Mohon tunggu...
Haries Sutanto
Haries Sutanto Mohon Tunggu... -

as simple as possible

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dejavu Pesawat dan Cicak

26 Januari 2015   04:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:22 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mencoba cuek beberapa minggu terakhir ini, atau lebih tepatnya setahun ini, karena melewati 2014 hingga 2015. Setelah hilangnya pesawat-pesawat kepunyaaan kerajaan sebelah rumah, disusul gembar-gembor bbm, lanjut dengan penghentian masa edar sosok-sosok manusia dengan jalan pikiran mungkin keblinger, hingga soal beban masyarakat dengan penulisan tiga angka nol besar, dan sampai kepada sms istri soal tawuran sesama binatang melata. Soal musibah pesawat, tentu empati, ya, bagi beberapa orang termasuk penulis ini, perasaan yang berkenaan dengan hal yang dialami orang lain juga menjadi sekedar rahasia hati. Salut kepada rekan-rekan yang sehingga turun ke jalan dan menyuarakannya lewat tulisan maupun kata-kata diatas lidah.

Tidak pernah sengaja untuk mencari tahu atau surfing perihal kenapa pesawatnya naas, masih hilang, atau sudah ketemu. Riuh rendah diluar sudah lebih dari cukup untuk mengabarkan soal itu.Yang mengherankan ada saja mulut yang komentar ketika para pahlawan penemu jazad pesawat dan penumpang mendapatkan penghargaan dan reward berganda. Bukankah itu sudah tugas mereka? Wah, soal itu kenapa juga diurusin. Menurut kami, toh soal reward itu sama sekali tidak menyedihkan atau membahagiakan kami. Itu sudah hak prerogatif para penguasa tanah air nusantara ini. Suka-suka mereka. Termasuk soal bikin angkot harus pakai AC, sebelum pesawat take off harus bikin rapat kerja, atau koordinasi, atau apalah, kemudian motor roda dua harus ini itu. Suka-sukamulah para pembuat kebijakan. Mumpung masih ada kesempatan sekitar lima tahun bisa mengobok-obok entah hal penting atau nggak penting, masalah atau solusi, situ-situ.

Cuma sebelnya saya, kenapa pas kebetulan nonton film bajakan passengers yang dibintangi Anne Hathaway sama flight-nya Denzel Washington. Melihat skenario-skenario profesional dan orang-orang dengan karakter luar biasa. Cuma di film. Angan-angan dunia realita. Tidak ah, tidak mau cerita mereka yang entah berniat baik atau buruk namun berupaya bermanuver dengan olah kata dunia perundangan. Saling mengalahkan dan mencari pembenaran dengan menggunakan segala cara. I don't really care.

Entah bagaimana juntrungannya, tapi karena memang belum pernah nonton, yang terpilih kemudian adalah Changeling yang dibintangi Angelina Jolie. Perjuangan seorang ibu yang kehilangan anaknya. Diangkat dari kisah nyata, tentu dengan bumbu drama secukupnya. Luar biasa melihat perjuangannya. Termasuk perilaku seorang penegak hukum yang masih manusia. Masih banyak kesan dari film itu, tentang empati dan simpati pemberi jasa pro bono dan penyiar berita. Saya tidak mau bercerita soal dunia kesehatan dan dunia aparatur hukumnya, apalagi soal yang mengaku Walter saat "ditemukan" dengan ibu "aslinya". Anggap saja bumbu yang kebanyakan.

Heran lagi, kenapa menu tontonan kemudian adalah The Departed. Tadinya terpikir film drama komedi, karena ada Jack Nicholson. Mungkin mirip-mirip Leonardo Dicaprio pas jadi jago mengaku-ngaku. Ternyata ceritanya rumit dan penuh intrik. Memang bagi saya perlu beberapa kali menonton film asing untuk dapat menemukan alur dan jaring cerita. Tetapi karena intriknya mirip seperti gulat cicak dengan cicak yang lebih besar lagi, atau buaya kecil dengan buaya raksasa, saling kanibal makan memakan, ya sudah cukup satu setengah kali putar saja.

Sebelum kemudian tadi diakhiri dengan mandi sabun wangi serta disusul makan malam yang pedas hangat, sempat terpikir, betapa dunia laptop kecil off-line didepan hidung sesiang tadi menjadi dejavu atas kondisi di suatu masyarakat bangsa yang beberapa minggu terakhir mengiang-ngiangi telinga. Sedikit berimajinasi seandainya adalah fakta adanya dalang-dalang besar dalam perjalanan layar kaca, layar emas, maupun layar jagad raya. Horornya bila mereka menggoreng nafsunya dalam frame ilmu dan norma standar. Wah, dejavu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun