Target pembelajaran organisasional secara kolaboratif menuntut investasi intelektual yang panjang dan melelahkan. Dalam diskusi tentang mekanisme pembelajaran berkelanjutan (double-loop learning) yang dilakukan oleh tim pengembang kurikulum entrepreneurship dari Universitas Ciputra, saya mengangkat pentingnya kesediaan untuk bersikap kritis atas diri sendiri, atas cara berpikir, dan cara bersikap. Ini lah hakekat dari cara berperilaku kognitif-reflektif. Memahami hakekat kerja intelektual yang panjang, berkesinambungan, dan (mestinya) uninterrupted akan memberi kesiapan dan antisipasi terhadap kesulitan dan tantangan.
Pengalaman hidup (craft) merupakan komponen utama yang sangat penting untuk membangun profesionalisme. Pencapaian gelar semata tidak dengan sendirinya mengesahkan kompetensi profesional. Saya membayangkan bahwa ada satu titik tertentu ketika seseorang menyelesaikan gelar akademis, namun pada waktu yang sama, justru merasa tidak bisa melakukan apa-apa. Sindrom atas perasaan tidak mampu ini memang wajar. Mintzberg (2009) mengembangkan analogi tripod (struktur tiga kaki) untuk menggambarkan bahwa suatu praktek profesional terdiri dari tiga unsur: science (ilmu pengetahuan), art (vision, imagination, spirituality), dan craft (pengalaman hidup, lived experience).
Pentingnya pengalaman nyata yang dihidupi tidak boleh lagi dipersoal-tanyakan. Berbagai pemahaman teoretis boleh dikuasai sendiri melalui proses belajar di kelas, dan kemudian disahkan dengan dicapainya gelar akademis. Namun, pencapaian gelar akademis masih sangat terlalu dini untuk dikatakan sebagai pembuka pintu keberhasilan. Dua bulan di akhir tahun 2013 lalu, saya berkesempatan untuk terlibat dalam pengembangan soal-soal ujian standar Bahasa Inggris, namanya Test of English Proficiency (TOEP). Oleh Kemendiknas, TOEP ini dipakai sebagai pengganti TOEFL sebagai alat ukur dan rekrutmen dosen di berbagai wilayah Indonesia.
Sebagai orang yang telah bergelut dalam pembelajaran Bahasa Inggris selama hampir 15 tahun, keterlibatan dalam penyusunan TOEP ini sungguh menantang. Prof. Suwarsih Madya, sebagai ketua tim pengembang, memberikan sentuhan pengalaman yang mencengangkan. Dilihat dari daya tahan bekerja, dibutuhkan konsistensi dan komitmen. Orientasi kerja berbasis produk membuat saya belajar untuk merasakan apa dan bagaimana bekerja maraton mulai dari jam 1 siang, dan berakhir sampai jam 1 malam. Tentu ada sela-sela istirahat di antaranya. Di sini, di satu periode yang uninterrupted macam ini, saya belajar untuk merasakan konsistensi dalam berinvestasi secara intelektual.
Terus-terang, saya merasa kecil. Benar-benar merasa kecil. Saya berasal dari sebuah universitas swasta. Tidak mentereng. Saya duduk bersama di antara para guru besar dari PTN dan PTS ternama. Sementara, pengalaman, latar belakang, dan kemudaan saya sepertinya membuat saya menjadi semakin kecil saja. Namun, perasaan kecil itu kemudian berubah menjadi ucapan syukur. Betapa beruntungnya saya bisa berdinamika dengan para tokoh nasional. Rasa syukur itu lah yang kemudian justru menjadi motivator utama untuk berdinamika secara lebih intens lagi. Saya merasakan betapa beruntungnya diri saya, karena bisa mengalami sentuhan-sentuhan penuh makna. Proses penyusunan tes itu sendiri melibatkan kesediaan untuk mendengarkan orang lain, mengujicobakan berbagai eksperimentasi gagasan, dan menyediakan diri “dibantai” oleh rekan-rekan yang lain. Saya menyadari bahwa saya telah mengalami proses belajar “double-loop learning”melalui kegiatan macam ini.
Proses belajar double-loop learning memang mengasumsikan adanya kesiapan mental yang kuat dari dalam diri orang-orang yang terlibat di dalamnya. Itu pula yang saya coba terapkan di dalam proses pembimbingan skripsi. Para mahasiswa yang saya bimbing merupakan kelompok dengan tingkat komitmen dan konsistensi yang beragam. Semakin banyak dari mereka yang mudah goyah. Berbagai kemudahan dan fasilitas yang ditawarkan oleh teknologi membuat banyak dari mereka menghidupi cara berpikir naif, pengin serba mudah, dan maunya serba cepat.
Salah seorang mahasiswi datang setelah empat bulan terakhir tidak konsultasi skripsi. Pertanyaan yang diajukan sederhana: Bolehkah saya menyelesaikan skripsi bulan Juli depan? Saya pun menjawab dengan tersenyum. Kemudian, saya ajak dia untuk melihat kompleksitas pekerjaan yang bernama skripsi itu. Dengan bantuan mindjet, saya membantunya untuk mengidentifikasi kompleksitas pekerjaan. Bab per bab dipecah-pecah, dan setelah 15 menit lewat, dia mengoreksi dirinya. “Wah, butuh kerja keras ya pak.” “Dirimu yang menyimpulkan,” sahut saya.
Generasi muda butuh contoh nyata bahwa orang-orang dewasa pun tidak sekedar ongkang-ongkang kaki untuk menghasilkan pekerjaan yang berkualitas.
“Sebentar, silahkan kamu baca tulisan-tulisan ini,” saya menyorongkan screen laptop ke hadapannya.
“Kompasiana? Apa ini?” pertanyaannya terkesan lugu.
“Baca, pahami, dan nanti boleh berkomentar. Beri saya waktu 10 menit untuk mengerjakan hal lain, sementara kamu membaca,” lanjut saya.
****
Mahasiswi itu akhirnya belajar. Tidak ada yang bisa begitu saja diperoleh dengan mudah. Semua butuh perjuangan.
“Jadi tulisan Bapak sudah lebih dari 230 ini, di Kompasiana ini?”
“Bukan semua tulisan saya. Saya kadang-kadang menampilkan tulisan anak saya di sana. Biar jadi motivasi baginya. Makhlum, anak usia 9 tahun kan perlu diberi contoh terus-menerus agar bisa mengembangkan sikap tepat dalam kegiatan membaca dan menulis. Juga harus diberi ruang dan pengakuan.”
Kata-kata penutup dari saya sudah cukup membuat mahasiswi ini paham. Pandangan naif yang mengharapkan semua serba mudah dan instan adalah kebodohan. Mahasiswi itu pun keluar dari kantor dengan wajah yang berbeda. Ada perbedaan pandangan terhadap hidup ini. Hidup memang harus diperjuangkan, dan bila perlu memang harus berdarah-darah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H