Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Uneg-uneg Soal Pencantuman Gelar dalam Profil Kompasiana

25 November 2011   10:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:12 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Yang menghendaki gelar dalam nama kalian itu kan sebenarnya orang tua kalian. Terutama waktu orang tua menikahkan kalian. Dalam undangan itu, akan tertera gelar sarjana di belakang nama kalian. Biar ada kebanggaan di hati mereka.Tapi gelar nggak ada artinya, kalau tidak ada kompetensi!"

Itu kata-kata dari seorang dosen yang masih saya ingat. Lebih dari 15 tahun lalu kata-kata itu saya dengar, tapi ingatanku masih cukup jelas. Dosen yang satu ini saya nilai cukup nyentrik, terutama karena tugas-tugas yang diberikan di kelas sederhana saja.  Namun di balik tugas-tugas sederhana itu, beliau sering memberikan cerita-cerita heroik tentang prestasi, dedikasi, dan daya juang orang-orang yang menjadi inspirasinya. Kata-katanya kadang tajam, tidak jarang menyinggung kemalasan dan sikap kami yang kurang menunjukkan rasa hormat terhadap waktu dan terhadap orang lain. Beberapa dari kami datang terlambat. Kalau terlambat pun kami jarang menyampaikan alasan yang masuk akal.

Perhatian pada hal detil, terutama makna interaksi di kelas, sikap menghormat-hargai sesama, dan penekanan pada kinerja yang optimal mengajarkan apa arti integritas sebagai seorang manusia. Kami diajari membuang jauh-jauh label-label "bombastis" seperti yang tercermin dalam gelar-gelar akademis. Dosen nyentrik ini menanamkan arti sebuah kejujuran profesionalisme yang tercermin pada integritas diri. "Buat apa gelar tinggi-tinggi tapi telat masuk kerja saja tidak menunjukkan rasa bersalah!" begitu suatu kali beliau mengingatkan.

***

Pada awal saya bergabung ke Kompasiana ini, saya tampil jujur, apa adanya. Nama yang saya tampilkan persis seperti dalam identitas KTP dan SIM (sampai sekarang tidak berganti!). Serentetan informasi yang memberi legitimasi akademis pun saya tampilkan apa adanya: di mana saya memperoleh gelar S1, S2 yang pertama, S2 yang kedua, dan gelar S3 yang sedang saya jalani. Dalam perjalanan waktu aku menjadi malu. Alasannya sederhana. Ternyata, semakin banyak saya mengenal rekan-rekan Kompasioner, semakin saya belajar bahwa banyak dari rekan-rekan yang sengaja menyembunyikan identitas mereka. Saya sendiri tidak tahu motivasi apa yang mendorong kebiasaan untuk menyembunyikan diri rapat-rapat dari ranah publik ini. Namun, harus saya akui, banyak sekali tulisan-tulisan dari kolega-kolega di Kompasioners ini yang hebat-hebat.

Saya pun akhirnya memutuskan untuk menghilangkan embel-embel yang memberikan legitimasi akademis saya. Ada kesadaran yang tumbuh dalam diri saya, di dalam ranah dunia maya sekalipun seperti di Kompasiana ini, ada hal yang jauh lebih bermakna dari serentetan gelar akademis yang dicapai. Sebagai komunitas maya, Kompasiana sebenarnya tidak kehilangan hakekat komunitas kemanusiaan alamiah, yaitu komunitas yang didasari oleh fondasi relasional yang jujur, otentik, dan berkomitmen pada sikap positif untuk berbagi. Dalam pengamatan saya, berulang kali benturan-benturan yang tercermin dalam berbagai konflik dan polemik yang berkepanjangan di Kompasiana ini, mencerminkan tarik-menarik berbagai motif dari penulis yang memiliki bermacam impian dan harapan.

Seruan "rumah sehat Kompasiana" yang berulang kali didengungkan tampaknya menemukan makna yang sesungguhnya ketika komunitas ini dihadapkan pada serangkaian polemik sebagaimana yang kasus hoax dari Kompasioner TITI yang juga sekaligus "sempat" mendapatkan kehormatan sebagai calon Kompasioner terfavorit. Sekali lagi, kesehatan rumah sehat Kompasiana ditentukan oleh para penghuninya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun