Mohon tunggu...
Muhammad Chuzairine
Muhammad Chuzairine Mohon Tunggu... Konsultan dan praktisi media massa -

Nasionalis, jurnalis, sufistik, penikmat seluruh genre bacaan dan entrepreuner.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ruang Terbuka Publik Menciptakan Karakter Masyarakat Kota

30 September 2015   15:22 Diperbarui: 30 September 2015   15:54 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sebagian warga kota Palembang tengah santai sore di taman nusa indah bawah Jembatan Ampera, Palembang."][/caption]

Sejak diselenggarakan pertama pada tahun 1986 dipusatkan di Nairobi, Hari Habitat Dunia terus mengedepankan tema-tema penting yang berbeda setiap tahunnya dengan mengikuti berbagai isu perkembangan permukiman global. Untuk diketahui, Hari Habitat Dunia dirancang oleh UN-Habitat dengan tujuan untuk merefleksikan keadaan perkotaan dan pemenuhan hak dasar untuk memiliki tempat tinggal yang memadai. Tujuan lainnya adalah untuk mengingatkan kepada dunia bahwa kita semua memiliki kekuatan dan tanggung jawab untuk membentuk masa depan kota-kota kita. Nah, adapun tema yang telah dilaksanakan diantaranya seperti A Safe City is a Just City (2007), Harmonious Cities (2008), Planning Our Urban Culture (2009), Better City Better Life (2010), Urban Mobility (2013), Voices for Slums (2014). Beda dari tahun sebelumnya, tahun ini Hari Habitat Dunia bertema Public Space for All (2015). Lantas, ada apa dengan Ruang Publik? Apa yang salah dan menarik dari ruang publik? Apakah saat ini ruang publik belum dinikmati oleh semua masyarakat kota?

-------------

Setiap negara mempunyai luas wilayah dan penduduk yang beraneka ragam jumlahnya. Modal dasar tersebut dapat menjadi keunggulan dan kelemahan apabila tidak dapat dikelola dengan baik dalam proses pembangunan. Dalam mewujudkan ruang publik bagi masyarakatnya, setiap negara mempunyai tantangan tersendiri khususnya bagi masyarakat yang hidup di wilayah perkotaan. Menariknya, ruang terbuka publik menciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualis-asosial individunya tidak mampu berinteraksi dan bekerja sama satu sama lain.

Stephen Carr dalam bukunya Public Space, ruang publik harus bersifat responsif, demokratis, dan  bermakna. Ruang publik yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan  kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang publik itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya.  Bahkan, unsur demokratis dilekatkan sebagai salah satu watak ruang publik karena ia harus dapat  dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai kondisi fisiknya, termasuk para penderita cacat tubuh  maupun lansia. Ruang publik haruslah netral. Artinya, bisa dicapai setiap penghuni kota. Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke ruang publik tersebut.

Lalu, apa tantangan dan permasalahan dalam mewujudkan ruang publik itu saat ini? Menurut Imam Ernawi (2010) menyatakan bahwa perkembangan fisik ruang kota sangat dipengaruhi oleh urbanisasi. Perkembangan urbanisasi khususnya di Indonesia dapat diamati dari tiga aspek, yaitu jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan kini mencapai 120 juta dari total 230 juta jiwa, sebaran penduduk yang tidak merata seperti hampir 70% di Jawa, kemudian laju urbanisasi yang tinggi terjadi di kota-kota metropolitan, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Palembang, dan Makassar. Pertambahan jumlah penduduk tersebut mengakibatkan terjadinya permukiman yang cepat dan tidak terkendali di bagian kota. Hal itu menyebabkan kebutuhan ruang meningkat untuk mengakomodasi kepentingan tersebut.

Semakin meningkatnya permintaan akan ruang khususnya untuk permukiman dan lahan terbangun berdampak kepada semakin merosotnya kualitas lingkungan dan semakin minimnya ketersediaan ruang publik. Mirisnya lagi, rencana tata ruang yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan sehingga keberadaan ruang publik atau biasa disebut Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin terancam sehingga mengakibatkan kota semakin tidak nyaman untuk beraktivitas.

James Siahaan (2010) menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas ruang publik, terutama ruang terbuka hijau pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Apabila kecenderungan pembangunan yang tidak mengedepankan ruang publik ini diteruskan, maka 5-10 tahun lagi fungsi tumbuhan dan hayati sebagai penyeimbang kehidupan dunia akan tergantikan dengan tembok-tembok bangunan perkantoran, mall-mall, dan permukiman baru yang cenderung berpola “kontainer” (container  development) yakni bangunan yang secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi.

Regulasi terkait ruang publik telah diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang Kota. Dalam regulasi itu dijelaskan bahwa ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai.

Hampir semua studi mengenai perencanaan kota yang dipublikasikan dalam bentuk rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya menyebutkan bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan idealnya berkisar antara 30% hingga 40% dari luas wilayah, termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, dan kanal-kanal. Namun kenyataannya, hampir di semua kota besar di Indonesia, ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi atau kemerosotan yang semakin memprihatinkan. Padahal ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi publik. Selain itu, bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh ruang terbuka hijau terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan, diantaranya mendorong daya dukung ekosistem, perlindungan habitat tertentu atau budidaya pertanian, pengendalian gas berbahaya dari kendaraan bermotor, pengamanan lingkungan hidrologis atau menjaga ketersediaan air tanah, serta pengendalian suhu udara perkotaan.

[caption caption="Saat weekend, warga kota Palembang selalu memadati areal taman kota Kambang Iwak untuk jogging dan berkumpul bersama keluarga. "]

[/caption]

Kesimpulannya, apakah harapan masyarakat terhadap ruang terbuka publik dapat segera terwujud? Lalu, bagaimana caranya? Ruang terbuka hijau diakui merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang, sehingga seharusnya menjadi perhatian seluruh stakeholder pembangunan. Hal itu dapat bermula dari gerakan sadar lingkungan, mulai dari level komunitas rumah tangga hingga komunitas pada level kota. Bahkan, saat ini telah banyak contoh dan anak-anak muda yang sukses menjadi pelopor kegiatan sadar lingkungan di kota-kotanya. Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun