Bukan tanpa sebab aku segera menuju toko buku begitu membaca sinopsisnya. Â Buku ini bisa memberi informasi mengenai pola pendidikan yang efektif. Â Aku bukan guru, bukan juga sedang menulis skripsi atau tesis. Aku hanya ibu yang sehari-hari mengamati kehidupan anak-anak, ya anakku sendiri, para keponakan, anak teman bahkan anak PRTku yang sering jadi bahan pembicaraan sehari-hari. Buku ini menjadi bahan tulisanku karena ada banyak hal menarik untuk dibagikan (tentunya untuk mereka yang belum sempat membaca langsung). Sudah tidak sabar aku ingin sharing, tapi perlu waktu juga untuk meramunya menjadi bacaan yang ringan dan bisa dipahami. Yuuuk, kali ini, aku angkat topik RESES.
Reses. Apa yang terlintas saat membaca kata ini? Mungkin tentang kegiatan anggota DPR yang melakukan kunjungan atau sedang tidak ada jadwal bersidang. Betul. Itu memang salah satu artinya. Makna lain yang berkaitan dengan pendidikan anak-anak, reses adalah istirahat, waktu jeda setelah melakukan kegiatan belajar. Apa sih kegunaan reses bagi siswa di sekolah? Bukankah semua sekolah juga menerapkan jadwal istirahat setelah memberikan pelajaran-pelajaran pada anak didiknya? Dari dulu juga sudah diterapkan istirahat, ah, reses biasa saja.
Berbagai pertanyaan-pertanyaan itu bisa jadi motivasi kita untuk makin mengenali apa reses yang dimaksud dan diterapkan di Finlandia, negara yang sudah diakui menghasilkan sumber daya manusia unggul. Benarlah bahwa istirahat atau reses sudah pasti diterapkan di sekolah mana saja, termasuk di Indonesia. Dari jaman dulu malahan. Tetapi mari kita lihat satu pola pendidikan yang diterapkan disana. Para siswa, mendapatkan istirahat 15 menit setiap 45 menit pelajaran. Dengan demikian, anak-anak menikmati lebih sering istirahat dalam setiap harinya. Nah, tampak berbeda kan dengan pola belajar disini? Coba hitung, berapa kali istirahat di sekolah anak kita?
Reses, telah menjadi bahan riset yang baik untuk meyakinkan bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan oleh salah satu faktor ini. Anthony Pellegrini dalam buku Recess: Its Role in Education and Develompment mengungkapkan fakta, dimana anak-anak tampak lebih fokus di kelas setelah menerima reses yang pendek ini. Para siswa menjadi antusias untuk mengikuti pelajaran, dibanding mereka yang menunda waktu istirahat karena jam pelajaran diperpanjang. Hal ini dibenarkan oleh guru yang mengajar, pernah suatu waktu guru ini memperpanjang sedikit waktu belajar anak-anak. Akhirnya, dia harus menerima anak-anak menjadi tidak bersemangat dan anak-anak tampak seperti zombie di kelas. Â
Riset mengenai reses ini bisa menjadi sebuah pijakan untuk menyusun jadwal di sekolah, bahkan pola belajar di rumah. Jika kita sebagai orang tua, ingin sekali anak-anak dapat tuntas belajar dan menguasai materi-materi pelajaran, tampaknya perlu mengenal pola reses untuk diterapkan. Bukannya malah mengenjot jam belajar demi habisnya materi yang disajikan.
Reses, yang diterapkan di Finland, juga diujicoba di Amerika, dimana dengan pola ini, merubah sikap siswa dalam menerima pelajaran dan merubah sikap cemas para siswa. Salah satu perilaku yang ditunjukkan adalah mengunyah-ngunyah pensil. Ini menjadi penelitian seorang ahli kinesiologi, Debbie Rhea yang menunjukan terjadi perubahan signifikan pada siswa yang diberi 4 kali istirahat 15 menit setiap hari, yaitu menjadi lebih fokus dan jarang mengeluh lagi.
Bagaimana, sudah mulai mendapat gambaran tentang perlunya reses pada anak-anak? Aku juga percaya bahwa istirahat itu penting bagi anak-anak, memang perlu waktu luang untuk mereka, tidak hanya dijejali dengan materi. Walaupun telah banyak metode PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif dan Menarik) yang dibuat untuk mengatasi kebosanan dalam belajar mengajar. Tapi rupanya, menurut profesor psikologi behavioral neuroscience (ilmu syaraf tentang kebiasaan), memberikan otak waktu untuk beristirahat, melalui jeda yang teratur, akan mengarah pada produktivitas dan kreativitas yang lebih besar.
Rupanya, otak perlu istirahat untuk mengkonsolidasi semua informasi yang masuk, begitu penjelasannya. Yah, walaupun tanpa pengaturan reses, otak juga dapat beristirahat secara alami dengan lamunan. Nah, terjawab sekarang, bahwa ada anak-anak yang terkadang menunjukan melamun dalam kelas sehingga saat menerima pertanyaan, seperti tidak siap menjawab atau gugup. Inilah saatnya otak istirahat!
Ah, banyak benar temuan untuk reses ini. Buktinya juga tampak secara nyata pada anak-anak disana. Bagaimana dengan anak-anak di Indonesia? Yang bila terlihat mengantuk sedikit sudah mendapat jeweran atau melamun kemudian malah dihukum karena dianggap tak menyimak pelajaran. Memang, kita perlu belajar dari contoh-contoh baik yang sudah nyata. Utamanya untuk para siswa di sekolah dasar. Yang kita tahu, inilah tahapan sekolah di awal perkembangan anak-anak. Bukannya menjadi beban bagi mereka, tapi menjadi pondasi untuk tahapan belajar berikutnya. Memang reses ini tidak terlalu vital di tahapan sekolah menengah, tapi berguna juga untuk para siswa dan guru lho!
Masih ingatkah peristiwa meninggalnya reporter di Jepang karena lembur? Nah, itu kasus estrem memang, tapi bisa bayangkan kalau anak-anak mungil kita, bersekolah dengan menanggung beban dan malas berjalan karena merasakan sekolah itu lama dan tidak mengasyikan? Ah, aku jadi pengen bertemu dengan para guru yang mengajari anak kelas 1, yang sekolah sampai dengan setengah 2 siang (masuk jam 7) masih memberikan PR pula! Kalau saja aku bekerja di Disdik, sudah kurombak pola belajar sadis seperti itu. Mari bayangkan, betapa capeknya tubuh mungil-mungil itu berjalan menuju sekolah demi menuntut ilmu.
Para anggota dewan saja mempunyai waktu reses untuk menyegarkan semangat kerja mereka, kok yang masih anak-anak harus "tertahan" di sekolah demi ilmu yang dijejalkan. Bukankah, sekolah itu harusnya menyenangkan untuk mereka? Bukankah harusnya pendidikan itu dipahami sebagai proses yang menyesuaikan tahapan perkembangan anak?