Perempuan juga manusia, sama seperti rocker, cuma tugasnya agak berbeda, ada yang bilang sedikit ada yang bilang banyak, bedanya lho.
Menurut Menpan, Pak Yuddy, isya Allah akan (kami) terapkan. Insya Allah berarti kalau Allah menghendaki atau mengijinkan. Apakah kalimat tersebut bermaksud menarik agar Allah ikut bertanggung jawab renteng? Seratus ribu persen tidak ada orang yang menjawab iya atas pertanyaan itu. Untuk alasan agar wanita punya waktu yang cukup untuk keluarga. Apakah itu berarti para lelaki sudah dianggap cukup atau mungkin malah berlebih waktunya dengan keluarga? Entahlah, hanya beliau yang tahu, soalnya tidak ada keterangan lebih lanjut seperti kata guru bahasa dulu mengajarkan bagaimana membuat paragraf yang baik. Kata cukup juga cenderung bersayap, meski tidak terlihat ada bulu-bulunya. Kalau warna, tidak perlu diucapkan, semua otomatis tahu, kadang tidur saja bisa bermimpi begitu, warnanya putih kalo bisa dasinya atau syalnya merona. Idiiih. Kapan tumbuh sayapnya juga tidak ada yang tahu. Hanya orang-orang dengan kekuasaan super tinggi dan keahlian super mumpuni yang konon boleh menyatakannya. Soalnya, bila ditanya dasarnya apa, bisa asal tunjuk orang gajian atau honorer untuk menyiapkan risalahnya. Konon kabarnya pun, telaahan itu, meski riskan mengundang bantahan toh jalan melesat tanpa kurang suatu apa.
Kalau kata Pak Nurhasan, Ketua PUI, wanita punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan. Ingat, ke depan lho, bukan ke belakang. Mungkin yang menyiapkan ke samping atau ke belakang itu kaum pria. Mohon konfirmasi dan koreksi bila keliru. Atau mungkin malah kita kaum pria tidak dibebani dengan kewajiban itu, syukur alhamdulillah. Heh, itu siapa yang ngomong, celetukan saja kerjanya. Kata Pak Nurhasan juga, gagasan itu muncul dari seorang wapres yang prihatin dan khawatir mengenai nasib generasi muda ke depannya. Dalam hal ini saya mengaku jujur kata "prihatin" dan "dan" itu bonus gosip dari saya pribadi sebagai barter atas imbuhan ke-an pada khawatir yang saya ambil. Rencananya mau saya pakai untuk beli bahan bakar impor kebutuhan motor.
Lanjut Pak Nurhasan, sentuhan menarik dari Wapres JK itu sudah menjadi perhatian di PUI sejak beberapa waktu dan akan diagendakan dalam muktamar untuk mendukungnya. Luar biasa. Ini bentuk perhatian yang sangat besar dan penting artinya. Sangat mendukung tema pengarus-utamaan gender yang didengungkan di alam reformasi ini. Adalah sangat wajar kiranya bila penggagasnya mendapat tidak sekedar applaus tetapi juga dinobatkan sebagai apalah pokoknya yang keren betul.
Anehnya, seorang dari Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, Sang Ketua, justru berpikir agak sedikit kritis analitis semi takut khawatir. Menurut pandangan Bu Yuni (entah beli kaca matanya dimana), kebijakan tersebut justru riskan/berpotensi menimbulkan ketidakadilan gender. Hati-hati, saya menggunakan alih kata dan bahasa yang tadinya cuma "dapat" tapi saya ganti "justru riskan/berpotensi". Menurut pandangan saya menjadi terlihat lebih keren dan menggemaskan (padahal hanya biar terkesan intelek). Lanjut, Bu Yuni pun ragu (kebijakan ini) akan dapat menyelesaikan masalah. Entah masalahnya apa, saya juga sedang agak malas (biasanya malas betul) sehingga tidak mencari tahu apa yang sebenarnya dibahas. Jaman dahulu kala, saya kadang menjadi pemborong untuk cari masalah yang saya sudah punya kunci-kunci penyelesaiannya. Tentu saja, koleksi kunci-kunci itu juga melalui proses berpikir, khawatir, prihatin, dan gagas-menggagas, yah mirip-mirip gitulah.
Kemudian Bu Yuni juga menyampaikan beberapa poin yang menurut saya juga termasuk krusial. Disini krusial tidak berasal dari kata kursi sial. Meski saat bercanda dengan teman ngopi di warung sebelah, saya suka mendengar beberapa nama dimaki sialan atau bilang kursinya goyang. Suka bukan berarti sayang atau cinta, tetapi kadang. Beberapa poin itu adalah gangguan kinerja pegawai, diskriminasi gender, dan single parent. Oooo... menurut Bu Yuni, permasalahannya adalah pengasuhan anak. Itu juga kewajiban laki-laki, implisit dari beliau. Laporan Edward Febriyatri Kusuma, Bu Yuni malah menyerankan agar mengatasi masalah kemacetan di Jakarta. Menurut saya pribadi itu adalah ungkapan proaktif menghimbau dan menganjurkan serta memberi arahan yang bijak. Jauh lebih bijak daripada yang sedikit bijak apalagi yang tidak bijak.
Komnas Perempuan justru menyambut baik kebijakan di Kementerian Agraria yang membolehkan PNS perempuan terlambat masuk kerja karena alasan menyusui. Sayangnya, kalimat Edward Febriyatri Kusuma itu titik sampai disitu. Ini mengandung bahaya pemahaman yang keliru, apabila memang tidak dimaksudkan agar ditafsirkan begitu. Menyusui siapa? Karena ditambah-jelaskan oleh Bu Yuni juga hanya menyambut positif karena proses menyusui itu merupakan bagian dari fungsi kesehatan reproduksi, dan seharusnya seperti ini. Maksudnya ini apa, semoga piktor saya keliru. Saya merasa benar, yang mungkin keliru adalah piktornya.
Tadinya kalau semua beramai-ramai mendukung pengurangan jam kerja perempuan sebanyak dua jam, saya akan segera maju menjadi pionir untuk menggalang dukungan agar pengurangannya tidak hanya dua jam atau satu jam didepan dan satu dibelakang. Mohon maaf, tidak bermaksud merendahkan orang lain atau pendapatnya. Kalau menurut saya pribadi kenapa tidak sekalian enam jam, atau sepuluh jam, atau seribu persen lah. Jadi tidak kepalang tanggung. Pasti kelak bisa mendapatkan suara di pemilu tahun 2200 kemenangan telak.
He he he he. Maaf, saya suka bercanda keterusan. Soalnya bercanda itu asyik dan belum dikenakan retribusi atau pajak. Serius, pada kesempatan ini saya ingin memberikan applaus dan penghargaan setinggi-tingginya kepada rekan-rekan perempuan yang tidak berhenti mendedikasikan waktu, pikiran, dan tenaga sehingga memberi manfaat bagi lingkungan dalam arti positif disela kesibukan mengasuh anak dan melayani suami yang jelas adalah prioritas utama. Saya ingin memberikan dorongan moral dan semangat kepada adik-adik perempuan agar benar-benar hati-hati memilih agar mendapatkan seorang imam atau laki-laki yang bertanggung jawab yang senantiasa prihatin dan khawatir dalam arti positif atas segala hal sehingga mampu menempatkan diri dan mengatur penunaian tanggung jawab masing-masing secara bijak dan senantiasa saling menghormati dan menyayangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H