Kisah pekerja rumah tangga migran yang dikhianati suaminya.Â
Barusan aku menolak seorang ibu yang mencari pekerjaan untuk menjaga orang sakit. Di rumah memang ada mamaku yang sakit stroke. Kalau dipikir satu sisi kasihan, niatan untuk menghidupi diri dan keluarganya terhalang karena aku sedang tidak memerlukan tenaganya. Tapi memang saat ini aku sedang longgar, sudah tidak ada pekerjaan rutin yang membuatku harus bepergian atau ngantor. Lagian, selama beberapa bulan ini aku juga biasa mengerjakan tugas-tugas perawatan karena memang masih bisa kutanggung, berbagi waktu dengan tugas lainnya. Ya, mungkin di rumah ini dia belum jodoh, di ruma lain mudah-mudahan bisa dapat rejeki ya.
Setelah si ibu pulang, akupun merenung, memikirkan perasaannya, tentu bingung mencari rumah lain yang membutuhkan jasanya. Ibu ini adalah PRT yang baru saja pulang dari Hongkong. Baru beberapa minggu pulang dan mendapatkan keluarga yang dibangunnya hancur berantakan. Ya, kondisi rumah tangga berantakan. Coba bayangkan, dia pergi ke luar negeri bekerja dengan sepenuh hati, meninggalkan 2 anak dan suami, demi mencari rejeki. Gajinya dikirimkan ke suami dengan harapan bisa membantu kebutuhan mereka disini. Tiap lembaran gajinya dikumpulkan demi keluarga. Demi mereka dia menerima harus bekerja jauh dari keluarga dan menahan semua kerinduan bersama anak dan suami.
Pengorbanannya dibalas dengan suami yang membelanjakan seluruh uang yang diterima. Bahkan, ditambah dengan suami menikah lagi! Gendeng! Itu suami macam apa, yang tega membiarkan isterinya pergi jauh untuk bisa membiayai keluarganya. Suami macam apa yang berfoya-foya membelanjakan uang yang harusnya untuk menyekolahkan anak-anak! Aku gak habis pikir, situasi ini masih ada, di depan mataku korbannya.
Kini saat dia membutuhkan pekerjaan untuk bisa berdiri tangguh bersama anak-anaknya, belum ada rumah yang menerimanya. Akupun sedang tidak punya informasi teman yang membutuhkan jasa PRT. Aku benar-benar sedang tidak memerlukan tambahan tenaga karena sudah ada satu ibu PRT yang bekerja setengah hari disini. Ah...seandainya aku tahu, pasti sudah kusarankan.
Derita ibu itu membuatku perih, kenapa mudah sekali hubungan sakral suami isteri terganjal karena jarak yang memisahkan. Kalaulah karena alasan biologis, hasrat sesaat yang membuat kau tidak bisa menunggu, kenapa tidak kau tahan isteri untuk tidak pergi jauh, dan berusaha mencari pekerjaan yang lebih dekat. Coba mikir! Ini bukan soal laki-laki harusnya yang bekerja, bukan soal itu. Aku sendiri meyakini bahwa suami dan isteri punya peran untuk mencari rejeki untuk kehidupan yang dibangun. Ah, Tuhan, rasanya gak adil kalau harus perempuan saja yang menanggung derita itu.
Tambah lagi derita itu. Saat ibu ini ingin kembali ke Hongkong untuk berusaha sekuat tenaganya, juga untuk melupakan derita karena ditinggal suaminya kawin lagi, dia harus menanggung untuk tidak diterima sebagai anak oleh orang tuanya. Bagaimana aku bisa menolongmu ibu? Aku gak tahu, terlalu rumit kisahmu ini. Yang aku tahu, segera kuhubungi jika ada informasi keluarga yang mencari PRT, demi anak-anakmu, demi kau ibu, supaya kau tak dilecehkan lagi oleh orang yang kau sebut (mantan) suami edan itu!
Malang, 20 September 2017
(curhatan seorang ibu yang berusaha tegar menerima nasibnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H