Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

The Great Expectation Initiative

24 November 2011   01:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:17 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Albert Bandura (psikolog dari Kanada kelahiran tahun 1925) dikenal dengan salah satu teori penting "self-efficacy." Ilustrasi dari konsep teori ini bisa dijelaskan sebagai berikut.

Kemampuan matematika saya sebenarnya tidak jelek-jelek amat. Tiga tahun pertama bersekolah di SD, nilai-nilai saya antara 9 dan 10. Hanya karena "kecelakaan beruntun" saja yang membuat saya kehilangan rasa percaya diri dalam pelajaran matematika itu. Tiga tahun terakhir di SD, guru kelas saya tidak lain adalah ayah saya sendiri. Di rumah, ayah merupakan figur yang keras dan menakutkan. Di sekolah pun citra itu sama saja. Otoritas tak tergoyahkan yang didasarkan pada prinsip otoritarian membuat saya menjadi sangat ketakutan untuk bertanya dan meminta waktu untuk berpikir lebih dalam mengerjakan soal-soal matematika. Nilai-nilai matematika pun meluncur tajam, dan seakan tidak ada harapan. Pengalaman tiga tahun di SMP pun setali tiga uang. Sama saja. Guru matematika yang mengajar dikenal memiliki disiplin yang keterlaluan. Tidak ada toleransi untuk tertawa, tersenyum, dan berbisik-bisik. Pertanyaan dari siswa dianggap sebagai kebodohan. Pelajaran matematika sama dengan pencekokan latihan-latihan menggunakan rumus baku yang tidak bisa diganggu gugat. Sama seperti di SD, nilai matematika di SMP pun tidak pernah beranjak dari angka 5 dan 6.

Pengalaman tiga tahun di SD dan dilanjutkan tiga tahun berikut di SMP berkontribusi terhadap hilangnya nafsu untuk belajar matematika. Tidak hanya itu saja, saya menjadi tidak percaya diri terhadap kemampuan dan potensi dasar matematika saya. Beruntung saya menjumpai seorang "mentor." Dia adalah teman sekolah kakak saya. Kemana-mana dia selalu membawa kamus Bahasa Inggris, dan menghafalkan kosa kata Bahasa Inggris setiap waktu. Saya melihat bahwa Bahasa Inggris bisa menjadi kompensasi yang bisa menjaga peluang bagi saya untuk berprestasi. Demikian lah saya mengikuti cara menghafalkan kosa kata Bahasa Inggris. Kesana kemari membawa kamus dan menghafalkannya, menemukan cara-cara unik untuk mengingat-ingat, dan melabeli berbagai benda di sekitar dengan kosa kata Bahasa Inggris merupakan sebuah hobby yang menarik. Ada dorongan dari dalam untuk menegaskan eksistensi diri yang tidak bisa direndahkan hanya karena tidak berprestasi dalam bidang matematika. Dalam perjalanan waktu, saya dikenal teman-teman sekelasku sebagai "kamus berjalan" - karena kelebihanku dalam penguasaan kosa-kata Bahasa Inggris itu.

Ilustrasi tersebut menggambarkan hakekat "self-efficacy" sebagaimana yang diajarkan oleh Bandura. Kita sebagai manusia mengembangkan sikap dasar terhadap diri kita, terhadap kemampuan dan potensi diri kita. Self-efficacy adalah keyakinan atas kapasitas dalam diri kita dalam menangani suatu persoalan tertentu. Self-efficacy saya dalam bidang matematika bisa dibilang sangat rendah. Ketidak-beruntungan yang beruntun tampaknya bisa menjadi kambing hitam mengapa saya mengalami sindrom self-efficacy yang rendah dalam bidang ini. Sementara, self-efficacy saya dalam bidang bahasa Inggris tinggi - justru karena saya menerapkan strategi kompensatoris untuk membuat diri saya tetap eksis. Tentu, tulisan ini tidak saya maksudkan untuk mendiskreditkan orang tua saya, atau guru matematika di SMP itu. Namun, saya hanya mau menegaskan bahwa peran guru dalam menciptakan rasa self-efficacy terhadap suatu mata pelajaran tertentu kadang sangat sentral.

Apakah ada strategi yang bisa dilakukan untuk menangani persoalan "self-efficacy" bagi anak-anak yang kurang beruntung akibat dari latar belakang sosial-ekonomi-kultural  mereka? Saya menjumpai sebuah literatur tentang the Great Expectation Initiative.  Ini merupakan suatu terobosan untuk membantu anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung (secara sosial, ekonomi, dan kultural) dan kemungkinan gagal di sekolah untuk mengembangkan keterampilan belajar. Dikembangkan oleh Marva Collins (1989), program ini hendak menanamkan "self-worth" - harga diri dalam diri semua siswa di kelas apapun latar belakang mereka. Dengan menggunakan serangkaian teknik yang dikembangkan oleh Collins, masing-masing anak diajak untuk meyakini bahwa kehadiran mereka di dunia ini penuh makna, dan mereka diciptakan untuk menjadi orang-orang yang penting dan berguna bagi sesamanya - tentu sajuah mereka benar-benar bertanggung jawab pada diri sendiri melalui proses belajar yang baik di kelas. Anak-anak yang berperilaku nakal di kelas atau sekolah senantiasa mendapatkan peringatan karena gurunya peduli dengan mereka, dan tidak mau menyerah begitu saja. Berbagai metode dikembangkan seperti menghadirkan tantangan kepada para siswa dalam dalam bentuk umpan balik dari guru dan teman-teman lainnya. Hal ini membuat proses belajar menyenangkan dan pada waktu yang sama ditekankan pentingnya kehidupan yang bahagia dan efektif. Kemajuan dalam bentuk apapun dirayakan, sehingga tiap anak dapat memperoleh pengakuan psoitif dari para guru, teman-temannya, dan juga orang tua. Selain materi-materi standard dari mata pelajaran utama, kurikulum dalam GEI ini mengikutsertakan puisi-puisi penyemangat yang harus dihafalkan dan didiskusikan dan diulang-ulang baik di rumah maupun di sekolah.

Bagaimana realitas di lapangan? Fergusson (2003) melaporkan bahwa GE I ini berhasil dijalankan di Oklahoma. Namun upaya untuk "scale up" di Chicago, membawa dampak yang "mixed" karena ada tiga alasan pokok:
Waktu: "Saya tidak punya waktu untuk menguji-cobanya terlalu menghabiskan waktu. Saya tidak bisa!
Kepuasan dengan apa yang biasa dilakukan: "Saya sungguh tidak melihat perlunya melakukan sesuatu yang berbeda dari yang biasa saya lakukan,"
Para siswa yang tidak lagi bisa diharapkan: "Anda tidak tahu siswa macam apa yang ada di kelas saya. Hal-hal macam ini sungguh tidak berlaku di antara para siswa saya. Semua hal positif yang dituntut dalam program ini sama halnya memperlakukan para siswa tersebut seperti bayi! Disiplin harus keras - Anda tidak mungkin mencampurnya dengan sikap ramah!"
Kenyatannya, ketiga alasan tersebut bercampur aduk menjadi satu. Dan akibatnya bisa diduga, bahwa beberapa guru bisa begitu berhasil, sementara guru-guru yang lain tidak. Tampaknya tidak sulit untuk menemukan alasan di antara guru yang gagal. Mereka merasa tidak aman. Ketidakmampuan mereka dalam meyakini bahwa para murid sebenarnya bisa berkembang sejauh diberi peluang, mencerminkan ketidakmampuan diri mereka untuk mempercayai diri sendiri. Sementara mereka yang sungguh berhasil benar0benar mengalami proses "peremajaan semangat dalam karir mengajar mereka."
referensi:

Ferguson, R. (2003). Teachers' Perceptions and Expectations and the Black-White Test Score Gap. Urban Education, 38(4), 460-­‐507.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun