Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Konteks Sekolah Sebagai Komunitas Pembelajar

17 Mei 2010   21:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:09 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_143499" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Dhony Setiawan/KOMPAS.com)"][/caption]

Konteks manakah yang lebih memungkinkan anak tumbuh menjadi pribadi dewasa yang baik dan bertanggung jawab? Konteks keluarga baik-baik, tetapi keluarga tersebut terletak di tengah masyarakat penuh kekerasan, kekacauan, dan kebencian? Atau sebaliknya, konteks keluarga broken,namun keluarga tersebut terletak dalam sebuah masyarakat yang rapi, tertata indah, tanpa coret-coretan tembok dan tanpa umpatan?

Malcolm Gladwell (2000) dalam bukunya The Tipping Point merujuk konteks kedua sebagai tempat yang lebih ramah bagi anak untuk tumbuh menjadi warga masyarakat yang dewasa dan bertanggung jawab. Gladwell mengutip dua kriminolog, James Q. Wilson dan George Kelling, yang meyakini bahwa perilaku kriminalitas sekecil apapun bentuknya merupakan dampak dari suatu ketidak-aturan (disorder).

Bagi dua kriminolog ini, pecahnya satu jendela kaca di suatu rumah yang tidak segera diperbaiki, mengundang pecahnya jendela-jendela lain di rumah tersebut. Bagi siapapun yang lewat, tidak segera diperbaikinya kaca tersebut menjelaskan bahwa tidak ada orang yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban. Dengan segera, perilaku anarkis pun meraja lela. Jendela-jendela di bangunan sekitarnya pun akan menjadi korban pelemparan.

Berdasarkan ilustrasi dari dua kriminolog ini, Gladwell menyebut hakekat dasar dari pentingnya konteks keteraturan sebagai Broken Windows Theory. Aplikasi teori ini memang terbukti benar. Era 1980-an dan 1990-an, otoritas kota New York menindak tegas perilaku-perilaku kriminalitas minor, seperti corat-coret tembok. Dampaknya pun cukup mengejutkan: angka kriminalitas besar pun menurun tajam.

Konteks sekolah yang kondusif

Sekolah adalah sebuah sistem yang membentuk konteks interaksional antar siswa, guru, dan masyarakat luas. Pentingnya kaum dewasa dalam menciptakan “keteraturan” (order) melalui pola relasional yang matang di antara mereka tidak lagi perlu diperdebatkan lagi. Namun perlu dicatat bahwa “keteraturan” di dalam konteks sekolah tidak sama dengan “keteraturan” yang perlu diciptakan oleh satuan kepolisian untuk menjamin keamanan.

Konsep keteraturan dalam sekolah lebih mengacu pada apa yang disebut Andy Hargreaves (1994) sebagai kolegialitas kolaboratif antar guru – di mana para guru pembentuk entitas sekolah bersatu padu dalam satu tujuan untuk menciptakan komunitas pembelajar. Dalam konteks relasional macam ini, hubungan antar anggota dalam lembaga lebih bersifat spontan, suka rela, berorientasi pada perkembangan, muncul secara berkesinambungan, dan cenderung tidak terduga. Untuk mencapai kolegialitas kolaboratif ini, setidaknya ada dua syarat mendasar yang harus dipenuhi.

Pertama, keteraturan yang dituntut dalam sebuah lembaga pendidikan seperti ini tidak bisa dibentuk atas dasar perintah atau dimandatkandari luar (Fullan 1993). Karena, seperti yang diperingatkan oleh Andy Hargreaves (1994), keteraturan yang dipaksakan justru akan membentuk kolegialitas artifisial, yang ditandai denganketaatan sekedar ikut aturan, serba diwajibkan, berorientasi pada implementasi, interaksi hanya terjadi pada pertemuan yang terjadwal, dan semuanya serba terduga.

Kedua, keteraturan dalam bentuk kolegialitas kolaboratif macam ini tidak bisa serta merta tumbuh tanpa upaya yang sungguh-sungguh dan kesediaan para anggotanya untuk selalu terbuka pada hal-hal yang baru dan sekaligus kritis terhadap keyakinan-keyakinan diri yang dipercayainya.

Beragam bentuk reformasi yang dijalankan di sekolah di Amerika rupanya sepakat bahwa penggerak utama untuk menumbuhkan kesadaran para guru untuk senantiasa belajar secara berkelanjutan adalah pengembangan kapasitas guru untuk memahami data-data sekolah.

Melalui program School Improvement Network yang disponsori National Center for School Improvement, misalnya, sejumlah sekolah membentuk kelompok critical friends groups (Gordon, 2008). Para dosen Fakultas Keguruan dari Texas State University melibatkan diri sebagai mitra kritis yang bagi kelompok-kelompok tersebut untuk membaca data-data sekolah, seperti data demografis siswa, hasil-hasil ujian, standar nasional, kurikulum sekolah, dan kaitannya dengan upaya pencapaian misi sekolah.

Melalui interaksi dalam kelompok guru tersebut, beragam gagasan muncul dari para anggotanya, bahkan kadang saling berseberangan satu sama lain. Namun, karena komitmen untuk perbaikan memang telah disepakati sebelumnya, berbagai gesekan pandangan justru menjadi katalisator yang menghantar para guru di dalamnya untuk lebih memahami kompleksitas perubahan dalam diri mereka masing-masing dan juga pada tingkat sekolah.

Saling percaya

Pemahaman akan kompleksitas perubahan ini, seperti yang ditemukan oleh Bryk dan Schneider (2002), menjadi landasan tumbuhnya ‘relational trust’, yaitu tumbuhnya rasa saling mempercayai satu sama lain. Melalui studi longitudinalnya mengenai reformasi sekolah di Chicago, kedua peneliti ini menemukan empat aspek yang mendasar sebagai implikasi dari berkembangnya rasa saling mempercayai satu sama lain ini.

Pertama, ‘relational trust’ memunculkan keberanian bagi para anggota di dalamnya untuk bereksperimentasi atau menguji-cobakan hal-hal baru. Mereka tidak lagi merasa perlu terancam atau tidak aman untuk “tampil beda” dengan ide-ide mereka yang khas dan unik.

Kedua, ‘relational trust’ ini juga membuka kemungkinan yang lebih besar bagi mereka untuk bersedia bekerja bersama secara kolektif. Ketika yang muncul adalah rasa tidak aman, kecenderungan guru adalah menutup pintu kelas dan bekerja sendiri-sendiri.

Ketiga, ‘relational trust’ macam ini juga memungkinkan berkembangnya norma-norma kelompok yang berperan sebagai monitor bagi semua anggotanya. Norma-norma tersebut menciptakan tekanan dan insentif bagi semua guru untuk terlibat dalam proses belajar berkelanjutan dan kemajuan dalam praktek-praktek pembelajaran di kelas.

Keempat, adanya ‘relational trust’ juga akan menciptakan rasa terikat dan komitmen akan cita-cita sekolah. Komitmen yang bertumbuh akan menjamin perbaikan secara berkelanjutan bagi sekolah.

Referensi

Bryk, A.S. & Schnider, B. (2002). Trust in schools : a core resource for improvement, New York : Russell Sage Foundation.

Fullan, M. (1993). Change forces : probing the depths of educational reform, London ; New York : Falmer Press

Gladwell, M. (2000). The tipping point: how little things can make a big difference, Boston : Little, Brown.

Gordon, S.P. (2008). Collaborative action research: Developing professional learning communities, New York: Teachers College.

Hargreaves, A. (1994). Changing teachers, changing times: teachers’ work and culture in the postmodern age, New York: Teachers College Press.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun