Palu, Â 01 November 2019
Penulis : Heandly Mangkali Tomaringku
Ini cerita penulis, Â saat mengunjungi, berbagi cerita suka duka, Â dan mendampingi beberapa warga, tepatnya beberapa keluarga korban bencana likuifaksi petobo.Â
Ada beberapa hal yang kemudian berhasil kita koordinasikan dengan pihak terkait, salah satunya tentang pemberian surat keterangan kerja dari salah satu yayasan NGO kepada korban bencana, Â yang berstatus tenaga kerja, Â untuk keperluan melakukan pencairan JHT di BPJS tenaga kerja. Hal lain yang ikut kami koordinasikan adalah, Â pemberian waktu kepada korban bencana yang statusnya debitur salah pembiaayaan dikota palu. Kemudian ada yang belum dapat dituntaskan, Â adalah koordinasi dengan pihak BANK untuk korban yang berada pada kawasan zona merah, Â terhadap status kredit yang diberikan kepada debitur. Â Saat ini bank mendesak agar debitur segera mengambil sikap menentukan keputusan terhadap kredit yang dinilai macet, dan bank akan melakukan penyitaan terhadap perumahan kawasan zona merah. Kami pemerhati persoalan pasca bencana palu, Â sangat miris mendengar langsung penuturan debitur tentang sikap sikap beberapa pihak, Â yang sama sekali tidak mengedepankan asas kemanusiaan dan keberpihakan kepada korban bencana.Â
Yahh,, bencana Palu Sigi dan Donggala, atau dikenal pasigala yang sudah setahun berlalu,  kini diperhadapkan pada bencana rasa keadilan bagi korban.  Penulis sengaja mengangkat judul,  bencana ini adalah musibah bagi korban,  dan juga anugrah bagi orang tertentu. Hal ini kita ketahui, bahwa ada ribuan orang yang menjadi korban, bahkan ada banyak jasad yang sampai hari ini tertelan bumi tanpa ditemukan. Bila  mengenang cerita 28 september 2018 lalu,  maka setiap mereka yang jadi korban dan selamat,  memiliki trauma yang sangat panjang dengan apa yang mereka alami. Â
Kini di setahun pasca bencana, Â harapan mendapatkan bantuan pemerintah dengan relokasi dan hunian tetap yang pasti menjadi pertaruhan hidup mereka. Banyaknya jumlah anggaran yang masuk dikota palu dan sekitarnya, Â justru membuat ada keluarga yang menjadi korban, Â justru belum memperoleh kepastian akan hunian tetap dari pemerintah. Bahkan beberapa kali harus berurusan dengan BPBD untuk mengcover keluarga tersebut. Sangat miris ketika saya secara langsung mendengar cerita anak kecil keluarga ini, Â yang dengan polosnya bercerita tentang perjalanannya keluar dari kawasan perumahan petobo yang dihantam likuifaksi. Ini adalah musibah bagi keluarga ini, Â dan sejumlah keluarga korban lainnya.Â
Nahh.. pada sisi ini penulis menggambarkan bahwa bencana petobo juga adalah anugrah bagi keluarga yang lain, Â yang saat itu berstatus tinggal mengontrak atau tinggal pada orang tua di perumahan petobo. Â Mereka tidak kehilangan keluarga dan rumah, Â karna memang mereka tidak memiliki rumah, Â tetapi karna saat bencana mereka tinggal dikawasan petobo, Â maka nama mereka masuk dalam daftar keluarga yang akan memperoleh hunian tetap dari pemerintah. Sungguh merupakan anugrah, karna tak akan lagi ada biaya kontrakan, tak akan ada lagi pengeluaran untuk membangun rumah, Â dengan adanya program huntap, Â maka mereka dapat mewujudkan harapannya. Â Salah satu keluarga bahkan masih satu rumah dengan orang tuanya, Â tetapi telah memiliki KK sendiri, sehingga data huntap yang diperoleh menjadi dua. Â Mengorbankan satu rumah, Â mendapatkan dua huntap.Â
Dua fakta diatas tentang musibah dan anugrah atas kasus bencana petobo, Â bagi saya bukan kesalahan dari warga masyarakat. Â Tetapi pemerintah daerah, tidak obyektif melakukan pendataan dan penentuan penerima huntap. Apalagi isu mafia anggaran bencana dikota palu, Â menjadi perbincangan publik. Â Maka setahun pasca bencana, Â upaya pemulihan sudah berorientasi pada deal deal proyek, dan bisa jadi kepentingan pihak pihak tertentu yang hanya mencari keuntungan sendiri.Â
Susah bagi warga masyarakat dan kami menilai, Â hadirnya presiden Joko Widodo dikota palu dan berkunjung ke huntap, Â apakah itu sebuah isyarat penegasan pemerintah ada untuk memberikan rasa keadilan bagi korban bencana, Â atau sekedar safari kegiatan pencitraan, Â mengenalkan kabinet yang baru dan meraih simpati masyarakat saja. Â Tentu masih ada titipan harapan, Â bahwa hak rakyat yang menjadi korban, Â harus diberikan dan didahulukan. Â Bahkan bantuan kepada masyarakat yang meninggal keluarganya, Â apakah itu betul adanya?? Â Karna ada catatan keluarga yang tidak memperolehnya sampai hari ini.Â
Kita sudah sedikit melupakan gempa bumi yang terjadi di kota palu. Yang lebih terasa hari ini sangat kuat bergetar, Â adalah gempa yang terjadi di pemerintahan, Â dimana anggaran bencana digoyang dengan sangat kuat, Â dan rakyat yang menjadi korbannya, Â lalu orang orang tertentu merasakan enaknya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI