Jokowi, presiden baru di Indonesia ini merupakan sosok yang lahir dan dekat dengan rakyat. Sikap tersebut tidak hanya ditunjukkan pada satu orang belaka, namun hampir selalu ditampakkan ketika setiap kali ada kesempatan. Blusukan yang menjadi trend merupakan salah satu fakta betapa Jokowi tidak ingin memiliki jarak dengan dengan masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Dari sisi keluarga pun, bukan hanya orang yang stylish, berduit, atau berjas saja yang mudah berinteraksi. Anak-anak dan istri Jokowi tak segan untuk me-rendah-kan diri dan mengakui ke-biasa-an mereka dihadapan orang-orang yang bisa jadi malah terbiasa atau terpaksa membiasakan diri menghadai lusinan topeng dan senyum yang bisa disetel sesuai kondisi yang diahadapi.
Dan bukti terbaru adalah saat Jokowi menghadiri wisuda anaknya di luar negeri menggunakan transportasi massal pesawat kelas ekonomi. Tentu sebenarnya dia puya pilihan untuk menggunakan berbagai fasilitas dan kemudahan yang hampir tak mungkin tak bisa di-setting-kan manis. Jokowi menjadi bulan-bulanan massa untuk sekedar disapa atau bahkan diajak selfie. Jokowi mungkin adalah satu dari sekian manusia yang lebih memilih untuk tidak mengandalkan kain dan mobil anti peluru, namun memberikan senyum dan "gojegan" ramah dan "nylekit" manusiawi tanpa "tedeng aling-aling", terbuka dan sejatinya untuk memeluk dan merangkum semua suka duka dukungan serta protes dari masyarakat yang menghendaki pertanggungjawaban seorang kawan yang didaulat berdiri didepan. Ya, menurut saya dan beberapa orang lainnya, mungkin inilah contoh riil kejujuran dan pelayanan. Jokowi tidak segan untuk menjadi dirinya sendiri, tidak takut tidak disukai, dalam porsi kewajaran.
Terkait dengan itu, jadi agak mules membaca pernyataan wawancara di http://politik.rmol.co/read/2014/11/23/.
"Seperti pernyataan Jokowi, karamkan kapal-kapal Malaysia atau ketika dia bilang tidak takut popularitasnya turun karena harga BBM naik, itu mungkin sulit dipahami masyarakat," ujar pengamat komunikasi politik dari Universitas Diponegoro, Ari Junaedi kepada RMOL, beberapa saat lalu (Minggu, 23/11). "Saya amati komunikasi politik Jokowi gagal," tegasnya.
Untuk itulah menurut dia, Jokowi perlu kehadiran jurubicara yang bisa menjembatani apa yang menjadi keinginannya kepada rakyat. "Kita lihat bagaimana seorang Soeharto punya jubir handal, waktu itu Moerdiono, kemudian juga pak SBY ada Andi Malarangeng dan Julian Pasha, dan era Gus Dur ada Adhie Massardi dan Wimar Witoelar," paparnya.
Dalam perbincangan singkat dengan RMOL, Asep Warlan Yusuf menyebut Jokowi sama saja bertindak main hakim sendiri dengan pernyataan tegasnya terkait kapal-kapal ilegal milik Malaysia. Jokowi dinilai tak sensitif karena meminta agar kapal-kapal Malaysia yang tertangkap tanpa izin dikaramkan saja. "Kalau orang sipil yang bilang begitu wajar saja, tetapi perkataan itu keluar dari seorang kepala negara. Artinya, dia main hakim sendiri," tegas pakar hukum dari Universitas Parahyangan tersebut, beberapa saat lalu (Minggu, 23/11).
"Seharusnya tidak seperti itu. Tangkap dulu, kemudian sita (kapalnya). Itu namanya terlalu emosional. Takutnya perkataan semacam ini diikuti rakyat Indonesia untuk main hakim sendiri," lanjutnya. Asep meminta Jokowi untuk meniru presiden terdahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menunjuk orang-orang yang dianggap pantas jadi jurubicara. Misalnya Andi Alfian Malarangeng untuk dalam negeri, Dino Pati Djalal untuk luar negeri, dan Denny Indrayana untuk hukum.
Dari satu kacamata, ya, betul, pernyataan keren tersebut dikeluarkan oleh orang-orang yang terbukti secara akademis dan profesinya terbukti dan diakui. Namun menurut saya pribadi, pendekatan-pendekatan inilah yang berpotensi merusak konsep diri seorang Jokowi. Bentuk birokrasi-birokrasi seperti itulah yang selama ini berhasil dengan sukses mengaburkan fakta keadaan yang dialami masyarakat sehingga tidak pernah tersampaikan kepada pemimpinnya. Dan mekanisme saringan berlapis seperti itu juga yang menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berbicara seperti seolah dengan bahasa planet asing mengomentari dalam keadaan dan menetapkan kebijakan bagi rakyat dan bangsa. jauh panggang dari api.
Entah makna tulisan ini dapat dipelintir atau tidak, yang perlu dipahami bersama adalah bahwa seorang pemimpin adalah penjaga dan pelindung bagi rakyatnya. Pemimpin harus bergerak dan berubah dengan mengajak rakyat dengan vektor yang menyatu, seragam, dan seirama. Adalah terlalu bodoh mengekstrtrimkan masyarakat yang akan mengkaramkan kapal asing pencuri ikan sekedar karena kalimat dari presiden yang seirama dengan itu.
Jadi, mari kita sama-sama sudahi kebiasaan window dressing. Jangan pernah belikan Jokowi topeng atau gincu pemanis bibir. Jangan tutupi kurus tubuhnya dengan lemak lobi-lobi dan kebijakan basa-basi. Jangan coba kalian buat hati Jokowi jauh dari tuntutan hati kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H