"Mungkin," sahut Nandar lemah.
"Kata: mungkin, selalu kalian gunakan untuk menjawab setiap persoalan." Sahut Rena dengan tetap memandang ke arah Hartanto pergi.
"Aku tidak tahu kebenarannya, setidaknya, di dunia ini memang penuh dengan kemungkinan. Tidak ada yang pasti. Bergantung dari sudut pandang seseorang."
Rena tersenyum sambil tertunduk. Ia merasa kalau Nandar dan Hartanto adalah dua orang dengan jalan pikiran yang sama, entah siapa yang mempengaruhi siapa, tapi sama-sama menilai semuanya dari sudut pandang manusia.
"Ndar, apa benar kalau setiap yang terjadi pada seseorang adalah takdir yang sudah digariskan dan seperti itulah jalan yang harus ditempuh?" Rena menatap Nandar yang memandanginya penuh harap. "Aku tidak mau ada kata mungkin,"
"Tuhan memang sudah menggariskan setiap nasib manusia."
"Hidup manusia seperti para pemain sandiwara, sesuai dengan naskah yang sudah ditulis dan diingini oleh Sang Sutradara?"
"Bisa dibilang seperti itu. Ada ungkapan, dunia adalah panggung sandiwara," Nandar langsung terdiam cukup lama. Takdir akan menjadi kambing hitam yang lezat, pikir Nandar resah. Tapi memang seperti itu kenyataannya, ungkap Nandar kembali, takdir dan nasib akan dipersalahkan oleh manusia dan akhirnya Tuhan akan ikut dipersalahkan atas dosa setiap orang. Manusia akan berlindung di balik ketetapan Tuhan.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H