Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Thomas Kuhn, Paradigm Shift, dan Laba-laba

15 Juni 2011   02:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enam hari sebelum Musim Panas mulai, terang matahari menjadi semakin panjang. Sekalipun jarum jam telah menunjuk pukul 8.14 senja, namun suasana di luar masih cukup terang, persis seperti jam 4.30 di Jogja. Kepalaku masih dipenuhi oleh konsep "paradigm shift" yang diajarkan oleh Thomas Kuhn, ketika tiba-tiba saja mataku tergerak untuk mengamati seekor laba-laba yang tampak menari-nari di luar kaca jendela. Di ketinggian lantai enam ini, tentu sang laba-laba tersebut terkena hempasan angin (gust) khas Chicago yang dikenal cukup ganas. Chicago memang dikenal sebagai Windy City, sebuah label yang sangat tepat baik dalam arti kiasan maupun harafiah. Terletak di pinggir danau raksasa Lake Michigan, Chicago diberkati keindahan alamiah, lengkap dengan hambusan angin yang kadang seperti lecutan pemukul seorang petani yang sedang membajak sawah dengan kedua sapinya. Namun, selain itu, makna Windy City juga memiliki makna yang lebih dari sekedar lecutan angin itu. Selama berpuluh-puluh tahun para politisi Chicago dikenal sangat pragmatis, mudah mengikuti ke mana "arah angin politis" bergerak, dan ini tentu untuk mendapatkan keuntungan personal atau kelompoknya secara lebih. Persetan dengan nila-nilai moral, etika, dan kejujuran. Itu semua hanya dikumandangkan di gereja-gereja, sinagoga-sinagoga, dan kuil-kuil.

Tarian laba-laba yang sedang menenun jaringnya tersebut tiba-tiba menggerakkan kesadaranku. Alangkah sulitnya menenun jaring kala angin mengganggunya. Menenun jaring butuh ketekunan, dan aku ada dalam suasana yang sama dengan laba-laba tersebut. Aku sedang merajut konsep, pemahaman, dan pemaknaan tentang hal-hal teoretis maupun empiris yang dihadirkan dalam buku, jurnal, artikel, dan realitas kehidupan ini. Sama seperti laba-laba tersebut yang merajut jaring sendirian tanpa teman, aku pun lebih sering menghabiskan waktu sendirian. Bukan hal yang aneh bila aku mulai tampak meracau sendirian - berbicara dengan diri sendiri - seakan kepalaku terdiri dari dua bagian. Bagian kanan menjelaskan suatu konsep atau pemahaman tertentu, dan bagian kiri menyanggahnya. Atau sebaliknya.

Tidak berlebihan bila idealnya, sebuah proses belajar semestinya ditempatkan pada konteks sosial. Artinya ada teman yang diajak untuk beradu pendapat, saling mengritisi satu sama lain. Namun, suasana ideal tersebut lebih sering merupakan gagasan utopis yang terbang terlalu tinggi di awang-awang. Tentu saja, mau tidak mau aku mesti berani kembali pada diri sendiri.

Laba-laba yang kesepian, dan beberapa kali tergoyang-goyang oleh desakan angin itu, sepertinya menjadi teman yang tepat bagiku dalam suasana seperti ini. Akupun merasakan goncangan-goncangan yang mirip. Dalam hitungan 16 hari lagi, aku akan kembali dan pulang ke Jogja. Setelah sebagian besar dari waktu tiga tahun terakhir ini aku hidup jauh dari keluarga, rasanya kembali bersama-sama lagi dengan keluarga menjadi sensasi tersendiri. Mau tidak mau suasana ini menimbulkan goncangan. Tidak mudah untuk tetap fokus pada pekerjaan, sementara hati ingin segera kembali bersama keluarga. Sementara sebagai manusia, aku tidak terlepas dari hukum ruang dan waktu - yang mengharuskanku menjadi lebih sabar lagi tentu saja.

Lima belas menit telah lewat. Laba-laba itu akhirnya tampak diam. Selesai sudah dia merajut jala kehidupannya. Goncangan angin yang tampak menantang berhasil dia atasi. Dia tidak sampai terlempar jatuh ke bawah. Terbersit keyakinan, aku pun akan berhasil melewati goncangan-goncangan dalam hidupku.

... seiring dengan turunnya gelap, aku pun kembali merenungkan apa yang tertulis di layar komputer depanku ...

... Thomas Kuhn menerbitkan karya klasik berjudul The Structure of Scientific Revolution pada tahun 1962. Dia merupakan orang pertama yang melahirkan konsep paradigm shift. Menurutnya, kemajuan ilmiah tidak terjadi secara evolusioner, tetapi lebih merupakan serangkaian interludes atau potongan-potongan yang diperkuat oleh revolusi intelektual yang kasar. Dalam revolusi macam itu, satu cara pandang konseptual tersisih dan digantikan oleh yang lain. Sebuah paradigm shift merupakan perubahan cara berpikir. Ini merupakan revolusi, transformasi, semacam metamorfosis. Ini tidak akan terjadi secara ala kadarnya, karena pasti didorong oleh agen-agen perubahan yang ngotot memperjuangkan konsep barunya ... Dan pandangan ini berbeda dengan keyakinan umum pada era 1960an yang memandang bahwa perkembangan ilmiah adalah evolutif, dan terbentuk melalui terakumulasinya pengetahuan. ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun