Rambut hitam ikal yang sedikit agak gondrong itu mulai bersimbah peluh.Kedua kelopak matanya yang bersinar garang seperti mata harimau, sebentar-sebentar mengerjap nakal.Pada pipinya yang sedikit padat, berceceran titik-titik keringat.Aku mulai mengusapnya perlahan, lalu menekankan kembali raut wajahnya lebih lekat dengan wajahku.Suara helaan nafas kita sesak merayap, menyusuri pori-pori yang kian melebar.Aku menggigit bibirnya, hingga dia mengerang panjang.
Dia tertidur.Lelap, dalam keheningan yang pekat.
Melihat dia tertidur pulas dalam dengkuran tak berkesudahan, adalah kepuasan tersendiri.Inilah saat dimana pandanganku mulai menelanjanginya, dari ujung kaki hingga ujung rambut.Menatapnya dengan perasaan normal, perasaan yang semestinya tidak perlu dibuat-buat sebagai sebuah sandiwara seperti permainan teater di atas panggung pementasan.Aku suka mencium aroma tubuhnya, bukan aroma parfum benethon yang memabukkan atau aroma polo sport yang menggairahkan atau aroma parfum lain dari berbagai brand kenamaan, tapi aroma khas laki-laki perkasa; aroma ladang.Aroma yang akan menjadi sensasi menakjubkan manakala keringatnya mulai basah membanjiri lekuk-lekuk dalam tubuhnya.
Punggung itu aku biarkan terbuka, padahal udara terasa begitu menyiksa.Aku ingin menelitinya lebih seksama.Apa sih yang menarik dari sebuah punggung?Ada rasa penasaran yang menghantuiku, ketika dia selalu takjub tiap kali menatap punggungku, tanpa keletihan meski sudah berjam-jam matanya lekat di belakangku.“Sudah kutitipkan satu bintang di punggungmu, dan bintang itu adalah keabadian”, katanya, pada suatu malam.Punggung itu begitu kekar, otot-ototnya seperti akar pohon besar, yang erat mencengkeram tanah.Aku mengecupnya perlahan.Ada tahi lalat besar di pojok kanan, sebagaimana yang tertancap pada punggungku.Barangkali kita punya kesamaan dalam hal ini, tahi lalat di punggung itu adalah perlambang bahwa kita sama-sama memangku beban bagi banyak orang.
Aku tidak sabar menunggunya terjaga, aku ingin melihat matanya yang menatap penuh harapan, “Buatlah aku senang”, bisiknya penuh rasa iba.Dan aku menyukai permainan ini, ketika dia dengan sukarela ingin menjadikanku sesembahannya.Aku tuannya, dan dia budaknya.Akulah nyonya, dan dia cukup jadi rewangnya.Aku akan mengajarinya, sebagaimana aku guru, dan dia adalah muridnya.“Anggap saja ini adalah wilde scholen, sekolah liar”, ucapku beberapa hari lalu, saat pertama kita memutuskan untuk menghabiskan tujuh hari hanya dalam kamar ini.Segala hal akan dia lakukan, demi sebuah pelepas dahaga yang berkepanjangan.
Badan kekarnya mulai menggeliat, matanya terbuka perlahan, dan dia masih perlu menguap sedikit sebagai tanda bahwa tidurnya belumlah puas.Aku cukup mengarahkan pandangan ke kamar mandi, dan diapun dengan sigap menyambar handuk, dan membiarkan mataku menyusuri kekekaran tubuhnya yang hanya berbalut cawat hitam., sampai dia hilang di balik pintu.
Aku bisa mendengar suara air kran yang mengucur deras dari dalam sana, dan suara jantannya mulai mengerang dalam gigil, karena memang sengaja tadi kumatikan mesin pemanasnya.Udara musim hujan begini memang terlampau menusuk sampai ke dalam tulang lapisan paling bawah.Dia berlari ke luar, dan berdiri tertegun di hadapanku.Lama dia memperhatikan wajahku, “Seorang budak, tak diperkenankan menatap wajah tuannya, tanpa izin”, bisikku di telinganya.Lalu dia menunduk, perlahanmenarik leherku kedalam pagutan bibirnya.Aku seperti tersiram dinginnya es.Handuknya perlahan terlepas, terkulai di atas keramik putih yang memantulkan bayangan tubuh kita.Cawat yang dia kenakan masih basah.
Keramik itu kian licin, air menetes perlahan dari cawat yang lupa dia tanggalkan.Tapi sebagaimana budak, dia akan menurut seperti anjing.Aku cukup menatap tajam matanya, dan dia beringsut mengambil kain dan mengeringkankannya sampai tak ada satu tetespun air yang tertinggal di sana.Dia tersenyum puas, matanya berbinar, mata yang memancar garang di bawah lengkung alis yang tebal dan hitam.Dia julurkan kedua telapak tangannya ke bawah tatapanku.Sepasang tangan itu teramat kekar.Tangan yang terbiasa menjadi tuan semua binatang gembalaanya, tangan yang teramat hafal bagaimana cara melecut pantat binatang supaya paham maksud tuannya.Tapi kali ini, denganku, dia ingin memutarbalikkan kebiasaannya.Dia ingin rasakan menjadi binatang, “Keinginan gila”, batinku.
Dia ambilkan ikat pinggang yang masih menggantung di tali celananya, menaruhnya dalam genggamanku, lalu dia telungkup di hadapanku.“Cambuklah!Aku akan senang, jika kau terus menyakitiku”.Mataku mulai liar, aku mencambuk pantatnya yang sangat gempal, lalu berpindah melecut punggungnya.Ada gurat-gurat merah di sana, tak ada jerit kesakitan, justru dia mengerang kenikmatan, barangkali berahinya mulai memuncak.Setelah berkali-kali kuperlakukan dia seperti binatang, dia mulai meringis, lalu membalikkan badannya.
Dia membiarkan kepalaku rebah di atas perutnya yang datar, dan baru kusadari ada tatto kecil bergambar Cooby yang memanjang diantara pusar dan selangkangannya.Aku tersenyum geli, karena pada tempat yang sama di dalam tubuhku, bertengger juga sebuah tattoo kecil bergambar peri bersayap.Tak sabar, dia mulai menarik wajahku ke atas, melumat bibirku dengan buas, sampai dia berhenti pada titik puncak; orgasme.Selama beberapa malam ini, kita hanya melakukan perkelaminan secara konvensional saja, muka bertemu muka.Dia selalu bilang, “Aku adalah Dasamuka, yang akan terus menjaga kesucian Shinta.”Bagiku, itu tak mengapa, toh selama bersamanya, selama kesepakatan itu ada, vaginaku tidak terlalu banyak terangsang oleh zakarnya yang selalu nampak menonjol dari balik cawat hitamnya.Tak ada yang salah, ini adalah sebagian kecil dari dendamku dengan makhluk yang bernama laki-laki.Satu persatu, aku buat mereka jatuh cinta, lalu aku akan meninggalkannya begitu saja.Entah, sudah berapa mangsa yang aku telan.Rasanya masih juga belum puas.
Aku senang bersamanya, segala usaha kulakukan untuk membuatnya puas, meski tanpa persetubuhan.Dia bilang, dia sedang bosan dengan domba dan sapi-sapinya.Dia biarkan ladangnya merana, dan dia ingin habiskan waktu satu minggu ini bersamaku.Tapi satu hal yang selalu hadir menjadi keresahanku, adalah saat aku harus memikirkan, bagaimana lagi aku mampu menyakiti tubuhnya, sedang dalam batinku aku meraung dalam tangis.Tapi, bagaimanapun sebagai seorang tuan, aku harus tetap kejam.“Aku haus”, kataku, setelah ciuman panjang itu.Dia melangkah mengambil minuman kaleng di kulkas.Dia selalu tau detail tentang kesukaanku, anggur Samarqandadalah salah satunya.Aku menenggaknya perlahan, dia hanya menatap penuh rasa ingin.Dan ide gila itu mucul untuk menyiksanya kembali, aku tuangkan anggur kaleng itu ke atas perutku, aku tarik kepalanya, dan dia mulai menjilat dengan rakusnya.Tapi itu belum seberapa, masih kurang puas, aku menumpahkannya di sepanjang kakiku, kepalanya mulai turun, lalu perlahan mendaki untuk sekedar melepas semua dahaganya.
Malam kian larut, ini adalah malam ketujuh sejak kesepakatan gila itu.Aku sengaja hanya menyalakan lilin sebagai penerang kamar, biar suasananya lebih romantis.Sekarang, ada yang perlahan mulai mengoyak perasaanku, tiba-tiba aku tak ingin terlepas darinya.Aku tidak bisa membayangkan hal-hal untuk hari-hari berikutnya.Bagaimana kalau ternyata ada perempuan lain yang mampu memberikan kepuasan lebih kepadanya?Bagaimana, kalau ternyata kerinduan itu akan muncul setiap kali aku mengingatnya?
Tak terasa ada bulir-bulir hangat di sudut mataku; aku menangis, yah aku menangis.Air mata ini akhirnya bisa keluar juga, airmata yang selama beberapa tahun terakhir aku jelmakan menjadi tawa yang teramat riang, tawa yang buatku merasa akulah perempuan yang bisa memiliki segalanya, perempuan yang bisa dapatkan apapun yang aku inginkan.Menaklukkkan laki-laki, menaklukkan perempuan.Akulah perempuan bertopeng yang paling jalang.Tawa itu terngiang-ngiang, menjadi suara yang paling kejam, menusuk-nusuk pendengaranku.Tawa kepuasan saat aku bisa meniduri berbagai macam kecantikan perempuan, tawa saat bisa kurasakan menghisap puting dari berbagai ukuran payudara, tawa saat bisa kuludahi berbagai bentuk vagina dengan ludah berahiku.Betapa selama ini, akulah tuan, akulah nyonya, akulah guru dari semua jenis kelamin.Tawa itu terus terbahak-bahak, melecuti perasaanku, tawa yang lepas setelah melupakan Tuhan.
Derai hujan di luar, berlomba dengan derai air mataku.Aku menatap lelaki perkasa ini, yang terkulai lemah di atas dadaku.Tak terasa, aku telah mendekapnya erat sedari tadi, aku menciumnya bukan dengan berahi, dengan setulus rasa yang tiba-tiba mencuat dari lubuk nuraniku yang paling kelam.Ada satu bintang di tiap bola matanya, bintangitu perlahan melesat menusuk mataku, menerangi lembah hitam dalam jiwaku.Aku meraung sejadi-jadinya, menghisap seluruh aroma tubuhnya, dan membiarkan dua tattoo kecil di bawah pusar kita melekat erat, dan saling mencecap tiada henti.Dua tattoo itu perlahan mengepakkan sayapnya, terbang bebas ke angkasa, menyusuri luasnya marcapada, menembus langit, lalu keindahan alam impian itu tertembus perlahan, tak berujung.
Aku tunduk, menghapus segala kesepakatan, aku menjadi Ken Dedes, dan dia menjadi si buas Tunggul Ametung.Kita telah langgar adat leluhur, melupakan kesucian, tapi setidaknya aku telah kembali menjalani kodrat sebagai perempuan.Persetubuhan dua kelamin, bukan seperti yang selama ini aku lakukan.Hujan semakin deras, gigilnya malam perlahan mengubah sebuah perjanjian, menjadikan kamar ini sebuah persemayaman Rama dan Shinta. Dan detik ini juga, senyum di bibirku seakan enggan menanggalkan diri, betapa aku telah menjadi perempuan paling perempuan.Buah dari sebuah kesabaran Yesugei atas penantian tulusnya cinta Ouluun, menjadikanku bertekuk lutut, hingga aku menjadi lacurnya yang paling binal.
Lenguh sapi di ladang semakin tajam, berlomba dengan lenguh kita yang tak berkesudahan.Dan nyala lilinpun perlahan redup, lelehan terakhirnya masih sempat menuntun mataku pada satu titik angka di kalender, tujuhbelas bulan sebelas, sebelum akhirnya kita lelap dalam remang.
*Pada sebuah permulaan waktu, tujuhbelasbulansebelas, saat Doa-doa mengucur deras hanya untuk[mu].Selamat merambah titik keelahiran :)
Notes : ide cerita, dari novel “Ode untuk Leopold Von Sacher – Masoch”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H