Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wong-wong mBantul Bernama Agas Tonner, Tenchum, dan Gali

2 Maret 2010   16:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:39 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_84909" align="alignleft" width="300" caption="source: www.hobotraveler.com"][/caption] Ini tulisan keempat dari seri mengenang gempa Jogja 27 Mei 2006. Tiga tulisan sebelumnya: (a) Kaki Kena Paku Dibuatkan Sambal Terasi, (b) Abis Gempa, Masih Dibutuhkan Korban 5.000 Orang Lagi …, (c) Gantian Raksasa Utara yang Mengancam … aku tulis sebagai catatan kenangan akan bencana itu. Tulisan keempat ini mengangkat sesuatu yang berbeda dibandingkan tiga tulisan sebelumnya. Tulisan ini juga masih aku tulis di teras depan rumah, ketika dingin menggigit kulit, dan kami sekeluarga belum berani tidur di dalam rumah.

***

Tidak salah bila dunia ini menjadi semakin kecil saja. Tentu bukan dalam pengertian fisik. Batas-batas negara, perbedaan ruang dan waktu menjadi semakin tipis saja. Apa yang terjadi di negeri seberang dengan cepat diketahui di belahan bumi yang lain. Teknologi informasi dan komputer telah memanjakan kita dengan berjibun informasi yang datang dan pergi tanpa kita sadari. Entah itu informasi penting atau tidak, mau tidak mau informasi tersebut datang dan pergi.

Untuk beberapa hal, itu merupakan hal yang sangat baik. Apa yang dialami oleh orang-orang tertentu akan dengan cepat dipahami dan diketahui oleh orang lain. Sistem represi dan penindasan HAM yang secara sistematis dijalankan oleh Junta Militer di Burma atau Myanmar telah menjadi kunci menjalarnya AIDS di negara-negara Kamboja dan Thailand. Informasi tersebut tersedia dengan gratis. Kunjungi situs berikut dan anda akan menjumpai berita itu. Kita menjadi tahu betapa pemerintah militer di Myanmar tidak peduli dengan kehidupan warga masyarakatnya. Pertemuan dengan orang asing sangat dibatasi, untuk tidak mengatakan dilarang sama sekali. Segala bentuk kegiatan, terutama bila terkait dengan kegiatan bersama, pertemuan dengan orang-orang lain secara terorganisir, sudah tidak menunggu lama untuk digerebek. Anggotanya dikirim ke penjara. Dan tidak jarang nasib mereka pun tidak jelas juntrungnya.

Melalui jaringan Internet, format-format populer seperti MP3 dan wav.file sangat mudah untuk diakses. Sistem podcast memungkinkan kita untuk menerima updated news tanpa kita harus mendengarkan berita pada waktu-waktu terjadwal. Data audio sudah langsung tersimpan dalam portable MP3 player. Begitu kita keluar dari rumah, kita pakai alat (gadget) itu, dan lengkaplah dunia kita. Kita mendapatkan informasi akurat, tanpa harus mengikuti jadwal tayangan berita. Dunia kita sudah diwarnai dengan tradisi baru. Tradisi informasi dan teknologi informasi yang berbasis komputer.

Salah satu situs favorit yang selalu saya datangi adalah dari BBC, from our own correspondents. Informasi yang ada begitu mudah disediakan di internet. Oleh karena itu tidak terlalu lama bagi kita untuk menjumpai liputan berita tentang gempa yang terjadi di Jawa. Joe Harding, koresponden BBC yang meliput di Bantul, melaporkan sebuah keluarga yang terkena musibah.

Beberapa hal yang cukup menarik dari liputan itu. Pertama, Joe Harding mencoba menginvestigasi dampak gempa bagi sebuah keluarga yang miskin. Di situ, diangkat berita tentang betapa bencana telah memunculkan kebersamaan di sebuah dukuh Jambitan, Bantul. Dusun yang dikepung oleh hamparan persawahan padi yang menghijau tersebut hampir rata dengan tanah. Ada sejumlah orang yang cukup kaya di dusun itu, dengan kualitas rumah yang lebih baik, dilengkapi dengan kolam ikan penuh dengan ornamen. Satu dari beberapa orang punya dari kampung itu menyumbang tenda besar untuk warga sekitar. Namun, toh, tidak cukup tempat untuk semua warga.

Hal menarik yang kedua dari kacamata seorang Joe Harding adalah lambannya peran pemerintah dalam membantu warga. Dia menggunakan istilah a surprising calm untuk menunjukkan betapa para warga tersebut tampak narima ing pandum. Tidak adanya koordinasi yang efektif dalam penanganan gempa oleh pemerintah, yang berimbas pada minimnya bantuan yang mereka peroleh, tidak terlalu merisaukan warga. Tidak dijelaskan apakah memang warga cukup kritis terhadap peran pemerintah yang kurang efektif atau tidak. Yang pasti, warga dukuh Jambitan ini, menurut kacamata Joe Harding, tampak tidak terlalu menuntut. Bencana yang terjadi menjadi urusan pribadi masing-masing. Mereka tidak mau berteriak-teriak untuk diperhatikan. Mereka cukup puas dengan fasilitas apa adanya yang berhasil mereka kumpulkan dari puing-puing rumah. Bahkan, ketika pengobatan yang diterima tidak memadai pun, masyarakat tidak terlalu mempermasalahkan. Atau sebenarnya mereka mempermasalahkan hal-hal yang tidak nyaman selama proses penanganan gempa tersebut, namun mereka tidak mengatakannya.

Hal ketiga yang cukup menarik dari ulasan Joe Harding ini masalah ejaan nama. Pada hari Rabu, 31 Mei 2006, ketika aku mengakses berita ini, ada tiga nama yang membuat diriku cukup tertegun: Agas Tonner, Tenchum dan Gali. Siapapun yang berasal dari Jawa pasti akan terheran-heran dengan nama keren dari orang-orang desa tersebut. Selama beberapa hari, aku mencoba mereka-reka nama yang paling tepat, sesuai dengan ejaan Jawa. Namun, ternyata aku tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan jawabannya. Ketika aku mengakses kembali situs yang sama satu minggu kemudian (7 Juni 2006), ternyata ejaan nama tersebut sudah diubah. Agas Tonner menjadi Agus Tono, Tenchum menjadi Tentrem, dan Gali menjadi Galih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun