Mohon tunggu...
mcDamas
mcDamas Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Orang biasa (seperti kebanyakan rakyat Indonesia) yang sok ikut kompasiana meskipun terbata-bata. Bila teman bersedia, klik juga http://kitabiza.com, http://lampungsae.com, http://inacraftmart.comdan http://englishsolutioncenter.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Alawy, Deny: Korban Negara Salah Urus

27 September 2012   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:34 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

langitberita.com

Tawuran pelajar, terutama di kota besar seperti Jakarta, bukanlah hal baru. Peristiwa tawuran sudah lama ada dan berulang kali terjadi. Tetapi setiap ada tawuran, reaksi yang muncul dari masyarakat dan pejabat publik selalu sama: prihatin. Kata "prihatin" seakan menjadi senjata untuk menutupi ketidakmampuan masyarakat, pemerintah atau negara untuk merumuskan satu solusi efektif untuk menghapus atau paling tidak meminimalisir budaya tawuran. Setiap timbul korban (tewas) akibat tawuran, yang terjadi di masyarakat dan di pemerintah adalah saling menyalahkan dan mencari kambing hitam. Tidak pernah, terutama dari pihak pemerintah sebagai penyelenggara negara, duduk bersama dengan masyarakat untuk hearing dan sharing untuk mendapatkan ide atau solusi yang efektif untuk mengatasi tawuran pelajar. Yang selalu dilakukan berulang-ulang adalah tindakan reaktif dan temporer seperti merazia pelajar atau mencurigai gerak-gerak pelajar yang sedang berada di luar sekolah. Kalaupun ada tindakan yang agak permanen, paling-paling hanya sebatas memecat/memindahkan pelaku pembunuhan atau mendirikan posko anti tawuran di sekitar lokasi. Sehingga yang terjadi adalah seperti ini: Saat dikunjungi oleh Mendikbud, pelaku pembunuhan Deny (pelajar SMA Yayasan Karya 66 -Yake), AD yang saat ini meringkuk ditahanan Polres Jakarta Selatan mengaku puas dengan aksinya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan(Mendikbud) M Nuh pun kaget dengan jawaban AD tersebut. "Jadi saya tadi sudah bertemu dengan tersangka. Memang saya agak surprise saya tanya 'puas mas telah membunuh korban, puas pak'. Siapa yang nggak kaget membunuh orang puas," ujar M Nuh di Polres Jakarta Selatan, Jalan Kebayoran Baru, Rabu (26/9/2012). sumber: detik.com Sungguh suatu pengakuan yang mengerikan dari seorang remaja yang sudah menghilangkan nyawa orang lain. Pemerintah, dalam hal ini sebagai pihak yang diberikan amanah oleh rakyat untuk mengelola negara ini, telah gagal dalam menjalankan perannya. Bila kita cermati, akar masalah dari membudayanya aksi tawuran pelajar adalah hilangnya konten pendidikan di sekolah-sekolah. Tidak ada lagi pendidikan menyangkut nilai-nilai luhur budi bekerti, menghormati sesama dan saling menyayangi. Yang justru menjadi concern utama pemerintah adalah menjejali para pelajar dengan konten kurikulum di mana sekolah didirikan tidak lebih dari sekedar sarana memaksa rakyat mengerahkan dana, energi dan pikiran untuk mengejar angka. Pemerintah sama sekali tidak peduli bahwa sistem pendidikan dan kurikulum yang mereka tetapkan sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian para pelajar. Di sinilah kata kuncinya. Rakyat sedini mungkin dipaksa untuk fokus pada usaha menghadapi UN daripada fokus pada proses pendidikan guna menyerap nilai-nilai pendidikan. Rakyat diarahkan untuk mendapatkan sertifikat agar dapat mencari/menjadi  pekerja daripada menjadi manusia yang mandiri. Seluruh waktu yang ada dan dimiliki oleh para pelajar dihabiskan untuk menghadapi UN; guru mengajar di kelas tak lain hanya membahas soal-soal yang kira-kira akan keluar dalam UN. Setelah pulang sekolah pun para pelajar tersebut masih melanjutkan rutinitas mereka membahas soal-soal yang sama di lembaga-lemabaga Bimbel. Para pelajar hampir tidak memiliki waktu tersisa yang bisa mereka alokasikan untuk kegiatan kemanusiaan, kebudayaan, pengembangan kepribadian atau penghayatan terhadap nilai-nilai kehidupan. Lebih menyedihkan lagi, pemerintah (kemendikbud) seperti tak peduli dengan materi yang termuat dalam buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah. Akibatnya materi-materi terlarang seperti gambar kartun Nabi, foto bintang porno Miyabi atau pembahasan vulgar tentang alat kelamin masuk di buku-buku pelajaran. Saat kita menitipkan anak kita untuk dididik di sebuah sekolah, pada saat itu kita mempercayakan pendidikan anak kita pada sekolah; dan kita sebagai rakyat tidak memiliki otoritas sama sekali untuk mengubah atau tidak mengikuti sistem pendidikan dan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah. Jadi bila kita masih boleh menunjuk kambing hitam yang harus kita salahkan atas terus tumbuh suburnya budaya tawuran di kalangan pelajar, kita harus menyalahkan pemerintah.Pemerintah telah gagal mengelola negara ini dengan baik dalam rangka memajukan harkat dan martabat hidup rakyatnya.

13487745381585472452
13487745381585472452

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun