Awalnya tahun 2005. Surat ajakan kerja sama sampai di atas meja dekan. Menarik, sebuah FKIP dari negeri Belanda mengajukan tawaran kerja sama. Bentuknya sederhana: Kunjungan formal untuk saling belajar. Jadilah tahun 2006, kunjungan itu terjadi. Waktu itu, dua petinggi dari Hogeschool van Arnhem et Nijmegen (HAN) datang ke kampus kami. Jelas, relasi dengan mudah terbangun. Tidak terlalu sulit untuk berbicara dengan dua bule ini. Dan yang lebih mengejutkan, salah satu bule itu ternyata berdarah Indonesia juga. Masih ada anggota kerabat (kalau tidak salah budhe-nya) yang tinggal di Sumedang. Jadilah kunjungan formal ke kampus kami sebagai sarana untuk "get reconnected" dengan pengalaman masa lalu.
Tujuh tahun telah lewat. Ini kali ke tujuh dari kelompok HAN ini ke kampus kami. Selama periode tujuh tahun ini pula, telah berkali-kali mereka mengirim para mahasiswa PGSD (kalau tidak salah di sana dinamai Pabo Groenewald). Anak-anak bule usia S1 itu akan datang ke Yogyakarta, merasakan kepanasan (akhir-akhir ini sampai 38 derajat Celcius!), dan menikmati pengalaman unik bersama anak-anak Yogyakarta. Sayang saya belum memiliki kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi dengan mereka. Yang saya sempat lihat, mereka berusaha untuk tampil sopan. Kalau berpapasan di kampus, mereka selalu menggunakan baju yang diterima secara normatif. Bagaimanapun juga, pasti mereka telah diajari sopan santun dalam berpakaian saat di Indonesia. Itu lah yang saya bayangkan.
****
Tahun ini, tujuh tahun kemudian, saya tidak terlalu banyak aktif. Tahun lalu saya sempat dilibatkan sebagai penyaji makalah tentang literacy practices seperti yang saya jumpai dalam sekolah anak-anak. Kali ini peran saya minimalis. Sehari sebelum hari H, saya dikontak oleh seorang petinggi FKIP. Tawarannya jelas: menjadi moderator untuk penampilan yang dibawakan oleh Peter Fransen. Saya belum mengenal dia. Namun, sekilas, melihat apa yang mau dibawakan, saya merasa tidak punya alasan untuk menolak. Temanya menarik: global citizenship, mestikah kita ajarkan?
Global citizenship
Dewasa ini, dunia sekarang ini sudah menjadi desa yang superbesar. Artinya, apa yang dialami oleh belahan dunia yang lain, hanya dalam hitungan detik dan menit, kita akan segera mengetahuinya. Praktis, kita pun berada dalam saling keterpengaruhan, saling ketergantungan. Di satu sisi, barangkali ada ketakutan. Jangan-jangan kita kalah dari desakan kelompok lain. Ketakutan ini wajar, apalagi memang sejarah panjang kemanusiaan di muka bumi sangat lengkap dengan bukti-bukti kekejaman penjajahan. Kekerasan. Genosida. Ketika rasa takut itu dibiarkan meraja lela, wajar kalau akhirnya kita cenderung untuk menutup diri. Di lain pihak, sebenarnya kita diberi pilihan untuk bersikap proaktif. Positif. Dan menanggapi keberagaman yang ada macam ini dengan kepala tegak. Posisi macam ini tidak bisa dilepaskan dari sikap dasar kita: pengetahuan yang kita bentuk, keterampilan yang senantiasa kita latihkan, dan kesungguhan yang kita bangun, serta komitmen untuk berprestasi. Kesiapan menyongsong ASEAN Economic Society 2015, misalnya, sangat ditentukan oleh berbagai macam keahlian yang kita bangun dan kuasai. Kalau kita sendiri minder, merasa tidak mampu, bingung dengan diri sendiri terus-menerus, bagaimana mungkin kita meningkatkan daya jual dari kompetensi kita?
Global citizenship atau kewarganegaraan global sangat erat dengan kesadaran kritis bahwa di dunia ini ada berbagai ketimpangan yang berlaku tanpa kita sadari sepenuhnya. Seluruh penduduk yang tinggal di negara-negara maju (Amerika, Eropa) sebenarnya hanya berjumlah 14%. Ironisnya, jumlah yang kecil ini lah yang menghabiskan sumber daya dan barang-barang di dunia ini dalam jumlah yang superbesar. Mau tahu? Mereka menghabiskan lebih dari 86% dari seluruh barang-barang yang diproduksi di muka bumi. Ini artinya, mereka yang kaya akan lebih banyak menggunakan bahan bakar fosil, makan lebih banyak, membuang sampah 14 kali lebih banyak.
Menjadi bagian dari Global Citizenship merupakan diskusi kurikulum yang layak untuk diangkat. Kita dituntut untuk lebih peka dan lebih mahir dalam berkomunikasi. Sayangnya, pemerintah kita lebih meyakini, bahwa cara yang paling baik untuk menghadapi persaingan global adalah dengan lebih sedikit belajar Bahasa Inggris, dan lebih banyak berdoa. Apakah ini sebuah tragedi kebijakan di negeri ini? Wallahualam bisawab, hanya Tuhan yang tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H