[caption id="attachment_81998" align="alignleft" width="300" caption="Akio Toyoda, source: media.cleveland.com"][/caption] Tercatat telah 34 korban tewas akibat kecelakaan;dilaporkan injakan gas macet; karpet lantai mobil melorot; akselerasi mobil melonjak tak terkendali! Itu keluhan atas mobil-mobil produksi Toyota. Februari ini, Toyota menjadi bulan-bulanan media massa. Bagaikan pohon tinggi yang menjulang ke angkasa, Toyota yang tercatat sebagai pabrik mobil terbesar di dunia, terhantam badai kasus. Akibatnya? Lebih dari 8 juta mobil dipanggil kembali (recall) dan harus di-install komponen pengganti yang lebih baik.
CEO Aiko Toyoda, sang cucu pendiri Toyota, baru saja menduduki posisi CEO 9 bulan terakhir. Sebagai ksatria sejati, dia datang ke muka Kongres Amerika Serikat untuk memohon maaf (24/2). Di depan para pembuat kebijakan negeri Paman Sam yang marah, sinis, dan penuh curiga ini, Toyoda harus menerima berbagai ungkapan menyakitkan. Di negerinya, Toyoda adalah pemimpin yang lebih banyak mendapatkan bungkuk hormat. Kali ini, tatapan mata dan pertanyaan, serta keluhan tajam terasa memedihkan hati dan mata.
Di Jepang, serangkaian kecelakaan, kerusakan konyol, dan ketidaknyaman dari mobil-mobil produksi Toyota menimbulkan kemarahan. Seluruh negeri merasa malu dan kecewa. Mereka malu karena telah melupakan ajaran sang mahaguru Edward Deming dengan Total Quality Managementnya. Kehadiran CEO Aiko Toyoda di depan anggota Kongres Amerika untuk memohon maaf merupakan harga yang harus dibayar.
Bagaimana publik Amerika menanggapi? Jelas mereka sangat marah! Tapi, bagi mereka yang sangat menyadari betapa bobroknya moralitas dan keserakahan gaya korporasi Amerika, sikap santun CEO Aiko Toyoda benar-benar menjadi pencerahan tersendiri. Dunia Amerika justru mengacungi jempol dengan “Japanese Way” yang santun dan bertanggung jawab ini.
Kita masih ingat betapa angkuhnya para CEO “three big sisters” pabrik mobil Amerika. Mereka datang ke muka Kongres, dengan dada terbusung dan menyewa jet swasta khusus dari Detroit untuk membawa mereka ke Washington, DC. Mereka tidak memiliki sedikitpun rasa peka, bahwa ribuan karyawan mereka sedang diproses untuk PHK, dan bahwa mereka datang ke Kongres untuk mengemis dana talangan (bail out).
Apakah gaya Jepang yang santun ini kah yang membuat mobil-mobil produksi Toyota tetap dinilai sebagai yang terbaik bahkan ketika badai berita buruk mengemuka sekarang ini? (berita 29/1/10, Kompas). Terlalu terburu-buru untuk mengambil kesimpulan macam ini. Namun, penampilan Toyoda di muka Kongres memang memberi warna lain terhadap sikap korporasi yang santun, bertanggung jawab, dan menunjukkan empati.
Dunia bisnis dan gaya korporasi yang terlalu ambisius dan serakah telah membawa dunia ke ujung resesi tahun 2009 lalu. Pelaku perbankan membabi-buta dalam memberi kredit. Ribuan orang yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit rumah, diberi kemudahan tanpa memperhitungkan dampak sistemiknya. Gaya hidup kredit yang berimbas “besar pasak daripada tiang” tampaknya telah menguasai berbagai lapisan masyarakat.Persis seperti yang ditunjukkan dengan gaya tanpa kepekaan oleh “three big sisters” di atas.
Pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin Toyota yang dikenal menghasilkan “best-selling cars” dan inovasinya mengalahkan mobil-mobil lain, justru terjerembab dengan serangkaian kesalahan yang sekarang ini mengemuka?Banyak yang menunjuk pada terlalu cepat lakunya mobil-mobil produksi ini. Dampaknya: produksi dipercepat untuk memenuhi pasar yang haus, sehingga aspek keamanan sedikit terlewatkan.
Jalan ke depan masih panjang. Kita tidak tahu bagaimana kelanjutan persoalan Toyota ini. Akankah terbentuk kelompok yang mengusung “class action” yang akhirnya menuntut Toyota membayar ganti rugi yang sangat mahal? Ataukah “kesantunan” gaya Jepang telah membebaskan Toyota dari persoalan hukum macam ini? Wallahualam bisawab …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H