Dunia Priyayi Jawa sempat dijadikan bidikan empuk ketika berhadapan dengan dua ideologi yang dilahirkan pergolakan manusia di Barat. Yaitu Komunisme yang seperti hantu dan kapitalisme, si musuh bebuyutan yang belum sempat dikalahkan. Dua ideologi politik yang ternyata ideologi manusia yang memiliki kesamaan, membidik sistem kepriyayian (feodalisme) untuk diruntuhkan. Mungkin saja, feodal selalu dipandang buruk, sebagai segolongan penguasa (tuan tanah) yang memerintah rakyatnya (buruhnya) dengan sewenang-wenang, bertindak zalim, tidak adil dan tidak berperikemanusiaan. Seperti itu, pandangan kita secara umum mengenai feodal. Kedua ideologi ini secara tidak langsung menyerangi kepriyayian dikarenakan dalam kepriyayian tersebut mengandung semangat feodal. Entah bagaimana, seluruh priyayi dinisbatkan memiliki sifat feodal yang secara terang-terangan dan sembunyi terus dimusuhi dua ideologi modern. Baik komunis dan kapitalis terus menggerus sistem pemerintahan lama dengan cukup pengecut, membungkus diri dalam indahnya mitos demokrasi.
Sistem kehidupan kita sekarang, sebagaian besar dan nyaris seluruh umat manusia tergila-gila dengan kehidupan demokrasi. Sistem hidup yang menawarkan kesetaraan manusia dengan manusia lainnya. Setara dalam hal apa pun, bahkan mengindahkan norma budaya lokal (kepriyayian, maksud saya) yang sedari awal sudah diperhitungkan nilainya. Demokrasi memikat mata manusia yang menawarkan juga kebebasan. Hidup dengan cara sendiri, jalan sendiri, atau berbuat dengan sekehendak sendiri tanpa perlu menunggu perintah dari orang lain. Hidup merdeka tanpa harus merasa sebagai abdi bagi orang lain.
Memang, manusia yang merdeka terlepas dari perbudakan manusia satu atas manusia lainnya. Seperti pepatah, lepas dari mulut Harimau, akhirnya jatuh juga ke mulut Serigala. Karena menurut saya, manusia terlepas dari orang lain akan menjadi budak bagi dirinya sendiri. Tapi, kebanyakan dari kita memilih, lebih baik diperbudak diri sendiri ketimbang diperbudak oleh orang lain. Saya sengaja mengungkapkannya sebagai budak diri sendiri, sebab melalui diri manusia itu sendiri manusia menginginkan kemerdekaan dari orang lain, setelah itu akan masuk ke dalam lubang gelap keinginan (dirinya sendiri).
Bebas semau-maunya sendiri untuk mengikuti keinginan (nafsu) yang terkadang menipu kita terang-terangkan dan hebatnya lagi, kita (manusia) tidak mampu berbuat apa-apa. Teramat sulit untuk merdeka dari diri sendiri.
Demokrasi menawarkan mitos mengenai indahnya kemerdekaan. Karena menulis ini, saya langsung teringat dengan film Amerika berjudul The Patriot. Dalam film itu,tokoh Benjamin yang diperankan Mel Gibson sempat berujar, saya kutib bebas: Untuk apa kita menukar tirani yang keberadaannya sangat jauh di seberang lautan dengan tirani baru yang lebih dekat? Film The Patriot mengkisahkan kerasnya perjuangan manusia Amerika dalam mencapai kemerdekaan serta mendirikan sistem politik baru berlandaskan demokrasi.
Impian tentang kehidupan yang demokratis seperti mimpi indah, tentang malaikat penyelamat yang wajah aslinya belum kita ketahui. Ucapan Benjamin itu, baru-baru ini saya cermati ulang. Lalu saya membuat simbolisme, tirani yang jauh adalah orang lain sedangkan tirani yang dekat adalah diri manusia itu sendiri. Tirani yang jauh, semisalnya saja pemerintahan diktator Bapak kita H.M. Soeharto swargi, pernah mengekang kebebasan manusia, memenjarakan tubuh dan gerakan namun toh, nyatanya manusia masih bisa berbebas ria. Seperti Penyair Wiji Thukul atau W.S. Rendra yang tetap merdeka. Akantetapi, setelah kebebasan didapatkan dengan lengsernya Pak Harto, kemerdekaan yang tercermin dalam semangat itu seolah memudar. Manusia bertemu dengan penguasa dirinya yang baru, yaitu keinginan yang lebih kejam menindas jiwa.
Sebagaian besar manusia terpenjara dan diperbudak oleh dirinya sendiri. Kemerdekaan sebagai manusia tersamarkan oleh kemerdekaan keinginan (nafsu). Atau, barangkali kemerdekaan yang ditawarkan oleh mimpi indah itu hanya sebatas ilmu (sistem) pelembagaan atas keinginan-keinginan manusia? Jikalau kita menilik lebih jauh lagi mengenai permasalahan sosial di negara kita, kesemua itu tidak terlepas dari hasrat manusia dalam usaha memenuhi keinginan. Hasrat membawa pada kegelisahan yang menuntut untuk dipenuhi, kegelisahan membawa pada gerakan-gerakan.
Keadaan seperti ini sebagai penggambaran dari demokrasi yang, saya kira, memiliki lebih dari seribu wajah. Suatu kondisi hidup yang tidak menguntungkan rakyat kecil sebenarnya tidak dipengaruhi oleh sistem politik yang hanya sebatas teks. Entah itu masyarakat madani, demokrasi, monarki, feodal, sosialisnya komunis yang dengan masyarakat komunalnya, tetap tidak akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan manusia jikalau hanya sebatas ideologi teks. Semua memiliki keunggulannya masing-masing sebagai harapan indah, namun hanya menjadi pesan yang tidak tersampaikan apabila ideologi tidak dijalankan sebagai perilaku.
Idelogi yang baik untuk manusia adalah ideologi yang dalam wacana dan pelaksanaannya harus dilandasi dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta mutlak diperlukan adanya gerakan manifestasi ke dalam perilaku manusia. Ideologi yang baik merupakan ideologi yang tidak hanya sebatas wacana. Dunia jauh dari teks. Ideologi harus sebagai perilaku manusia yang murni.
Dunia kepriyayian dapat dipandang sebagai ideologi kemasyarakatan yang mana pola pemikirannya tidak terwacanakan. Kepriyayian sebagai ideologi yang langsung berada dalam dataran perilaku. Segolongan manusia yang dalam kehidupan manusia Jawa berada di tempat teratas. Akantetapi, priyayi itu sendiri merupakan jalan hidup manusia yang di dalamnya mencerminkan kehalusan laku serta penguasaan akan ilmu. Kehalusan laku dan penguasaan akan ilmu merupakan pandangan hidup masyarakat Jawa yang membawa pada kehidupan yang selaras.
Dunia priyayi sebagai ideologi yang humanis dapat kita saksikan dalam kehidupan priyayi yang dibangun (dipotret) oleh Almarhum Umar Kayam (30 April 1932 s.d. 16 Maret 2002) di dalam novel “Para Priyayi” (1992). Penggambaran yang simbolis namun membaca dalam cerita realis yang mengagumkan. Kehidupan manusia berstatus sosial nomor pertama di kehidupan masyarakat Jawa mencirikan mengenai kehalusan sikap, kepemimpinan, serta penjagaan atas kehormatan manusia terpejalar.
Sosok priyayi yang dihadirkan UK, menurut saya adalah sosok priyayi yang humanis. Status sosial nomor satu yang diduduki tidak lantas membuat priyayinya UK berpura buta dengan permasalahan orang lain yang ada di sekitarnya. Ciri dari humanisme seorang pemimpin yang jarang sekali kita temukan di dalam kehidupan realitas saat ini.
Semangat humanisme yang indah, walau hanya di dalam tingkatan keluarga. Humanisme kepriyayian yang UK hidangkan pada kita dapat ditelusur dari alur cerita. Misalnya saja, keterangan mengenai kepedulian yang dinasehatkan untuk kita: “Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri” (Para Priyayi, 2001: 15). Nasehat ini memberikan wejangan indah yang menenangkan. Apabila kita mengaitkan priyayi dengan seorang pejabat pemerintah, kalau semua pejabat kita memahami ini maka, tidak akan ada rakyat yang kelaparan. Akantetapi, perlu kita menggaris-bawahi bahwa kepriyayian tidak hanya berurusan soal status sosial, dia sebagai pegawai pemerintah atau bukan. Lebih dari pengertian itu, kepriyayian yang UK ketengahkan di sini adalah sosok yang memiliki ilmu pengetahuan.
Menjadi priyayi berarti menjadi individu yang pandai, yaitu memiliki ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk kebaikan bersama. Bersebab, orang yang berilmu dapat membawa jalan hidupnya yang tidak merugikan orang lain, bahkan dapat membawa keuntungan bagi masyarakatnya. Langkah gerak seorang priyayi tidak melulu memikirkan keuntungan diri sendiri, yang dengan kata lain, menggunakan kepriyayiannya untuk menindas orang lain demi keuntungan diri. Namun sebaliknya, kepriyayian itu dapat memberikan manusia pertolongan dari kesulitan.
Melalui “Para Priyayi” dapat kita temukan kehidupan sosok priyayi humanis yang berusaha sekuat tenaga menjalankan peran kepriyayiannya. Tugas dan wewenang yang berat, seperti tergambar dari kehalusan laku untuk “sepi ing pamrih, rame ing gawe, serta memayu hayuning bawana” atau “tidak mementingkan diri sendiri, menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, serta memperindah dunia”. Dalam novelnya, UK mengetengahkan berbagai ajaran kehidupan yang indah. Bahwa hidup tidak sekedar mengejar gemerlap materi (kekayaan), akantetapi dengan kepriyayian itu UK mengajarkan mengenai tujuan akan adanya keselamatan bersama.
Menjadi seorang priyayi, bagi UK tidak berorientasi pada jabatan dan kekayaan, namun lebih pada nilai cendekiawannya (menjadi seperti Lantip) yang dapat memainkan peran dengan sebaik-baiknya. Bahwa priyayi itu terpandang karena kepandaiannya, kalau hanya sekedar menginginkan kehidupan yang kaya, lebih baik menjadi saudagar (Para Priyayi, 2001: 48). Kepriyayian Jawa yang disodorkan UK adalah kepriyayian yang menghiasi dunia, menjaga, serta mewujudkan keselamatan semua manusia.
Pertemuan saya dengan UK terjadi setelah meninggalnya beliau. Tentu saja, sebuah pertemuan spesial melalui buah tangan, pikir, dan rasa yang sampai hari ini masih sering saya tengok. Pertemuan itu menjadi awal pertemuan saya (yang hanya seorang petani berdarah hitam; hitam sebab lebih banyak lumpurnya ketimbang darahnya) dengan priyayi humanis. Momentum yang membanggakan ketika saya menemukan pemahaman akan arti dari humanisme. Humanismenya kepriyayian UK tidak hanya mengajak berontak pada kesewenangan atau memihak pada mereka yang ditindas.
Sosok priyayi humanis ini menuntun saya untuk lebih jauh lagi mengoreksi diri. Menelusur sampai jauh hingga saya menemukan suatu cara: “memukul tanpa memukul”. Sudah sepuluh tahun beliau wafat, dan baru hari ini juga terpikir untuk menulis sesuatu.
Mumpung masih bisa menulis untuk sekedar bertanya, saya ingin memastikan apakah benar UK menolak sebagai priyayi “rural-agraris” seperti yang diungkapkan Darmanto Jatman dan lebih memilih menjadi priyayi “urban-industrial”? Sedari dahulu, saya mengira UK adalah sosok yang terus berada di ranah agraris itu, seperti nasehat Atmokasan pada Sastrodarsono: “Meski sudah jadi priyayi, jangan lupa akan asal-usulmu. Kacang masa akan lupa dengan lanjaran-nya.” (Para Priyayi, 2001: 48).
Jikalau saya, petani yang berdarah lumpur ini, tetap berusaha untuk menjadi manusia agraris. Bersebab, masih juga yang seperti Darmanto Jatman bilang bahwa Stephen Covey yang berangkat dari masyarakat urban industrial masih menggunakan hukum tabur-tuai (agraris), yaitu: Siapa yang menabur gagasan akan menuai perbuatan/ Siapa yang menabur perbuatan akan menuai kebiasaan/ Siapa yang menabur kebiasaan akan menuai karakter/ Siapa yang menabur karakter akan menuai nasib. Destiny!
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Selasa Pahing 15 Maret 2010
http://phenomenologyinstitute.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H