Pengantar
Generasi digital sekarang ini diberkati dengan berbagai kemudahan. Teknologi informasi berkembang terus. Â Harus kita akui, teknologi baru berdampak pada cara melakukan sesuatu, cara memandang realitas. Seorang teman sempat berbagi pengalaman (atau lebih tepatnya keluhan). Anak semata wayangnya selalu menuntut "hiburan" di Timezone satu minggu sekali. Setiap kali main, dana Rp. 100,000,- pun habis. Mudah saja, selama satu bulan, biaya main di Timezone sendiri Rp. 400,000,-. Bandingkan dengan biaya SPP + lain-lain yang dituntut sekolah. Karena ini konteksnya Jogja, perbulan anak SD kelas 2 di sekolah swasta ini dituntut Rp. 150,000,-. Biaya main game di Timezone tiga kali lebih banyak daripada uang kontribusi untuk sekolah!
Seorang teman guru dari Madiun berbagi cerita yang mirip. Beberapa anak sering membolos. Hilang dari kelas. Setelah di cross-check dengan orang tua mereka yang di rumah, anak-anak ini benar-benar "hilang" dalam perjalanan dari rumah ke sekolah. Kemana mereka pergi? Ternyata mereka pun mengalami problem yang sama: games addiction! Kecanduan main game. Dan tidak tanggung-tanggung, untuk kota sekecil Madiun, anak-anak SMP sudah sampai menghabiskan Rp. 700,000,- per bulan hanya untuk main games!
Kami sekeluarga sadar bahaya dari teknologi informasi dan perangkat-perangkat teknologi yang bisa membuat anak-anak terlena dengan berbagai permaianan itu. Namun, toh kami juga tergoda untuk membeli satu produk dari teknologi itu. Kami juga pengin mencicipi "modernitas." Namun bagaimana agar kami tidak terjebak dalam dorongan untuk sekedar main games di alat yang canggih itu? Â Kami sepakat untuk mengisinya dengan cerita-cerita. Tablet kami terisi dengan ratusan buku cerita anak-anak, mulai dari Lima Sekawan, Animorphs, dan lain-lain yang saya sendiri tidak hapal. Buku-buku itu tidak hanya sekedar disimpan di sana. Tetapi juga menjadi bacaan harian.
Dan hal yang tidak kalah pentingnya, apa yang dibaca itu juga kemudian diceritakan ulang. Tidak jarang kami (saya sebagai seorang ayah, dan Rio sebagai anak) menantang satu sama lain, berlomba untuk membuat tulisan. Berikut ini adalah tulisan yang dia buat. Tulisan ini dibuat beberapa hari setelah kami mendapatkan produk teknologi bernama "tablet" itu. Sekali lagi, seperti tulisan-tulisan Rio sebelumnya, saya tidak melakukan editing sama sekali. Dalam tulisan ini, Rio memilih nama Damian sebagai dirinya. Ini murni tulisan yang dia buat. Silahkan menikmati, dan semoga berguna.
***
Air jatuh dari awan, menitik ke permukaan bumi. Motor berwarna violet kehitam-hitaman menyusup antara hujan lebat.
"Wow. Tabletnya tidak dibawa? Asyik!!!!" kata Damian keasyikan. Memang, biasanya setelah pulang sekolah, dia tidak melihat tablet itu, dan tidak melihat tanda-tanda bahwa ayahnya ada di rumah. Ayahnya memang hampir selalu ke kampus, tetapi pada hari tertentu tidak. Anak itu langsung keasyikan menulis cerita. Sekali-sekali, ia berjalan-jalan, mencari pemikiran, tentang ceritanya yang berjudul 'Waduh, Bagaimana?'.
"Ayo Damian! Makan!" kata sang ibu.
"Ya ma. Aku akan ke situ sebentar lagi" kata Damian agak keras.
Ia langsung ke arah dapur, tetapi matanya ke arah tablet. Tetapi, apa akibatnya? Damian tersungkur ke kursi. Untunglah kursi itu hanya berbentuk balok. Kalian tahu mainan jungkat-jungkit? Nah, Damian ini seperti jungkat-jungkit. Ketika ia tersungkur, ia langsung jatuh dengan lurus. Damian terjatuh, tetapi tabletnya tidak sama sekali terbentur. Damian memang pintar disuruh melindungi tablet. Damian lalu masuk ke dapur
"Ma, tadi aku terjatuh di situ lho!" kata Damian.
Dia sangatlah aneh. Ketika jatuh dengan posisi seperti jungkat-jungkit, ia malah bersemangat. Kenapa? Ya, anak ini sungguh aneh.
"Oya? Ayah itu lupa. Masa ayah tidak mengangkat kursi setelah mengecek internet" kata sang ibu dengan nada agak kesal.
"Mas, kok nggak diangkat kursinya. Aku masih memakluminya, kalau Damian masih tertuju pada tablet" kata sang ibu dengan nada kesal.
"Lho, kan Damian yang menyebabkan" kata sang ayah balik marah lagi
"Nggak, kamu mas!!" kata sang ibu dengan kemarahan puncak.
"Ya deh ya deh. Aku yang salah" kata sang suami yang akhirnya menyerah
Damian akhirnya bersyukur karena akhirnya perselisihan antara kedua orangtuanya sudah 100% bubar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H