"BBM itu memang banyak bocornya di laut kita. Saya yakin Rp 150 triliun dari Rp 300 triliun subsidi hilangnya di laut. Kalau saya diamkan, berarti saya tidak bekerja sebagai menteri," kata Susi, Kompas, Selasa (11/11/2014).
Yang namanya cairan itu memang bisa bocor wadahnya, menguap karena interaksi dengan udara dan panas, tapi juga bisa nambah volumnya kalo kena dingin (air contohnya).
Kata Mas Iwan, "...Orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi..." begitu berulang kali terdengar sejak bertahun lalu. Cuma, karena bukan menteri dan waktunya juga nggak pas, omongan itu cuma kedengaran bagi yang lagi dengerin musik. Sambil memejamkan mata dan berimajinasi nyanyi di panggung, atau ngamen.
Lanjut Bu Menteri, "Jadi, kalau saya katakan BBM bersubsidi ini sumber maksiat. Saya minta maaf karena saya tidak bisa mencari bahasa yang lebih baik". Ini adalah contoh teladan, bahwa fakta bukan lulusan pendidikan akademis tingkat tinggi namun mampu melihat fakta dan menyampaikan dengan bahasa sesuai kompetensinya. Disitu terlihat kejujuran dan keluguan, bukan dalam rangka nyari temen, nyari kartu, atau ngumpulin tangga popularitas. Beda, sangat berbeda dengan saya... he he he he.
Subsidi memang istilah yang paling mudah untuk merayu hati rakyat. Dengan berbagai bahasa, perhitungan, dan embel-embelnya, subsidi apalagi yang langsung cair bisa memoles angka keruh popularitas dan penilaian miring khalayak. Lagian, bukankah pelajaran mengarang itu sudah fasih dilatih dari es-de. Hanya saja, memang karena umur jabatan birokrat politis cuma lima tahun, maka seringkali banyak persepsi keliru dalam menjalankan tanggung jawab membuat dan melaksanakan kebijakan. Sayang seribu sayang, persepsi ini masih tertanam dan menjamur daging, eh. Semoga Bu Susi semakin banyak labrakannya dan dicontoh yang lain. Jangan beralasan negarawan, ewuh pekewuh, etika, atau apa itu formalitas kesantuanan yang berpotensi menenggelamkan fakta didepan mata, meminggirkan permasalahan sebenarnya, sehingga aksi juga menjadi basa-basi semata.
Lagi-lagi, kembali kepada pertandingan sepak bola digambreng dengan matematika. Semakin banyak konstanta dan variabel dipahami, tentu hasil mistiknya semakin mendekatkan kepada harepan diri, ih kok jadi merembet ke tisaprak-nya nining meida, abis suka sih. Tidak berarti bahwa yang tak berharepan (..eh) dan tak berpemahaman kuat kemudian divonis lemah statement-nya lho. Apapun tendensinya, pada tahap pertama perlu kita sama-sama hargai indikasi permasalahan yang diungkap dan dicarikan solusi yang bersahabat dengan kepentingan umum jangka panjang. Mas Iwan... ada temennya dateng, Bu Susi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H