Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 23)

20 Februari 2010   03:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:50 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua kesunyian seperti telah tereguk dalam hati yang bimbang menatap satu ujian yang belum dia selesaikan semenjak bertahun-tahun yang lalu. Nandar menatap jauh ke tengah lautan, mencari sesuatu yang dapat memberikannya petunjuk untuk mendapatkan kata putus. Sementara itu, matahari perlahan-lahan mulai menanjak yang terasa begitu lama sambil menghangatkan dunia dengan kecerahan sinarnya. Ombak bergemuruh, seakan punya cerita sendiri yang ingin disampaikan buat siapa saja yang mempunyai hati. Ombak terus bergemuruh, menceritakan mitos dan kenyataan, perempuan seperti laut yang indah, penuh misteri dan menenggelamkan sesuatu yang membuatnya marah. Gemuruh ombak terus saja terdengar mengiri perjalanan masa untuk menanti cerita lain, tentang manusia, tentang dunia yang tiada batas.

Sambil memeluk biola, ia menahan lapar yang semenjak pagi tertahan dalam benteng kesunyiannya. Nandar tetap diam, jiwanya pun kembali bergemuruh seperti ombak yang menendangkan cerita-cerita sunyi. Kemudian, ia memainkan kembali, sambil menahan lapar juga penderitaan yang menghujam-tikam hatinya yang sudah berdarah. Terdengar kembali nada-nada yang beku diantara gemuruh ombak dan panasnya cahaya matahari. Tidak lama, Nandar menangis kembali namun tidak juga berhenti memainkan alat musik kesayangannya.

"Nada ini terdengar menyedihkan," gumam Narti yang duduk tak jauh dari tempat Nandar.

Narti berjalan, mencari sumber alunan musik yang juga ikut membuat hatinya menjadi resah. Ia melihat Nandar yang duduk sambil terus menggesek biola. Dia kemudian mendekat dan duduk di samping Nandar tanpa disadari kedatangannya.

"Musik ini seperti jeritan hati dari seseorang yang terluka." Ucap Narti kemudian.

Nandar langsung berhenti memainkannya tanpa diperintah. Ia menoleh dan tersenyum kecil dilanjutkan dengan menganggukkan kepala.

"Musik itu berasal dari jiwa sang musikus. Setiap nada yang tercipta mengalir dari perasaan yang tulus. Seorang pianis akan mengeluarkan nada sedih saat ia bersedih, terlebih kalau dia adalah violinist, yang akan memainkan dengan kemurnian hati, perasaan seorang manusia." Nandar tersenyum hambar, "Tapi bukan kesedihan atau kebahagiaan yang ada di dalam musik. Lebih pada perasaan. Kalau menurut seorang teman: Nada adalah suatu rangkaian cerita tentang perjalanan manusia yang mempunyai kesan tersendiri. Bahkan teman itu bilang: gemuruh ombak itu adalah nada yang punya ceritanya sendiri, tergantung dari penikmatnya, kita, manusia."

"Sepertinya, teman anda adalah seorang musikus yang berbakat." Sambut Narti dengan suara rendah, memberikan pujian untuk temannya Nandar.

"Bukan!" Nandar menggeleng pelan sambil tersenyum. "Teman saya itu bukan musikus, bahkan bermain salah satu intrumen musik saja tidak bisa. Tapi dia selalu bernyanyi, selalu memainkan nada dengan caranya sendiri. Mungkin dia seorang musikus, walau tanpa alat musik."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun