Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 13)

22 Januari 2010   00:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Umurku belum terlalu bisa memahami soal takdir secara penuh." Ucap Nandar. "Setidaknya kita tahu, ada tiga takdir yang sudah digariskan sebelum kita dilahirkan. Aku tidak perlu menjelaskan soal ini. Tapi, selain dari tiga itu, manusia punya hak dan diharuskan berusaha untuk menentukannya sendiri."

Rena menggelengkan kepalanya. Ia tahu dengan apa yang akan dijelaskan Nandar, karena pasti akan sama dengan yang diungkapkan Hartanto. Bedanya kalau Hartanto menjelaskan tanpa tahu hukum-hukumnya sedang Nandar mengetahui patokan yang benar. Bagaimana pun juga Nandar adalah seorang santri.

"Hidup itu pilihan!" ungkap Nandar tegas. "Di dunia ini ada dua jalan yang saling berlawanan, yang satu menuju ke kanan dan satu lagi menuju ke kiri, satu menuju ke atas, satu menuju ke bawah. Semua sudah dijelaskan dalam Quran, jalan yang baik dan buruk. Tergantung pada setiap orang untuk memilih jalan yang mana, namun setiap jalan ada resikonya sendiri-sendiri, ada hukumannya sendiri-sendiri juga ada imbalannya sendiri-sendiri." Nandar diam kembali, ia melihat Rena menangis. "Terkadang, kita harus memilih di dalam kegelapan, memilih dari pilihan yang sulit. Tapi, bagaimana kita bisa memilih dengan benar antara dua jalan yang berlawanan kalau kita tidak punya pengetahuan?"

"Lalu apa yang bisa diperbuat orang itu?" tanya Rena lemah.

"Setiap manusia adalah pengelana buta yang membutuhkan tongkat agama sebagai pegangan. Dengan agama, manusia bisa memilih jalan mana yang harus diambil, jalan yang benar. Pengembara yang sudah memegang tongkat agama dengan erat, kadang masih bisa terjerembab, terjatuh karena lubang yang tidak disadari. Apalagi kalau pengembara buta tanpa tongkat untuk membantunya berjalan?"

Rena tertunduk sambil meneteskan air mata, "Setiap manusia adalah pengelana buta yang membutuhkan tongkat agama sebagai pegangan," gumamnya mengulangi kata-kata Nandar dan mengingatnya di dalam hati.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun