Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cantiknya Bunga Peony, Segarnya Senyum Sang Pustakawati

9 Juni 2011   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:42 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_113177" align="alignright" width="380" caption="peony "][/caption] Musim panas menghentak Chicago. Dengan temperatur 32-34 Celcius, sejauh mata memandang orang-orang di jalanan, akan bertemu wajah-wajah kepanasan. Orang-orang Kaukasia yang berkulit putih sudah mulai berkulit seperti kepiting goreng. Dengan cuaca sepanas ini, tidak ada alasan untuk tampil rapi, berbaju rapat. Ini lah Amerika. Dunia liberal yang lebih mengedepankan segi pragmatisnya. Mau dianggap jorok, tidak sopan, atau apapun, itu urusan kepala dan hati masing-masing. Datangnya udara panas yang menghentak ini membuatku lebih memilih untuk menyembunyikan diri di perpustakaan kampus daripada kelayapan. Apalagi, dengan semakin dekatnya waktu kepulanganku ke Jogja, semakin mendesak rasanya untuk memperoleh sebanyak mungkin selama di sini. Segar-dinginnya udara di perpustakaan tampaknya tidak hanya karena udara ber-AC. Tetapi juga oleh dua vas bunga peony yang dipajang di dua tempat yang berbeda. Satu di tempat pelayanan peminjaman buku, dan satunya lagi di reference desk - tempat mahasiswa bertanya kepada pustakawan-wati yang bertugas. Bunga peony adalah bunga sewangi mawar. Itu yang dengan cepat aku pelajari begitu hidungku menyambar aroma yang ditebarkannya. Warnanya berubah, sesuai dengan usianya. Aku memang belum sempat mempelajari perubahan warna itu akan menjadi seperti apa. Namun, tiga hari ini aku menjumpai beberapa warna yang berbeda. Putih kemerah-merahan, kuning, dan pink. Tidak salah bila para pujangga menyebut bunga dan keharumannya sebagai lambang cinta. Tampaknya simbolisasi bunga macam itu pun telah menjadi universal. Tidak peduli apakah seseorang dilahir-besarkan di dunia Timur atau Barat, tampaknya mereka sepakat bahwa bunga yang semerbak menandakan kasih sayang. Dengan hadirnya vas bunga peony di atas meja itu, tatapan mataku penuh ketertarikan terhadap bunga itu pun menggerakkan sang pustakawati yang duduk di sana. Tiga tahun berlalu sudah, dan aku telah mengenal wajah pustawakawati itu. Namun, aku tidak pernah menyapa lebih dari sekedar "hai", sambil melemparkan senyum, dan sesudahnya tidak ada bekas sama sekali. Kali ini lain. Bunga peony itu ternyata memecahkan kebekuan. Tatapan tajam mataku mencairkan senyum di bibirnya. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. "It's beautiful, isn't it?" katanya, seakan memaksaku untuk menyetujui pendapatnya. "What a beautiful flower!" aku pun nggak mau kalah. Pustakawati yang biasanya tampak tidak ramah itu pun akhirnya cair. Bunga peony ini dibawa oleh salah seorang pustakawan lain yang kebetulan memiliki "peony orchard" [semacam kebun kecil] di rumahnya. Tidak tanggung-tanggung, dia pun akhirnya memberi pelajaran tambahan buatku. Bunga peony adalah bunga mahal. Sangat laku untuk perayaan perkawinan. Aku pun tidak kalah berbagi pengetahuan tentang bunga peony putih yang menjadi sarana bagi Musashi untuk mengakui keunggulan Sekishusai. Bagaimana ceritanya? Musashi yang menjalani kehidupan Jalan Pedang senantiasa berkelana mencari musuh-musuh terhebat yang ada. Telah belasan samurai kehilangan nyawa di tangannya, belasan lain cacat, belasan lain kehilangan anggota badannya. Kekecewaan Musashi terasa memuncak karena Sekishusai yang tua dan dikenal memiliki kehebatan main pedang telah mengundurkan diri dari khalayak ramai. Orang tua ini memilih tinggal di suatu bukit yang sepi, jauh dari keramaian, dan menikmati masa tuanya dengan lebih banyak melakukan semadi. Jadilah Musashi dongkol bukan main. Dia tertahan di kamar penginapan, tidak terlalu jauh dari bukit tempat Sekishusai mengasingkan diri. Namun jiwa kesatrianya tidak menghendakinya menerobos masuk dan memaksa sang Sekishusai memberinya kesempatan bertanding. Pada waktu  yang sama datanglah salah satu anak dari mendiang Yoshioka Kempo. Yoshioka adalah salah satu perguruan yang paling ditakuti karena mendiang Yoshioka Kempo memiliki keahlian main pedang yang tidak ada duanya. Namun, kedua Kempo ini tidaklah keturunan terbaik. Yang dia miliki adalah kesombongan, keangkuhan, dan gaya tuan-tuan tanah yang lebih memperdulikan wanita dan sake, daripada kepedulian terhadap seni pedang. Deinsichiro (kalau tidak salah namanya) adalah anak yang datang ke tempat penginapan itu dengan tujuan yang sama: menantang sang Sekishusai Tua yang sudah mengundurkan diri dari Jalan Pedang. Namun, bukan Deinsichiro Kempo kalau tidak memaksakan diri. Sekishusai Tua memang ahli pedang yang telah menguasai seni kehidupan luar dalam. Dengan gayanya yang khas, dan tidak terduga, dia pun turun ke taman bunga. Memotong setangkai bunga peony putih dan meminta seorang cantriknya untuk mengantarkannya ke Deinsichiro. Sebagai seorang pemain pedang yang lebih menyerupai bangsawan, Deinsichiro pun murka. Bagaimana mungkin seorang ahli waris permainan pedang Yoshioka harus direndahkan dengan cara dikirimi setangkai peony putih. Kepada pelayan yang menyampaikan bunga peony putih itu Deinsichiro memerintahkan agar bunga itu dibuang saja. Sementara itu, sewaktu berjalan menuju ke tempat sampah, Musashi bertemu dengan sang pelayan itu dengan sepotong bunga peony putih di tangannya.  Dengan bahasa yang halus, Musashi pun meminta sepotong bunga peony itu. Tidak terlalu lama kemudian, Musashi pun tergetar. Matanya yang setajam elang merasakan kecepatan pedang yang menebas tangkai bunga peony tersebut. Dengan secepat kilat tangannya menggapai samurai di punggungnya. Kibasan pedangnya begitu cepat sehingga hanya kilat putih saja yang tersisa. Dipungutnya tangkai bunga peony tersebut, dan dibandingkan potongan yang telah dibuatnya sendiri dengan potongan lain yang dibuat oleh Sekishusai. Sambil menarik nafas dalam-dalam, dia pun bergumam: "Sekishusai yang agung, aku mengaku kalah!" Musashi merasa dikalahkan oleh Sekishusai bukan dalam sebuah pertarungan yang menghilangkan nyawa salah satu di antara mereka. Ketajaman mata Musashi menangkap kehebatan dari seorang Sekishusai, hanya dari potongan bunga peony putih. *** Sang pustawakawati itu pun tersenyum, bibirnya mengembang, dan berkata. "We've lost the art of cutting the peony!" Lihat sumber gambar

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun