Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Resolusi 2016: Mulai Ngompasiana (lagi)

2 Januari 2016   03:27 Diperbarui: 2 Januari 2016   04:16 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

19 Januari 2010. Kali pertama saya bergabung di Kompasiana. Sampai 2 Januari 2016, artikel yang saya hasilkan tercatat 252 buah. Tiga tahun pertama merupakan masa-masa produktif. Sesudah itu, saya seakan hilang dari peredaran Kompasiana. Hampir tidak pernah lagi menulis. Kali ini, awal tahun 2016, tampaknya merupakan waktu yang tepat untuk kembali menulis. 

*** 

Konon "cerita" merupakan ibu dari peradaban. Yuvari Noah Harari (2015) memberikan dua teori sederhana mengapa bahasa berkembang. Teori pertama merujuk pada "there-a-lion-out-there" dan teori kedua "teori gosip." Dua teori itu memiliki kebenarannya masing-masing, dan memiliki alasan yang kuat. Namun, sepertinya teori kedua, yaitu gosip (membicarakan orang lain, diri sendiri, dalam kaitannya dengan orang lain, dan seterusnya), konon diyakini sebagai teori yang lebih berterima. Nah, sebagai Resolusi 2016, saya akan menggunakan cerita. Cerita ini yang akan membawa kita mengembangkan hati berkepedulian. Cerita tentang sebuah warrior heart yang dibawakan oleh Isabel Allende. Semoga ini menjadi pembuka kembalinya saya untuk Ngompasiana. 

***

Gambaran warrior heart diceritakan oleh Isabel Allende, tentang seorang dental hygienist. Tahun 2005, Jenny mengunjungi Bangladesh. Dengan bekal ilmu kesehatan gigi, dia berencana untuk menerjemahkan ilmunya di antara penduduk miskin di salah satu desa di Bangladesh. Dia menjumpai sebuah klinik gigi, tempat dia akan mempraktekkan apa yang telah dipersiapkannya di bangku kuliah.

Klinik tersebut tidak lebih dari sebuah ruang, tanpa peralatan, dan dihuni oleh puluhan lalat. Jenny datang ke klinik tersebut, dengan harapan untuk membantu dokter gigi. Namun, ternyata di klinik itu tidak pernah ada dokternya. Dalam suasana yang masih belum dipahami sepenuhnya, beberapa pasien sudah menunggu. Antri. Wajah-wajah menahan sakit tampak memelas.

Satu pasien masuk, dan dengan cepat Jenny merasa sebagai sosok tak berdaya. Pendidikannya adalah kesehatan gigi. Pasien di depannya butuh seorang dokter gigi. Dokter yang memiliki lisensi untuk mencabut gigi. Dia sepenuhnya tahu, dia bukan orang yang tepat untuk melakukan tindakan medis di luar kapasitasnya. Di situ tidak tersedia obat penahan sakit. Pikirannya cepat berputar. Dalam keterbatasan yang ada, Jenny mengambil tindakan yang sangat beresiko.

Dia beruntung membawa obat Novocaine. Jadilah sosok muda ini dalam sekejap menjadikan dirinya sebagai dokter gigi dadakan. Tanpa training, tanpa persiapan dan praktek sebelumnya, tanpa ada pertimbangan dari ahli, dia mengambil langkah berani. Hari itu, sejumlah pasien berhasil dia tolong. Wajah-wajah kesakitan yang super memelas berubah berseri.

Cerita tidak hanya berakhir di situ. Puncak pengalaman mencekam justru hadir sehari sesudahnya. Salah seorang ibu yang dia tolong datang lagi. Kali ini bersama sang suaminya. Dan yang lebih membuat Jenny tercekik adalah wajah memar kebiruan penuh bengkak dari sang wanita yang ditolong sehari sebelumnya. Jenny merasa hancur luluh, apa yang dilakukannya membawa suatu dampak samping terhadap salah seorang pasiennya. Sang suami menampilkan wajah garangnya.

Dengan suara yang keras, dia mengungkapkan ancaman, hendak membunuh Jenny, sukarelawati dari Negeri Paman Sam ini. Pria itu mengungkapkan kemarahan dalam bahasa yang Jenny sendiri tidak tahu. Perasaan bersalah menerkam dan menghancurkan perasaan suka cita di hari sebelumnya. Insiden tersebut dengan cepat berlalu. Dalam hitungan menit, Jenny akhirnya belajar sesuatu yang tidak pernah dipahami sebelumnya. Luka-luka memar itu bukan karena salah obat atau malpraktek dari tindakan medis yang dia lakukan sehari sebelumnya. Sang suami menghajar istrinya habis-habisan. Alasannya sederhana. Kunjungan ke klinik untuk mendapatkan pengobatan membuat dirinya terlambat sampai rumah. Saat makan malam tiba, makanan untuk sang suami terlambat. Inilah yang menyebabkan kemarahan sang suami.

Apa yang ditampilkan dalam cerita tersebut dapat diringkas menjadi dua hal yang saling bertaut. Pertama, Jenny belajar untuk mengambil peran unik di dalam sebuah peristiwa. Jenny punya pilihan bebas, apakah mau tetap mempertahankan janji profesionalismenya, yaitu dengan menghindarkan diri dari tindakan penuh resiko, atau melanggar janji profesionalisme dengan cara menolong orang-orang yang menderita. Jenny digerakkan oleh cita-cita moral. Dia tidak begitu saja hanya mau menjadi pihak yang patuh prosedur begitu saja. Dia berusaha untuk mencari makna. Dia tahu, resiko adalah bagian dari kehidupan ini. Dia berani melakukan hal yang bisa berdampak negatif. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain untuk menolong. Inilah peran self-agency yang dia coba ambil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun