[caption id="attachment_84708" align="alignleft" width="227" caption="source: chipbruce.files.wordpress.com"][/caption] Awalnya, jumlah korban dilaporkan kecil. Kemudian, seiring dengan mengalirnya waktu, angka itu merangkak naik. Itu kekhasan dari bencana akibat gempa! Hitungan nyawa yang melayang makin lama makin besar. Hati menjadi tebal, sekalipun tetap begidig dibuatnya. Itu yang akan kita dengar dari gempa 8.8 skala Richter di Chile, Sabtu 28 Februari 2010, di hari-hari mendatang. Pada tulisan sebelumnya, Kaki Kena Paku Dibuatkan Sambal Terasi, saya menampilkan satu anekdot kecil yang melingkupi Gempa Jogja 27 Mei 2006 lalu. Kali ini, catatan pendek berikut mencerminkan pengalaman mistis yang mempengaruhi banyak masyarakat Jogja. Apa makna gempa tersebut terhadap sistem monarki Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat? Mengapa justru istana Trajumas yang merepresentasikan keadilan yang hancur akibat gempa? Itukah bukti dari habisnya kesepakatan Kyai Ageng Pemanahan dengan sang kakak Ki Ageng Giring? Tidak ada yang tahu. Tapi itu beragam cerita dan rumor itu lah yang menyeruak di banyak kalangan masyarakat akar rumput. Bencana memang multidimensi! Selamat membaca.
***
Gempa Jogja terjadi pada jam enam pagi, kurang satu menit. 27 Mei 2006. Tercatat 5.9 Skala Richter. Sesudahnya, tanah seakan tidak lagi mantap untuk dipijak. Ratusan kali gempa susulan terjadi. Rupanya, gempa susulan berskala lebih dari 4 skala Richter yang terjadi pada hari Kamis, 8 Juni 2006, pukul 11.40 menjadi tanda berakhirnya fase masa-masa gempa. Gempa-gempa susulan yang selalu menimbulkan rasa was-was tampaknya tidak muncul lagi. Kalaupun muncul, terasa sangat lembut. Hampir tidak terasa. Barangkali memang lempeng-lempeng bumi yang terkoyak sudah mulai tertata kembali. Teratur, dan menempati tempat yang layak untuk masing-masing.
Yang tersisa tentu saja beragam pengalaman penuh kenangan. Ya, tentu saja kenangan yang tidak bisa dikatakan indah! Namun, toh kami belum memiliki keberanian untuk tidur di dalam rumah. Malam itu, ketika Gunung Merapi kelihatan begitu murka, menggelegak dengan lava pijar dalam warna merah kekuning-kuningan. Bulan memang belum purnama. Namun sinarnya sudah membuat dunia ini benderang. Banyak bintang yang berkedip-kedip, dan hampir tidak terlihat, seakan malu menunjukkan jati diri mereka di hadapan ratu malam yang bersinar begitu terang. Malam dingin mencekam. Udara dingin menusuk tulang. Ini malam terdingin dari malam-malam selama kurang lebih dua minggu kami tidur di luar rumah.
Dinginnya malam dan orang-orang yang lalu lalang di depan rumah membuat diriku tidak terlalu nyenyak tidur. Mereka membicarakan banyak hal. Namun, satu tema besar yang mereka angkat adalah Gunung Merapi yang memang sedang duwe gawe. Pijaran lava yang mengalir menuruni tebing-tebing gunung tampak seperti permainan kembang api. Memang untuk orang-orang Kalasan, pijaran kembang api tersebut tidak terlalu besar. Namun, berita-berita visual di TV ketika aliran lava telah mencapai pemukiman penduduk pada pukul 9.20, Kamis, 8 Juni 2006, telah cukup membuat orang-orang merasa ketakutan. Di tayangan TV tersebut, kepanikan luar biasa besar di antara warga Cangkringan tergambar dengan jelas.
Malam ini, ketika sang bulan yang tampak hampir bulat, meningkatkan gravitasi bumi-bulan. Magma yang selama ini dengan tenang mengeram di perut bumi pun terusik oleh daya tarik gravitasi ini. Begitu para ahli mengatakan. Ada kaitan yang kuat antara gravitasi bulan pada saat-saat seperti ini. Dengan berbekal topi monyet untuk menutupi kedua telinga, kulangkahkan kaki.
Pak Dalipin - tetangga sebelah rumah, yang tidak begitu mengenaliku dengan topi monyetku, menanyakan siapa diriku. Tanpa basa-basi akhirnya pertemuan singkat itu pun dimulai. Semuanya masih sekitar bencana.
”Sepandai-pandainya orang pintar, mereka tetap tidak mampu memprediksi apa yang akan terjadi dalam hidup ini. Karena apa? Sederhana saja. Karena ada yang berkuasa. Namun, saya yakin bahwa dunia Utara dan Selatan ada yang ngerehke (menguasai, menggerakkan). Katanya sih, Nyi Roro Kidul masih membutuhkan 5.000 nyawa lagi untuk dijadikan pasukan dhemitnya. Kali ini akan dibantu oleh dhanyang Gunung Merapi!" katanya. Ungkapan terakhirnya membuat hatiku makin begidig! Akankah Gunung Merapi mengulang ledakan hebat satu milenium sebelumnya yang menghabiskan peradaban Jawa Tengah dan sekitarnya?
Yah memang kondisi berakhir. Dalam Babad Tanah Jawa, kekuasaan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memang sudah diprediksikan akan berakhir dengan meninggalnya Sultan Hamengku Buwono IX. Pak Dalipin ini mengacu pada kesepakatan yang dibuat oleh Ki Ageng Pemanahan yang secara tidak sengaja meminum kelapa muda yang berisi wahyu raja yang menjadi hak kakaknya, Ki Ageng Giring. Kalau tidak salah, dikatakan bahwa sesudah kepemimpinan sembilan turunan, kekuasaan anak cucu Ki Ageng Pemanahan di Tanah Mentaok (Mataram Baru atau Ngayogyakarta Hadiningrat) akan dikembalikan ke keturunan Ki Ageng Giring. Masih menurut cerita-cerita rakyat akar rumput, kemunculan HB X di tahta Kraton Jogja lebih dari sekedar kebutuhan sosio-kultural, karena memang tidak terberkati dengan wahyu. Keris Joko Pituruh sebagai legimitasi raja Joga tidak pernah diberikan oleh mendiang Sultan HB IX. Seberapa benar cerita itu? Wallahualam bisawab!
Dalam dunia penuh mistisisme seperti itulah, banyak hal yang tidak pernah jelas dan ilmiah menemukan bentuk sepenuhnya. Hidup kita memang dibentuk oleh informasi. Namun, dalam kondisi ketidak pastian ini, informasi begitu banyak dan tidak sedikit yang menjerumuskan. Namun, itu lah kenyataan sesungguhnya dalam suasana bencana. Satu informasi ditambah dengan rumor lain, dan dikabarkan oleh orang berikut yang kebetulan memiliki keahlian untuk menambah isu. Sama persis dengan ungkapan Jawa: Undhaking pawarto, sudaning kiriman, yang bermakna kurang lebih: makna pokok pesan yang tersampaikan tergerus oleh buih-buih dan bunga-bunga kata yang dilebihkan-lebihkan.
Barangkali, tulisan yang Anda baca sekarang ini pun bisa dikategorikan demikian?
Tulisan ini merupakan seri kedua. Dua berikutnya dapat Anda lanjutkan di link di bawah ini. Tertarik?
Gantian Raksasa Utara yang Mengancam
Wong-wong mBantul Bernama Agas Tonner, Tenchum, dan Gali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H