Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 9)

15 Januari 2010   01:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:27 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mereka terus berjalan tanpa berhenti. Bersama-sama menuju Kampus Merah, yang tentu saja bukan nama aslinya, yang atapnya sudah terlihat dari kejauhan. Terus saja berjalan tanpa bicara sepatah kata pun. Setelah sampai di pintu gerbang Kampus Merah, Nandar kaget dengan keadaannya. Baru satu tahun tapi begitu banyak perubahan yang membuatnya terkagum-kgum dan sekaligus heran. Mereka melalui lorong yang sudah tidak lagi berhias warna-warni bendera organisasi mahasiswa, yang ada hanya satu warna merah yang terlihat di setiap sudut. Setelah sampai di halaman tengah, pohon-pohon yang dulu membawa kesejukan telah hilang dan berubah menjadi lapangan, menjadi tempat parkir mobil.

"Selamat datang di Kampus Merah!" ucap Hartanto setengah berteriak sambil menyebarkan pandangan ke bendera-bendera organisasi mahasiswa yang di sana hanya ada satu warna saja: Merah.

Kata-kata Hartanto terdengar sebagai olok-olok murahan yang dulu sering dia ucapkan kalau Rektor mengeluarkan kebijakan yang tidak me-mahasiswa. Setiap hal yang ada di kampus ini, dipaksa untuk tetap berada dalam satu paradigam. Alasan itu lah yang membuat Hartanto dan kawan-kawannya menyebut kampus mereka sebagai Kampus Merah. Karena di sana mereka hanya akan mendapati warna merah di setiap sudut-sudut kampus.

Munandar kaget ketika mengamati sekeliling. Dia merasa kehilangan sesuatu yang dulu menjadi hiasan bagi matanya yang menggantung. Semua yang ada dulu sudah hilang, semua demi pengembangan dan pembangunan. Semoga Rektor tidak melupakan pengembangan dan pembangunan kualitas mahasiswa-mahasiswinya, ungkap Nandar di dalam hati.

"Mau ke mana, Har?"

"Kantin!" jawab Hartanto sambil terus berjalan ke kantin belakang tanpa menunggu Nandar.

"Kebiasaan buruk," gumam Nandar mengikuti Hartanto dengan cepat menuju kantin di belakang Kampus.

Di sana Nandar tidak menemukan suasana yang lalu. Kantin sudah tidak lagi penuh di jam-jam kuliah. Sedangkan dulu, mereka selalu berada di kantin walau dosen sedang berada di kelas. Kesadaran mahasiswa sudah berbeda dari masa lalu. Tidak ada lagi mangkir kuliah hanya untuk berkumpul dengan teman-teman dan berorganisasi. Semua berjalan sesuai dengan harapan orang tua, belajar dengan rajin menuntut ilmu dalam perantauan. Namun, kampus menjadi kehilangan warna keceriaannya. Saat para mahasiswa pembangkang berkumpul merencanakan sesuatu untuk dosen mereka, atau bahkan Rektor atau pejabat negara, Kampus menjadi cerah dengan hiruk pikuk teriakan-teriakan liar. Nandar menggelengkan kepala, ia merasa kalau semua yang pernah di masa lalu tidak akan terjadi lagi. Saat orang dirantai dia akan berjuang untuk bebas tapi saat sudah bebas dia lupa untuk berjuang, ungkap Nandar dalam hati.

Bersambung ke Noumenus (Babak 10)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun