Mohon tunggu...
Haries Sutanto
Haries Sutanto Mohon Tunggu... -

as simple as possible

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkaca Pada Dekrit Presiden

31 Oktober 2014   21:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:01 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada 18 Agustus 1945 perwakilan bangsa Indonesia berhasil bersatu mengasah dan merangkum ide rakyat yang sebelumnya terpendar dalam perjuangan kemerdekaan, menjadi Pancasila dan UUD 1945.

Perjuangan menuju kemerdekaan bangsa Indonesia yang diakui dunia ternyata masih harus melalui jalan keras. Pada akhirnya, dunia mengakui negara Republik Indonesia Serikat per tanggal 27 Desember 1949, dan tercatat sebagai anggota PBB pada tahun 1950. Kembali perwakilan bangsa berupaya sehingga menghasilkan UUD RIS dan kemudian UUDS 1950.

Bahkan dimasa lalu yang aura perjuangan menuju kedaulatan rakyat Indonesia masih sangat kental, dengan seorang pemimpin bangsa yang berkarakter kuat dan berwibawa pun, menyisakan satu catatan bahwa tidaklah mudah mengelola interaksi dalam perwakilan rakyat. Sepanjang satu dekade lalu, bangsa Indonesia sudah menjajal model demokrasi liberal dan demokrasi parlementer. Kala itu, kebebasan berpendapat dan berkelompok juga telah dijunjung tinggi, mungkin agak kelewat tinggi, mengingat adanya ideologi yang tidak berketuhanan dan jumlah kontestan pemilu hingga 172 partai politik.

Dan ketika antara birokrat dan politisi bukannya saling menghormati, bekerjasama demi rakyat, dan mempersatukan serta memperkuat ide tetapi malah saling menonjolkan ke-aku-an dan kelompok masing-masing maka tampaklah parlemen tidak dapat lagi bekerja efektif. Fakta ketika itu adalah perlemen yang bergonta-ganti dengan agenda yang tidak pernah rampung hingga berdampak kepada kondisi bangsa yang tidak terarah.

Sangatlah beruntung ketika itu bangsa Indonesia memiliki seorang pemimpin yang memahami rakyat, memiliki keinginan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan kuat, serta tidak sekedar ikut memiliki tetapi juga menjadi satu hayat dengan perjuangan, kelahiran, dan upaya penegakan negara Indonesia. Membaca kondisi badan konstituante yang kehilangan arah dan bangsa yang hampir kehilangan pegangan, maka diterbitkanlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi mandat untuk membubarkan konstituante dan kembali kepada UUD 1945.

Bukan soal nama soekarno atau bukan, presiden adalah pemimpin bangsa, adalah dia yang bertanggung jawab sepenuhnya akan menjadi seperti apa rakyat Indonesia, mau dibawa kemana. Bukan hal baru atau aneh bila mendengar bahwa wakil rakyat dalam beberapa periode terakhir dikomentari disana sini sebagai bukan wakil rakyat yang membela dan mengetahui apalagi peduli dengan rakyat. Tidak sedikit, atau mungkin sudah terlalu banyak, wakil rakyat atau pemimpin rakyat (kepala daerah) yang sudah terbukti menipu dan mengkhianati amanah dari rakyat, tanpa ada tindak lanjut penegasan sanksi yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat. Bahwa sanksi pidana yang berlaku tidak kemudian membuat takut atau keder, bisa jadi adalah realita. Apalagi tersangka koruptor bukannya diarak suruh jalan jongkok atau merangkak tetapi malah diberi jaket, biaya pengadaannya pun dibebankan kepada rakyat.

Baru selesai kisruh pemilu dan belum lagi selesai RUU MD3, bahkan palu pemimpin sidang bisa hilang, meja yang dibeli dengan uang rakyat, digulingkan begitu rupa, internal partai saling sikut, serta perang dingin antara wakil rakyat dan kepala daerah yang memang tidak akur. Dan belum cukup dilema besar internal DPR, kemudian masih dikembangkan untuk konflik dengan pemerintah.

Apakah mungkin ada benarnya bahwa semakin banyak kepala berisi justru suasana akan lebih dekat adu politik ego-status daripada pro-rakyat, kecuali bahasanya? Masa' iya perlu mensyaratkan presiden harus tukang insinyur atau laten otoriter? Sudah cukuplah tragedi Trisakti 1998 menjadi catatan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun