menepi dan mencapai kejernihan dirinya. Nuansa bening yang hanya diri sendiri yang dapat menemukannya, bersama dengan diri dan Dzat Yang Satu. Dalam kesunyian itu ada kenikmatan, seperti saat nafsu lelaki menikmati seorang gadis yang telanjang. Yah, sunyi, sepi, kejernihan batin yang membuat kita mencapai kepuasan.
Di beningnya hidup, dapat kita menemukan senandung indah yang dapat membimbing kita ke puncak dimana rembulan kesemu merah, begitu manis dikecapi lidah jiwa yang dahaga pada kelembutan Cinta. Sesuatu yang disenandungkan Ebiet G Ade dalam nyanyian “Saksikan Bahwa Sepi”. Pada pokok itulah, pencapaian kenikmatan. Penghayatan pada kehidupan yang tidak sebatas pada apa yang namanya uang, kekuasaan, dan prestise. Baik uang, kekuasaan dan prestise hanyalah nuansa kesan yang tidak nyata. Hal yang semu dan tidak abadi. Kesemua itu, tidak lebih berharga dari sepi, tidak lebih indah dari sunyi dimana diri dapat berkaca untuk melihat “pancuran berdansa riang” untuk “menyapa batuan” dan “menjemput rembulan”.
Saya kira, apa yang dihidangkan Ebiet G Ade di lagu “Saksikan Bahwa Sepi” dalam album Camelia III, pada kita tidak semata gambaran atas suatu peristiwa. Tetapi lebih pada nilai lebih atas suatu suasana. Penggambaran pokok yang lain, tidak kalah mengasyikkan saat kita disuguhi kontradiksi:
“Ada perempuan renta menimba
Terbungkuk namun sempat senandungkan tembang
Sedang di balik pagar gadis berdendang
tengah mandi telanjang” (Saksikan Bawa Sepi, Ebiet G. Ade)
Perempuan renta yang saya kira memberikan pengetahuan akan kepayahan hidup yang belum selesai. Kepayahan (kesulitan) yang merupakan perwakilan dari kesulitan kita sebagai manusia di zaman ini. Mereka ini manusia dalam strata (kalau strata itu ada) bawah. Perempuan renta yang mesti menimba, sebagai perwakilan dari kepayahan hidup itu. Akantetapi, kontradiksi yang ditawarkan adalah perempuan renta yang menyenandungkan tetembangan. Di balik kesulitan hidup, ada keriangan. Kontradiksi seperti memiliki keontetikan realitas. Seperti ketika saya bertemu dengan para petani, senyuman mereka melayang dalam ikhlas. Lebar penuh keriangan.
Dan “di balik pagar gadis berdendang tengah mandi telanjang”, dualisme makna dan simbol yang diciptakan antara “perempuan renta” dan “gadis”. Dua yang dapat dijadikan suatu kesatuan, bahwa perempuan renta dan gadis ini sebenarnya satu. Mereka ini diri yang satu, seperti halnya materi dan esensi. Badan dan ruh. Bahwa dalam jiwa yang sepi (baca: bening) meskipun seringkali kita mendapati wujud yang tidak baik namun memiliki nilai yang mengagumkan. Seperti buah durian, meski keseluruhan penampilan terbalut duri namun memancarkan bau harum dan memiliki rasa yang nikmat. Ini pendidikan jiwa, bahwa meskipun kita berada pada posisi yang sulit (buruk) namun harus selalu berjiwa (dan berlaku) baik. Saya teringat dengan tetangga yang seorang pensiunan guru, yang mengatakan pada saya seperti ini: “Dulu, saya dipesan Ibu seperti ini, Mas. Apa pun keadaan kita, le, tetap harus bisa menjalankan tiga hal: bekerja seperti petani, berhati santri dan berbudi priyayi”. Sesuatu yang tidak terlalu mengada, namun saya dapat mengatakan, inilah suatu kebaikan.
Lagu ini memberikan kita perbandingan dengan syair di bawahnya. Kegetiran dan sakit yang terjadi dengan tanpa disadari. Ini sebagai lawan dari sepi, nuansa keriuhan yang mewakili gemuruh dada seseorang. Yaitu dada yang dipenuhi oleh gejolak hawa nafsu, urusan duniawi. Sedang dunia sendiri, terbaca dalam nuansa getir melalui simbolisasi “nafas jalanan”. Bisa saja kita membaca kalau ini merupakan penggambaran mengenai kehidupan masyarakat kota, namun ketika ditarik ke dalam satu kesatuan hidup manusia (maksud saya, seseorang), ini hanya menyoal pada diri sendiri. Kemudian “Gedung Tinggi” adalah tingginya dorongan atas pemenuhan hasrat. Gedung tinggi seperti tingginya keinginan manusia yang menjulang di bawah “terik” atau tekanan-tekanan kejiwaan yang berasal dari hawa nafsu.
“Dengarlah suara nafas jalanan
di balik gedung tinggi, di bawah terik
Lihatlah geriap lalu lalang disapu debu panas
Kasih pun sirna
Ada perempuan tua berdandan
bergincu tebal senandungkan dosa
Sedang di balik dinding jejaka gelisah
menunggu saat berkencan” (Ebiet G. Ade, Saksikan Bahwa Sepi)
Apabila di atas, ada bangunan “Perempuan renta” pada bagian ini ditemukan kata “tua”. Renta dan tua dapat dipandang sebagai kata dengan nilai yang sama. Akantetapi ungkapan “renta” tetap lebih menyiratkan pada kepayahan hidup yang lebih banyak ketimbang kata tua. Dalam bait ini, kata tua justru mengandung lebih banyak kepayahan hidup. Manusia yang berusaha untuk menipu realitas dengan menampilkan kesan. Meski realitas sebenarnya tidak seperti apa yang nampak, sosok perempuan tua berusaha mengingkari keadaan diri. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk “menjadi” sesuatu yang palling diinginkan. Biasanya, hal yang diinginkan merupakan tuntutan realitas, apa yang realitas inginkan dari seorang individu. Perempuan tua (sebagai perwakilan dari manusia pada umumnya) justru merupakan bagian dari kebutuhan dunia. Jadi bukan dunia yang dimasak untuk memenuhi kebutuhan si perempuan tua, namun justru perempuan ini yang digiring ke atas tungku untuk memenuhi kebutuhan dunia.
Bagi saya, keadaan “perempuan tua” sebagai keterbalikan dunia dan menurunnya nilai manusia sebagai makhluk dengan derajat tinggi. Sebab manusia dalam keadaan “perempuan tua” terjaring oleh perangkap keinginan duniawi yang justru menjauhkan diri manusia itu dari ketenangan hidup. Manusia ini tidak mampu merasakan bagaimana heningnya gemericik air yang menyenandungkan kehidupan, mengenai hakekat hidup sebab dirinya terperangkap oleh keriuhan. Bayangan ini kembali berhadapan dengan perbandingan yang sangat layak diperhitungkan.
Tentang bagaimana seorang perempuan tua yang bergincu dan bersenandung dosa disandingkan dengan jejaka yang gelisah. Bagaimana rasanya ketika kita menunggu detik dimana ada pertemuan dengan kekasih. Tentu, ada gejolak yang berkecamuk dengan hebat. Menjadikan manusia serba salah dalam menghadapi waktu yang berganti.
Barisan syair lagu ini memberikan penggambaran mengenai perbedaan antara yang riuh dengan sepi. Riuh tidak sebagai kondisi lingkungan yang mana memiliki suatu kegiatan yang super sibuk. Sebaliknya, sepi tidak lantas hanya diam tanpa gerakan. Dua yang berlawanan ini sebagai nuansa, mungkin juga karakter yang terdapat dalam jiwa manusia dalam menghadapi dan menjalani kehidupan. Sepi melawan gaduh, sedang Ebiet G. Ade sendiri mengatakan kalau: “Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan”, ini terletak pada jiwa dan pribadi seseorang dalam menjalani hidup. Sepi dapat dikatakan sebagai manusia yang memiliki jiwa yang tenang, mengalir seperti air di pancuran pada rumpun bambu di lereng pegunungan.
Manusia akan mencapai ketenangan kalau dirinya memilih sepi sebagai ruh kehidupan. Sepi lebih menyenangkan dari yang riuh, sebab sepi seperti gadis telanjang yang sedang mandi dan bernyanyi. Tidak memiliki hasrat yang “terlalu” atau berlebihan. Ia menikmati hidup, sebagaimana adanya yang telah diberikan untuknya. Tidak mengadakan sesuatu yang belum ada, pun juga tidak mengejar yang belum mungkin tergapai. Yang ada, hanya menikmati apa yang ada hari ini dan mensyukurinya. Entah itu kemiskinan atau kepayahan hidup lainnya. Karena “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. 6. 32). [Catatan Perjalanan | Dhian Hari M.D. Atmaja | md.atmaja@yahoo.com]
22 Februari 2012
Saksikan Bahwa Sepi
(Ebiet G. Ade, Album Camelia III)
Dengarlah suara gemercik air
di balik rumpun bambu di sudut dusun
Lihatlah pancuran berdansa riang
Menyapa batuan, menjemput bulan
Ada perempuan renta menimba
Terbungkuk namun sempat senandungkan tembang
Sedang di balik pagar gadis berdendang
tengah mandi telanjang
Dengarlah suara nafas jalanan
di balik gedung tinggi, di bawah terik
Lihatlah geriap lalu lalang disapu debu panas
Kasih pun sirna
Ada perempuan tua berdandan
bergincu tebal senandungkan dosa
Sedang di balik dinding jejaka gelisah
menunggu saat berkencan
Sangatlah nyata beda antara berdiri di bebukitan sejuk
dengan di bawah terik matahari
Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan
Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H