Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kompleksitas Dinamis dan Wilayah Ketidakpastian

5 Maret 2010   04:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:36 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Kalau memang ada pilihan, saya tidak mau ambil studi lanjut (doktoral) di dalam negeri,” kata seorang kolega, sambil menyebut salah satu universitas tertua di Indonesia sebagai referensi.

“Kuliah doktoral di Indonesia lebih ditandai dengan beban psikologis yang lebih berat daripada beban kognitifnya,” teman lain menyahut.

“Iya benar, di suatu program tertentu ada profesor yang galaknya minta ampun!” teman yang pertama menimpali.

Menurut kolega yang satu ini, pola relasi antara profesor dan mahasiswanya kadang jauh dari egaliter. Seakan-akan, profesornya menjadi orang tersibuk yang senantiasa “harus dilayani dan dituruti segala keinginannya.” Ada serangkaian bukti-bukti yang ditunjukkan untuk mendukung analisis ini.

“Tapi memang harus diakui, ada juga profesor yang sangat baik dan pandai memahami para mahasiswanya,” teman kedua tampaknya berupaya menetralisir keadaan.

“Cuma memang, jumlahnya tidak banyak,” lanjutnya cepat-cepat. Ungkapan terakhir tetap membuat aura pembicaraan makin abu-abu. Tidak ada kejelasan. Pandangan yang mengemuka tetap memojokkan institusi dan personalia dalam lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Pandangan kritis, yang barangkali bagi sekelompok dosen yang dikenal baik pun akan meradang begitu mendengarnya! Ataupun, bagi yang dikenal keras dan mengakui diri keras, atmosfir abu-abu dalam diskusi kecil itu justru mendorong mereka untuk menunjukkan taring kegarangannya dengan mengatakan, “Bagaimana mungkin kita akan mempertahankan kredibilitas dan akuntabilitas akademis bila para mahasiswanya saja loyo!”

****

Rumor bahwa studi lanjut di bumi pertiwi memang “lebih berat” dibandingkan dengan studi di negeri-negeri lain barangkali tidak akan pernah hilang dari peredaran. Bukti pun tidak sulit untuk ditemukan. Ada sejumlah kolega yang benar-benar “putus hati dan patah arang” dalam upaya mereka mendapatkan gelar dari universitas dalam negeri. Barangkali, ketika rangkaian pengalaman mereka dikumpulkan dan dianalisis, alasan-alasan kegagalan mereka pun memang masuk akal dan sah-sah saja (legitimate). Karakteristik personal mereka yang kuat barangkali membuat mereka memiliki ketegasan dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya. Ketika menemukan ketidakpastian atau inkonsistensi, barangkali orang-orang macam ini akan begitu mudah mengalami ketidaknyamanan psikologis dan kognitif. Butuh waktu lama bagi mereka untuk menoleransi ketidakpastian macam ini, dan barangkali bahkan gagal sama sekali dalam upaya tersebut.

[caption id="attachment_86584" align="alignleft" width="300" caption="source: sundancerpsych.com"][/caption] Begitu dihadapkan dengan gaya profesor yang jauh dari sikap dasar egalitar, sebagai misal, disonansi psikologis bisa jadi terlalu besar, dan terlalu besar sehingga justru menumpulkan segala kemampuan kognitif untuk mengurai persoalan. Orang-orang dengan ketegasan prinsip personal macam ini bisa jadi gagal mendamaikan dirinya sendiri: bukannya berupaya keras untuk renegosiasi dengan hati penuh keterbukaan, mereka berkutat pada “kebenarannya sendiri” dan berusaha memperjuangkannya mati-matian dengan berbagai macam penjelasan rasionalistis. Padahal, negosiasi macam ini sangatlah mutlak perlu, karena hidup sangatlah kompleks – bahkan terlalu kompleks untuk dipahami dengan sudut pandang kita sendiri. Dibutuhkan semangat positif yang muncul dari sikap dasar untuk mau belajar terus-menerus.

***

Kehidupan manusia dan pola interaksi yang tercipta di dalamnya tampaknya lebih cocok digambarkan sebagai “fields of uncertainty” (Kvale & Brinkmann, 2009, p. 69). Istilah “wilayah ketidakpastian” ini mengacu pada suatu kondisi problematis yang senantiasa perlu didekati dan direfleksikan secara berkelanjutan seiring dengan proses pemecahan masalah. Dalam kondisi macam ini, yang mutlak perlu dan harus dikembangkan adalah serangkaian keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan taktis. Dalam kehidupan kita, cukup mudah menemukan orang-orang dengan prinsip-prinsip yang baku-kaku nan mutlak. Tidak ada peluang untuk negosiasi dan kebenaran yang dipegang pun tidak lebih dari sekedar serangkaian “templates” yang bisa diterapkan untuk kebanyakan persoalan. Mungkin terdengar terlalu menghakimi bila dikatakan bahwa orang-orang macam itu memiliki kecenderungan untuk melihat berbagai persoalan pada hal-hal di luar diri mereka.

Tidak salah kalau kita sendiri mengingat kembali gagasan yang dilontarkan oleh Aristoteles ribuan tahun lalu. Yang dibutuhkan agar kita senantiasa bijaksana dalam menghadapi beragam persoalan moral, bukan semata-mata pengetahuan ilmiah atau prinsip-prinsip etis, tetapi “phronesis” atau kemampuan membuat pertimbangan matang. Menurut Lovibond (1995), phronesis adalah “kemampuan untuk menilai dan bertindak atas situasi-situasi khusus dengan cara tertentu yang mencerminkan jalan hidup yang layak diakui kebenarannya” (dikutip dalam Kvale & Brinkman, 2009, p. 67).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun