Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengurai Benang Darah

11 April 2011   03:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:56 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mengurai Benang Darah* Oleh M.D. Atmaja

Manusia hidup dan berjalan dalam suatu wilayah yang begitu majemuk. Dalam kemajemukan itu, kita dapat menemukan berbagai macam hal kejadian yang dapat memberikan pencerahan, pemahaman, pun, pengertian-pengertian. Tidak hanya itu, dunia tempat kita berpijak ini dapat menjadi sosok penggoda yang memiliki dua misi berbeda: baik dan buruk. Sampai, Subagio Sastrowardojo berpesan “Bumi ini perempuan jalang/ yang menarik laki-laki jantan dan pertapa/ ke rawa-rawa mesum ini/ dan membunuhnya pagi hari” (Shimponi, hlm 1).Kemajemukan kejadian yang ada dalam kehidupan manusia, terkadang dilalui tanpa adanya kesadaran. Seringkali kita menghabiskan waktu dengan begitu saja, maksudnya dalam perjalanan itu tidak disertai adanya keinginan akan pengetahuan hidup untuk mencapai puncak-puncak pemahaman. Pengertian mengenai kehidupan yang tidak sekedar pada apa saja yang nampak pandangan dan memberikan kenikmatan, pun juga kesenangan.

Hidup ini sungguh begitu majemuk dalam kompleksitas dengan berbagai kepentingan, harapan, serta setumpuk daftar yang ingin dicapai selanjutnya menjadi sesuatu yang dibanggakan. Namun, dibalik riuhnya keberagamanan tujuan itu, hidup dapat menjadi suatu perjalanan yang sangat sederhana. Sebagaimana paradigma manusia Jawa yang seringkali mengatakan: “Urip kuwi mung sadelo, paribasane mung mampir ngombe (Hidup hanya sebentar, ibaratkan orang yang singgah untuk minum/ melepas lelah)”.

Perjalanan manusia mengenai perjalanan yang singkat, tidak lantas membuat manusia itu secara sadar menempuh perjalanan yang menuju titik tertentu. Bisa dikatakan kalau sadarnya manusia adalah mengenai keberadaannya di dunia, akantetapi “tidak-sadar” dengan apa yang disebut sebagai alam jiwa. Mungkin saja, kebanyakan dari kita memang tidak percaya adanya perjalanan lain setelah perjalanan dalam kehidupan ini.

Merah Putih itu Harga

Terlepas dari percaya atau tidak percaya dengan dunia setelah kita mati, tulisan ini sepenuhnya akan saya curahkan untuk memahami “objek tanda” yang dikreasikan oleh Iksan Brekele dengan judul Spirituality (2010). Alam pikiran, konsep ide yang akhirnya tertuang di atas media seni grafis, maupun bahasa selalu saja dapat memainkan fungsinya dengan baik. Lukisan ini membawa saya untuk melesat jauh ke masa lalu, dimana saya harus menghadapi simbol kepercayaan manusia Jawa.

[caption id="" align="alignleft" width="71" caption="Spirituality karya Iksan Brekele (170x80cm -hardboardcut handcoloring- 2010)"][/caption] “Spirituality” (2010) memuat konsep Jawa, menurut pandangan saya, dengan skema modern dalam perlengkapan kehidupan modern pula. Di setiap sisinya, yang mendominankan diri pada dua warna, Merah dan Putih menyiratkan nuansa lain: MAGIS.

Bukan hanya sebagai tumpukan istilah, “Spirituality” hadir sebagai pengada yang menunjukkan keberadaan dari unsur pembangun kehidupan manusia. Saya akan memfokuskan diri pada Merah dan Putih ini, merah yang mana mungkin saja perwakilan dari darah dan bisa dipandang sebagai tulang dan juga sperma. Kenapa saya mengatakan sperma, sedangkan dalam lukisan tersebut tidak mengkisahkan mengenai persetubuhan lelaki perempuan? Sebab, proses pembentukan manusia itu diawali dengan penempatan saripati yang tepat. Seperti dalam dunia usaha, manusia seringkali menyebutnya dengan istilah investasi. Penempatan yang tepat atau inventasi yang baik dapat mendatangkan keuntungan, yang dalam konteks ini adalah manusia (baca: anak).

Masyarakat Jawa memiliki simbolisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan skema ini. Juga yang saya pakai untuk memberikan sedikit uraian akan pengetahuan saya mengenai “Spirituality”nya Iksan Brekele. Atau mungkin saja, simbolisasi dari manusia Jawa di masa lalu itu yang memberikan inspirasi kemudian termanifestasi mengingat Iksan Brekele lahir dan besar di Ponorogo.

Itu mungkin-mungkin saja, sebab saya menemukan benang merah di sana. Suatu garis lurus namun berkelok, mengarahkan pada manisfestasi simbol itu, tidak lain pada dominan warna Merah dan Putih. Merah dalam pandangan manusia Jawa, merupakan simbolisasi dari keberadaan seorang ibu (perempuan). Merah sebagai darah yang juga merujuk pada rahim dan vagina. Warna putih mengisyaratkan pada sperma laki-laki, beserta perangkatnya yang disebut penis.

Manusia dibentuk dari percampuran antara lelaki dan perempuan. Hanya Adam saja yang tidak mengandung unsur keduanya, selanjutnya manusia kedua (Hawa) diambil dari sempalan manusia pertama. Generasi selanjutnya dihasilkan melalui proses perkawinan yaitu proses penyatuan unsur ayah dan unsur ibu. Karena dua unsur ini dianggap sebagai suatu kesatuan yang utuh, maka ketika dalam suatu acara “among” atau peringatan hari kelahiran di Jawa, persetubuhan itu diwujudkan ke dalam dua warna jenang (bubur) yaitu bubur merah dan bubur putih. Keberadaan anak adalah sebagai perwujudan dari keduanya, kecuali Adam, Hawa, dan Isa.

Semisal saja, kita mengatakan kalau warna putih dalam lukisan “Spirituality” sebagai tulang kita pun akan menemukan urut-urutan simbol akan penciptaan manusia. Selanjutnya, jika merah dan putih sebagai lembang negara (nasionalitas) Iksan Brekele, kita juga akan menemukan skema spiritualitas manusia Indonesia, yang dalam hal ini adalah Indonesia.

Kita dapat mengambil penjelasan seperti ini:

Mau atau tidak kita akan berhadapan dengan kronik sejarah bangsa, yang berkenaan dengan perjuangan dalam membebaskan diri dari penjajahan (dan penindasan) bangsa asing. Perjuangan dalam kerangka tujuan mencapai kemerdekaan. Cita-cita besar dari segelintir orang yang ingin membawa serombongan manusia yang lebih besar untuk menuju pada kehidupan yang lebih baik. Tujuan ini sebagai mimpi kolektif saat itu, bahwa bangsa yang merdeka dapat membawa pada kesejahteraan maupun keadilan sosial politik bagi individu berbangsa dan bernegara.

Mimpi dari segelintir orang itu, menjadi niatan yang “gayung bersambut” dengan mendapatkan dukungan serombongan manusia yang dibela, kemudian disebut dengan: rakyat Indonesia. Selanjutnya, niatan baik itu dapat disebut dengan istilah “rasa kemanusiaan” yang dapat dipandang sebagai penggalan dari sifat keilahian. Rasa kemanusiaan sebagai sifat keilahian sebab nilai ini tidak mengarah pada kehancuran (kejahatan) namun mengarah pada kebaikan universal untuk kehidupan manusia.

Mengusahakan kebaikan universal – kebaikan umat manusia dan alam – dapat dipandang sebagai tujuan dari penurunan agama, atau ajaran jalan hidup. Bahwa, misalnya saja Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin; yang sebagai jalan bagi manusia dalam rangka mencapai keselamatan dan kebaikan hidup. Mengusahakan kebaikan universal (kemerdekaan) membutuhkan adanya gerak perjuangan, dan perjuangan menuntut adanya pembayaran (korban).

Merah darah dan putih tulang yang akhirnya menjadi lambang (bendera) Indonesia menyimpan makna pembayaran itu. dua warna mewakili nilai dari sebuah harga yang tinggi mengenai pencapain yang kita sebut dengan kemerdekaan. Bersangkutan dengan hal itu, harga dari kemerdekaan, meskipun kemerdekaan manusia Indonesia adalah kemerdekaan dari penindasan bangsa asing, tidak dari bangsa sendiri.

Pembebasan Itu adalah Pembunuhan

Mencapai pembebasan, dalam tujuan yang lain diperlukan adanya pembunuhan-pembunuhan, yang mungkin saja menjadi pembunuhan berantai. Aktivitas membunuh dapat kita pandang sebagai bentuk pembayaran dari apa yang menjadi tujuan. Pembunuhan yang maksudkan di sini, bukanlah pembunuhan dalam lingkup kejahatan sebab tidak bersinggungan dengan apa pun selain si subjek pelaku dengan tujuannya.

Bersinggungan dengan kasus pembunuhan ini saya teringat pada perbincangan dengan kawan Brekele, yang mengatakan kalau “demi hidup tidak harus mati”. Brekele memberikan saya pijakan yang cukup jelas, namun dalam penulisan ini saya mengambil jalan lain dengan mengatakan: bahwa untuk mencapai Hidup, manusia harus mati, harus berani melakukan pembunuhan-pembunuhan yang terencana dan berjalan pasti dalam “laku”.

Sebagai orang Jawa, tentu saja saya berpijak di tanah simbolisasi manusia Jawa yang memiliki paradigma, hendaknya manusia “mencapai mati selagi hidup, dan mencapai hidup selagi mati”. Kematian yang ditawarkan merupakan kematian simbolis. Akan tetapi, bukan dengan jalan melakukan simbolisasi mengenai kematian tapi lebih pada laku hidup keseharian. Dalam pardigma hidup manusia Jawa, kalau hidup hanya suatu perjalanan sejenak yang sebatas pada melepaskan lelah dan dahaga maka pelanjutan dari perjalanan menjadi sangat penting dari kehidupan saat ini. Melanjutkan perjalanan sama halnya dengan mencapai kematian, meninggalkan dunia yang nampak nyata.

Kita juga perlu memahami, kalau dalam aktivitas berhenti untuk melepaskan lelah dan dahaga, manusia sebenarnya juga melakukan perdagangan. Yaitu untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya yang dapat dijadikan sebagai bekal (modal) perjalanan. Di sini manusia akan berhadapan dengan kondisi yang lebih nyata, manusia baik akan terbalas dan manusia jahat juga akan terbalas. Perdagangan manusia di dunia untuk membekali diri dalam perjalanan selanjutnya bukan bersifat materi, sebab dalam perjalanan nanti, materi (kekayaan dunia) tidak memiliki arti. Perdagangan dalam konteks ini jauh lebih pada “laku” hidup manusia.

Tindakan pembunuhan untuk mencapai pembebasan, oleh manusia Jawa terwujud dalam laku keseharian. Yaitu dapat ditemukan dalam “sepi ing pamrih, rame ing gawe, dan memayu hayuning bawana”. Tiga jalan hidup ini digunakan untuk membunuh kepentingan pribadi (baca: nafsu) yang cenderung menjauhkan manusia dari kesadaran akan perjalanan selanjutnya. Nafsu yang dilahirkan dari kelima indera, harus dijadikan sasaran pembunuhan.

Dengan demikian, saya bisa mengambil jalan singkat untuk mengakhiri tulisan ini. Bahwa pembebasan diri manusia adalah dari diri manusia itu sendiri, karena dalam diri manusia terdapat musuh yang nyata. Manusia yang ingin mendapatkan kemerdekaan (terbebas) hendaknya membunuhi musuh-musuhnya itu. Akhirnya, manusia hanya akan hidup setelah memahami asal-usul dan melakukan pembunuhan-pembunuhan.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 2011

*) Pembacaan terhadap karya “Spirituality” 170 x 80 cm, hardboardcut, handcoloring, 2010 karya Iksan Brekele.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun