[caption id="attachment_108286" align="alignleft" width="300" caption="Narsis, Curang, Jahat, Gendut Lagi! Sumber: images1.fanpop.com"][/caption]
Masih ingat film kucing gendut Garfield (2004)? Hanya sekedar untuk menyamakan persepsi, synopsis film tersebut demikian bunyinya. Sosok kucing manja, narsis, dan gendut (bahkan mendekati obesitas!) ini merasa diri sebagai figur tampan, yang senantiasa merasa layak untuk mendapatkan prioritas dan hak istimewa dalam banyak hal, seperti makanan, tempat untuk tidur, pelukan sayang dari sang tuan, dan berbagai layanan lainnya.Hidupnya penuh kenyamann bersama sang tuannya, John Arbuckle, seorang cowok jomblo.
Kehidupan serba nyaman mulai jauh dari menyenangkan ketika tuannya tersebut menerima titipan seekor anjing kecil, lucu, pintar, dan sekaligus berbakat. Yang namanya kucing, mana suka sama anjing! Anjing kecil tersebut digambarkan sebagai sosok naïf,belum cukup paham dengan intrik-intrik jahat yang barangkali akan menjerumuskan dirinya. Dia juga belum mampu memahami arti mimik wajah dan bahasa non-verbal lainnya.Dengan santainya, dia akan mengikuti dorongan naluriahnya: mencari tempat yang paling nyaman untuk tidur dan menonton TV, menyantap makanan yang tersedia tanpa peduli makanan tersebut untuk siapa! Itu semua hak istimewa si Garfield! Yang lebih menyesakkan bagi si Garfield, sang tuan pun tampaknya mulai terpecah perhatian dan pikirannya untuk si anjing kecil yang tidak tahu aturan itu. Si Garfield gemas, dongkol, marah, kecewa, dendam, dan akhirnya dengan berbagai cara melakukan tipuan yang membuat si anjing kecil titipan ini terusir dari rumahnya. Dengan begitu bangga si Garfield menepuk dada, telah mengklaim kembali teritori kekuasaan yang sebelumnya telah direnggut oleh makhluk kecil konyol.
Seperti khasnya film-film Amerika, cerita ini pun berakhir happy end, dengan penekanan khusus: sosok Garfield yang semula antagonistis, berubah total menjadi sosok protagonist-pejuang kebenaran. Film ini mau mengajarkan suatu ideologi mengenai mutlaknya perlu kesadaran diri dan kepekaan sosial sebagai tali pengikat keutuhan kehidupan bersama.
Yang justru menarik untuk diperhatikan secara khusus, menurut saya, adalah ketika si Garfield membanggakan keberhasilan mengusir si anjing kecil itu. Dengan penuh kebanggaan dia berbagi cerita tentang kekejian yang telah dia buat, dengan harapan bahwa dia akan mendapat tepuk tangan meriah dan dukungan dari teman-temannya. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya.Teman-teman Garfield dengan kritisnya menohok keangkuhan dan kesombongan tanpa batas yang begitu menguasai hati Garfield dan telah menggelapkan kedua matanya. Momen yang paling menyentuh adalah ketika satu persatu, teman-temannya tersebut undur diri sambil berkata:
“Ternyata hatimu jahat sekali ya … Tidak kami kira bahwa kamu bisa sejahat ini pada makhluk lain yang menderita dan lemah. Kalau mau saja tega dengan temanmu yang lemah dan menderita itu, suatu kali kamu pun juga pasti tidak akan segan-segan berkhianat kepada kami. Ok … selamat tinggal sobat. Jalan kita memang berbeda!”
***
Film yang lebih menggambarkan kejenakaan dan narsisme sang Garfield ini kaya makna. Kata-kata teman-teman Garfield yang menilai pengkhianatan yang dilandasi rasa iri dan dengki tidak hanya ada dalam dunia dongeng. Ini sangat biasa terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Kesadaran macam ini tentu mau tidak mau membawa kita pada ranah kognitif. Dalam arti bahwa kita tidak sekedar mengamini bahwa hal itu ada dalam kehidupan kita dan lalu tidak berbuat apa-apa. Justru di sini letaknya kesadaran akan mendesaknya upaya untuk meretas fenomena dengki, iri, dan dendam yang berujung pada pengkhianatan macam ini.
Suatu kali saya membawa topik diskusi di kelas tentang terorisme. Pertanyaan yang saya ajukan adalah: setujukah Anda dengan pernyataan bahwa terorisme dipicu oleh ajaran agama tertentu? Diskusi terjadi cukup menarik, dengan berbagai alasan yang muncul. Namun ada garis besar yang masih tampak abu-abu dari diskusi itu. Kesimpulan awalnya “TIDAK”, tapi argumentasi untuk mendukung jawaban itu tidak pasti.
Setelah cukup hangat, akhirnya saya bagikan teks bacaan. Saya sendiri sudah lupa teks mana yang saya pakai, tapi intinya demikian:
“Sekalipun terorisme sering dikaitkan dengan ajaran agama tertentu, namun sebenarnya klaim itu sangatlah lemah. Setiap agama besar memiliki sejarah kelam terkait dengan berbagai perilaku tidak logis yang berujung pada kekerasan dan pembunuhan terhadap kelompok lain. Sejarah panjang agama Nasrani juga tidak berbeda amat dari sejarah panjang agama Islam, Hindu, dan lain-lainnya – di mana pada masa-masa tertentu ada orang-orang yang mengatas-namakan kebenaran agama tersebut justru untuk menyakiti, melukai, dan bahkan membunuh pengikut agama lain. Kalaupun ada yang sama dari para perilaku terorisme lintas agama, itu semua mengacu pada “sikap dasar suka memberontak, hati yang tidak pernah berdamai dengan dirinya sendiri, dan kebahagiaan ketika melihat orang lain menderita.” Kesimpulan yang bisa diambil adalah, golongan yang mengambil jalan pintas untuk “memperjuangkan kebenaran tersebut” sebenarnya mengalami krisis psikologis yang hebat, dan dengan demikian akan dengan mudah menemukan musuh-musuh di sekitar mereka.”
Singkat kata, pola relasi sehat sangat ditentukan oleh sikap dasar dari hati kita. Mari kita bangun sikap hati positif, saling mendukung, dan saling menghargai untuk membangun rumah sehat Kompasiana ini? Setuju?
Tertarik untuk membaca postingan soal terorisme yang lain?
Silahkan kunjungi tulisan Om Ragile ini.
(Terima kasih Om Ragile atas ijin untuk membuat link ke tulisan Om yang luar biasa inspiratif ini!)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H