[caption id="attachment_305740" align="aligncenter" width="663" caption="Banjir di Jakarta. Gambar: Kompas .com"][/caption] Seorang warga di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, mempertanyakan mengapa saat ini di daerahnya masih dilanda banjir padahal Jokowi Gubernur DKI Jakarta sudah blusukan ke daerah tersebut pada November 2013 lalu. Sebuah pertanyaan yang naif tetapi itulah kenyataan yang hidup di tengah masyarakat Jakarta. Kita merasa bahwa musibah, bencana dan sejenisnya adalah urusan orang lain; urusan pemerintah. Sementara kesadaran warga untuk ikut berkontribusi mencegah atau mengurangi supaya musibah itu tidak terjadi sangat rendah, atau bahkan tidak ada sama sekali. Lebih naif lagi menganggap Jokowi seperti Dewa yang sekali tengok, banjir langsung sirna. Memang sangat naif ketika kita semua, terutama para politisi, menimpakan masalah kronis yang terjadi akibat rendahnya kesadaran kita semua kepada pemprov DKI untuk membereskannya dalam waktu singkat. Dalam kenyataan sehari-hari, kebiasaan warga untuk sekedar tidak membuang sampah sembarangan apalagi ke sungai saja sulit dilakukan; kita biasa melihat bagaimana kasur, kulkas, dan sampah rumah tangga dilempar ke kali, bagaimana mereka yang melempar bungkus makanan, botol minuman begitu saja dari mobil yang mereka kendarai dan sejenisnya. "(Jadi Gubernur) baru setahun, yang 20 tahun yang 30 tahun sudah apa?" kata Jokowi saat meninjau Pintu Air Karet, Jakarta Pusat, Minggu (12/1/2014) mendapati banyaknya hujatan warga akibat banjir tahun ini. Menurut Jokowi, sudah ada perkembangan yang positif terhadap berkurangnya kemacetan dan banjir. Pemprov sudah melakukan banyak hal dalam satu tahun ini seperti mengidentifikasi lokasi genangan air di jalan-jalan di Ibu Kota, memperbaiki tanggul sungai, mengeruk semua sungai dan merevitalisasi mulai dari Waduk Pluit, Waduk Ria Rio, Waduk Ciracas, hingga Waduk Tomang. Sebuah usaha keras yang tidak pernah dilakukan oleh pejabat sebelumnya. “Tetapi bila banjir masih terjadi, ini adalah tanggungjawab kita semua” ujar Jokowi. “Jangan lagi buang sampah ke sungai” katanya menghimbau warga. Sebuah himbauan yang logis mengingat kota Jakarta ini adalah kota kita; artinya kita harus mau ikut serta menjaga dan merawatnya. Mencaci, menghujat atau saling menyalahkan tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan bila perilaku buruk kita terhadap kota Jakarta tidak pernah berubah. Apalagi terkait masalah banjir, menurut pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, pengembang properti di wilayah Jabotabek juga turut andil. Kegiatan para pengembang properti punya pengaruh besar terhadap perubahan bentang alam di wilayah DKI Jakarta, terutama karena saat membangun proyek mereka tidak memperhatikan daya dukung lingkungan; bahkan tak jarang yang tidak disertai izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Akibatnya terjadi konversi besar-besaran terhadap ruang kota, dari ruang terbuka hijau menjadi hutan beton dan bangunan. Ironisnya, perampokan tata ruang kota tersebut selama ini seperti didukung oleh pemprov DKI; maka boro-boro ada sanksi atau penindakan tegas dari Pemda, pengembang dan pejabat pemda justru menjadikan tata ruang sebagai komoditas. Senada dengan Yayat Supriyatna, banjir yang kali ini memaksa 11.972 jiwa dari 3.742 Kepala Keluarga (KK) terpapar genangan/banjir dan sebanyak 924 orang mengungsi menurut Ketua Umum Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta, Puput Tridarmaputra, merupakan potret amburadulnya tata ruang Jakarta. Semua sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Apalagi musibah banjir merupakan musibah yang akan selalu menghantui kota-kota yang berada di wilayah pesisir. Wilayah yang umumnya memiliki daratan yang berkontur datar dan rendah memang merupakan area dimana air selalu mencari jalannya untuk menuju ke laut. Dengan kata lain, semua kota di dunia yang lokasinya ada dipesisir pasti mengalami banjir. Menurut penelitian Livescience, dari 136 kota pesisir di dunia paling tidak ada 20 kota besar di dunia yang rentan pada tingginya curah hujan dan peningkatan permukaan laut, dua faktor utama penyebab banjir yang mampu melumpuhkan seisi kota dengan dampak kerugian besar. Guangzhou di China dinilai sebagai kota paling rentan banjir dan menderita paling banyak kerugian, diikuti oleh Mumbai dan Kalkuta di India, Guayaquil di Ekuador, dan Dhanzen di China. Berikut adalah daftar lengkap 20 kota pesisir di dunia yang paling rentan banjir :
- 1. Guangzhou, China 2. Mumbai, India 3. Kalkuta, India 4. Guayaquil, Ekuador 5. Shenzen, China 6. Miami, Fla. 7. Tianjin, China 8. New York, N.Y.—Newark, N.J. 9. Ho Chi Minh City, Vietnam 10. New Orleans, La. 11. Jakarta, Indonesia 12. Abidjan, Pantai Gading 13. Chennai, India 14. Surat, India 15. Zhanjiang, China 16. Tampa—St. Petersburg, Fla. 17. Boston, Mass. 18. Bangkok, Thailand 19. Xiamen, China 20. Nagoya, Jepang Sumber : kompas.com dari www.archdaily.com
Untuk dapat mengatasi musibah ini secara komprehensif, pemerintah tidak perlu lagi berdebat untuk mencari siapa yang salah. Para politisi juga tidak layak menjadikan musibah banjir sebagai isu untuk menyerang Jokowi. Ini adalah masalah bersama, maka diperlukan kesadaran kolektif dari semua unsur masyarakat dan pemda untuk bersama-sama menanganinya. Apa yang dilakukan oleh pemprov DKI saat ini dengan merevitalisasi semua area mulai dari penggalian saluran drainase, pengerukan sungai, pengembalian peruntukan waduk dan lain-lain adalah usaha keras pemprov untuk mengatasi musibah banjir secara menyeluruh, bukan lagi parsial atau temporer seperti yang dilakukan oleh para Gubernur sebelumnya. Tetapi usaha keras pemprov akan sia-sia dan hanya membuang-buang dana apabila tidak diikuti kesadaran kita sebagai warga ibukota dan wilayah sekitarnya untuk tidak lagi mengotori sungai dengan sampah, membangun daerah resapan air menjadi perumahan atau menjadikan aliran sungai menjadi pemukiman atau tempat-tempat usaha. Banjir adalah tanggung jawab kita semua baik warga Jakarta atau warga wilayah sekitarnya, baik sebagai warga biasa atau orang kaya apalagi pengusaha; bukan masalah pemprov DKI saja. Artikel ini ditulis bukan untuk membela Jokowi, tetapi lebih untuk mengajak kita semua berfikir logis agar kita bisa mengatasi berbagai masalah yang kita hadapi secara lebih komprehensif; bukan secara parsial apalagi mencari kambing hitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H