[caption id="attachment_295876" align="aligncenter" width="620" caption="foto: tempo.co"][/caption]
Hari-hari terakhir, disela-sela bisingnya berita tentang korupsi dan krisis ekonomi, ada sesuatu yang mengejutkan: "Sitok Srengenge (SS) Menghamili Mahasiswa". SS bukanlah nama asing di blantika sastra dan budaya Indonesia modern, karya-karya sastranya banyak terpajang di etalase toko buku dan perpustakaan. Sebagai seorang sastrawan dan karena kiprahnya, SS oleh masyarakat kemudian "ditahbiskan" sebagai seorang budayawan.
Budayawan, sebuah kata untuk menyebut seseorang yang menggeluti profesi kebudayaan, kata dasarnya adalah budaya. Secara bahasa, ada beberapa makna atau definisi kata budaya: (1) pikiran; akal budi: hasil, (2) adat istiadat, (3) sesuatu mengenai kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju), dan (4) sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan (artikata.com).
Berdasarkan makna tersebut, seorang budayawan bisa katakan sebagai orang yang mengabdikan dirinya untuk menghasilkan perilaku pada satu kelompok masyarakat yang kemudian dipraktekkan secara bersama-sama sebagai sebuah peradaban. Secara sunatullah, hanya ada dua kategori perilaku yang dapat tercipta: perilaku baik dan perilaku buruk.
Semua orang, siapapun dia, yang memilih menggeluti dunia satra dan budaya, mau tidak mau; suka tidak suka, akan mendapatkan status sebagai seorang budayawan dari masyarakat. Sebagai manusia biasa dengan fitrahnya yang tidak luput dari khilaf dan salah, budayawan dituntut untuk mampu mengontrolnya karena ia adalah panutan.
Seorang budayawan juga memiliki multi-tanggungjawab dihadapan masyarakat; selain sebagai pencipta "kebiasaan", ia juga sekaligus sebagai penjaga nilai; nilai-nilai luhur yang ditegakkan oleh masyarakat agar nilai ini jelas bedanya dari nilai nista. Masyarakat menatap seorang budayawan sama seperti halnya pada rohaniawan atau ulama: sebagai penjaga nilai-nilai.
Pada kasus yang terjadi pada SS yang memperkosa atau menyetubuhi seorang gadis yang bukan istri syahnya hingga sang gadis hamil tentu bukan contoh dari nilai luhur; perbuatan ini telah keluar dari nilai-nilai. Perbuatan ini merupakan perbuatan nista. Sehingga SS sebagai sang penjaga nilai telah gagal menjalankan perannya. Ia telah mengkhianati dirinya sendiri, mengkhianati masyarakat dan mengkhinatai keluarganya; ia telah membuat nista dan menistakan nilai-nilai yang dirinya sendiri ikut aktif menciptakan dan mengembangkannya.
Atau jangan-jangan SS sedang mensosialisasikan hasil olah rasa dirinya bahwa "memperkosa seseorang" adalah budaya baru yang bisa dikembangkan menjadi adat istiadat di masyarakat?
Semua hal yang dipraktikkan oleh masyarakat adalah hasil olah budaya generasi sebelumnya. Masyarakat tentu berharap bahwa perilaku yang diolah oleh budayawan adalah perilaku baik, nilai luhur agar generasi muda mendapat jalan terang. Umumnya perilaku buruk atau perbuatan nista dihasilkan oleh para oknum atau preman.
Terperosoknya SS pada kenistaan menunjukkan transformasi dirinya dari seorang budayawan penjaga nilai menjadi seorang oknum. SS sudah bosan menikmati kehidupan mawaddah wa rahmah bersama "bulan", Farah Maulida, yang selama ini menjadi "partner" hidupnya dan telah memberinya sebuah "bintang", Laire Siwi Mentari, yang rupawan. SS lupa bahwa ia dengan profesi yang dipilihnya adalah harapan keluarga dan idola masyarakat. Namanya yang unik dan bermakna dalam: "Satu Matahari", Sitok Srengenge (seharusnya) memberi cahaya hangat kepada kehidupan, bukan menghancurkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H