Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jalan Panjang Menuju Melek Huruf!

7 Maret 2010   04:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:34 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

source: www.sterncenter.org

SpiderKid! Itu nama yang diberikan oleh Babeh_Helmi. Untuk sementara waktu aku pakai sebagai foto identitas. SpiderKid sekarang umurnya 5 tahun lebih lima bulan. Sudah lancar baca-tulis. Chatting via yahoo messenger (YM) atau skype dengan keyboard netbook sudah lancar. Waktu nonton tayangan TV dengan subtitles pun sudah lancar dilakukan. Perjalanan untuk melek huruf itu panjang. Berikut ini catatan yang aku buat 30 Agustus 2009 yang lalu: bagaimana aku mencoba menstrukturkan pengalaman baca-tulis. Ini merupakan salah satu strategi yang berhasil dalam membantu anak untuk menguasai keterampilan melek huruf. Semoga bermanfaat.

***

Pergantian hari sudah lebih dari enam puluh menit berlalu. Hari Minggu lewat tengah hari di Jogja, hari Minggu yang baru berumur satu jam di Chicago. Chatting via Skype pun sudah lebih dari satu jam. Tampaknya, cerita-cerita yang mau dibagikan sudah habis. Namun, saluran voice chatting tetap dibiarkan terbuka. Hanya karena kehebatan teknologi informasi, kali ini perbedaan jarak, ruang dan waktu tampak tidak terlalu membebani. Tanpa harus memikirkan tagihan telpon lagi, hubungan tetap aman terjamin. Bahkan sekalipun cerita-cerita tampaknya sudah habis untuk dibagikan, tetap saja saluran dibiarkan terbuka. Langganan TelkomFlash 3G yang bias dimanfaatkan 24 jam sehari, 7 hari seminggu dengan harga flat memang telah menyulap kamar di apartment 2404, Baumhart Hall, seperti rumah sendiri. Hanya dengan mengaktifkan skype atau yahoo messenger, aku bisa mendengar suara-suara khas yang terjadi di rumah. Suara Rio yang bersenandung atau tergelak-gelak penuh keceriaan di kejauhan. Suara pekerja mengebor tembok untuk memasang atap biru transparan penutup pintu dapur belakang. Di sini, di keheningan kota terbesar di Midwest yang senantiasa hingar binger ini – aku menikmati keramahan rumah sendiri: rumah yang terletak di desa transisi – di satu sisi di sana-sini kaum tua renta tinggal, dan di sisi lain, keluarga-keluarga pendatang yang relatif jauh lebih muda, mengusik mereka dengan membeli sebidang tanah untuk didirikan bangunan.

Kehadiran teknologi informasi memang membuat kepergianku kali ini lebih jauh terasa ringan. Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran tak terbantahkan bagi hampir semua orang tua adalah hilangnya sosok panutan ketika salah satu komponen – entah ayah atau ibu – harus pergi dari rumah. Kekhawatiran tersebut terasa membebani pada awalnya. Namun, dengan bekal keterbukaan dan kesediaan untuk senantiasa belajar, ternyata perjalanan waktu memberi bukti lain. Ternyata ada beragam cara untuk tetap memainkan peran kepala keluarga, sekalipun kehadiran fisik dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa dicapai.

“Pak, Rio pipis dulu ya,” kata Rio meminta ijin Bapak.Dalam Bahasa Jawa tentu saja. “Please, silahkan, yo kono …” Bapak menjawab dengan tiga bahasa. Saluran Skype yang tetap terbuka menangkap gelak tawa dan suarateplok-teplok-teplok – suara kaki Rio yang berlari menuju netbooknya.

“Sudah selesai pipisnya?” tulis Bapak di yahoo messenger.

Lho … apa kuwi?” Rio terkaget-kaget ada tulisan di ym-nya. Bapak diam. Agak lama. “Dibaca dulu dong, jangan langsung tanya!” Bapak akhirnya menanggapi. “Jawab dengan tulisan ya,” lanjut Bapak, isinya memerintah, namun intonasinya lembut dan terdengar lebih sebagai permohonan.

Ma, piye le njawab?” terdengar Rio meminta pertimbangan Mama.

Lha, wis durung Rio le pipis [sudah belum pipisnya]?” Mama balik bertanya. Rio tampaknya mengangguk. “Ya tulis jawabanne!” Pembicaraan antara dua orang tersebut dalam Bahasa Jawa. Namun apa yang dituliskan di ym tetap Bahasa Indonesia.

Uwis ... dadi sing ditulis “ S U D A H” Ma?” Rio meminta kepastian.

Mama tidak menjawab. Terdengar suara Rio mengeja kata S U D A H, dan kata itu dalam sekejap muncul dalam dialogue screen yahoo Messenger. “Pak diwaca [dibaca]!” Rio berteriak nyaring, suaranya tergelak-gelak oleh kegembiraan.

“Wah hebat!” Bapak menanggapi.

“Pasti pipisnya bau, ya!” tulis Bapak dengan cepat.

Lho apa meneh iki [apa lagi ini]?” Rio terkejut dengan jawaban yang serba cepat itu.

Siklus berulang lagi. Rio minta pertimbangan Mama. Mama menyuruh Rio mengeja sendiri. Tawanya memecah begitu dia berhasil memahami isi pesan dari Bapak. Dan selanjutnya, Rio mengirim jawaban singkat, “ya”.

“Bau apa pipisnya? Jengkol atau parfum?”

“Jengkol” jawab Rio.

“Kok jengkol? Apa Rio makan jengkol?” Bapak melanjutkan.

“Tidak” jawab Rio singkat.

“Apa bau petai?” tulis Bapak.

“Ya,” jawab Rio. Padahal, Bapak yakin seratus persen, Rio tidak makan petai. Mama paling benci bau petai dan jengkol! Sangat kecil kemungkinan Rio mendapatkan akses terhadap dua jenis makan lezat nan berbau itu tanpa persetujuan Mama.

Berlatih membaca dan menulis adalah sebuah perjuangan yang tidak mudah bagi anak. Anak-anak seperti spons yang dengan begitu mudah menyerap apapun yang berbentuk cairan. Bukan hal yang terlalu aneh bahwa anak-anak selalu saja siap sedia untuk menerima beragam stimulasi dari lingkungannya. Beragam hal yang menarik perhatian itu datang silih berganti. Peran para guru dan orang tua sangat jelas. Mereka memainkan peran untuk menstrukturisasikan pengalmaan yang layak untuk dialami. Tanpa ada strategi dan teknik untuk memilihkan pengalaman maca mapa yang mesti dipelajari oleh anak pada suatu waktu tertentu, anak tidak akan berlatih menguasai suatu keterampilan yang penting secara sistematis dan efektif.

Sudah semenjak awal kehidupannya, Rio menyaksikan bagaimana kegiatan baca-tulis dijalankan oleh kedua orang tuanya. Perkenalan dengan komputer pun sudah semenjak awal. Bapak tidak merasa perlu khawatir bahwa Rio akan merusakkan komputer. Rio sudah mulai terbiasa memencet tuts-tuts keyboard komputer ketika dia mulai tertarik dengan pegang-pegang benda-benda di sekitarnya. Bahkan ketika Bapak sedang mengisi nilai dengan format Excel, Rio pun duduk di pangkuan Bapak. Tidak terlalu lama kemudian, dia bertingkah laku seperti Bapak: Memencet tuts-tuts keyboard tanpa melihat keyboard seakan-akan sudah terampil mengetik dengan 10 jari! Hasilnya bisa diduga: serentetan huruf yang sangat panjang tanpa makna.

Pengalaman tadi malam – yaitu kemampuan Rio menjawab chatting di YM dengan menuliskan rangkaian huruf dua sampai enam biji yang membentuk kata penuh makna adalah yang pertama kali. Kalau dirunut semenjak dia mengenal kegiatan baca-tulis, dilanjutkan dengan kebiasaan Rio berkutat dengan laptop dan menggunakan tuts-tuts keyboard untuk menghasilkan tulisan, perjalanan untuk mencapai satu tahap ini sangatlah panjang! Kalaupun ada sesuatu yang layak untuk dicatat, itu barangkali pentingnya bagi orang tua untuk senantiasa menyediakan model yang bisa diikuti. Anak-anak belajar dari melihat dan menyaksikan bagaimana orang-orang di sekelilingnya melakukan sesuatu. Bila orang tua mengajarinya untuk optimis dan menggunakan segala tantangan hidup sebagai hal yang menyenangkan, dia akan belajar menyikapi hidup dengan optimis pula. Bila orang tuanya terlalu mengkhawatirkan banyak hal, dia juga akan belajar untuk khawatir terus-menerus. Bila orang tuanya tidak pernah berkata “keras” di rumah, anak pun akan memahami bahwa kehidupan ideal yang sesungguhnya adalah suasana yang penuh “kelembutan”. Jangan heran, begitu anak mendapat sesuatu yang tidak mengenakkan – misalnya teguran yang agak keras dan berbeda dari kebiasaan yang dia dengar dari rumah, bisa-bisa anak justru akan sakit dan menderita psikosomatis!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun