Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Disiplin Kelima: Systems Thinking

5 Mei 2010   05:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:24 1729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pola pikir sistem (systems thinking) bukan lagi hal baru bagi berbagai kalangan. Namun, baru pada tahun 1990, ketika Peter Senge menerbitkan buku The fifth discipline: The art and practice of the learning organization gagasan tentang pola pikir sistem ini menyebar dengan begitu cepat. Dalam konteks organisasi apapun, tentu saja termasuk lembaga pendidikan, pola pikir sistem macam ini dibutuhkan sebagai alat, cara pandang, dan sekaligus strategi pemecahan yang unik.

Mengapa kita perlu mengembangkan pola pikir sistem? Dalam pengertian yang paling sederhana, pemikiran sistem mengajarkan pentingnya berfokus pada gambar besar, dan mengurangi kecenderungan berpikir pada tahap detail. Bila diterapkan dalam upaya untuk menciptakan kultur sekolah yang lebih responsif terhadap perubahan, pemikiran sistem macam ini barangkali menuntut para administrator sekolah untuk lebih berkonsentrasi pada kecenderungan-kecenderungan besar untuk perubahan, bukan pada kejadian-kejadian kecil sehari-hari.

Dengan kata lain, pemikiran sistem memberi inspirasi bagi para pemimpin untuk lebih melihat pola hubungan antar berbagai hal. Pemikiran ini juga memotivasi untuk mengubah fokus dari komponen-komponen manajemen organisasi ke hubungan sebab dan akibat yang mendasarinya.

1.Seeing interrelationships, not things, and processes, not snapshots.

Kebanyakan dari kita terkondisikan untuk berfokus pada benda, barang, atau hal-hal secara terpisah-pisah dan cenderung memaknai dunia yang kita diami ini sebagai serangkaian citra atau potret terpotong-potong yang statis. Cara pandang seperti ini mendorong kita untuk menerima begitu saja penjelasan linear dari berbagai fenomena sistemik yang ada.

2.Moving beyond blame.

Kita cenderung menyalahkan satu sama lain atau lingkungan di luar diri kita ketika muncul masalah. Padahal, yang menjadi penyebab hampir semua persoalan organisasi adalah sistem yang buruk, bukan semata-mata orang-orang yang tidak berkompeten atau tidak bermotivasi. Cara berpikir sistem mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu yang di luar diri kita – bahwa kita dan penyebab dari persoalan yang kita hadapi adalah sebuah sistem tunggal.

3.Distinguishing detail complexity from dynamic complexity.

Sejumlah tipe kompleksitas memiliki makna lebih strategis dibandingkan dengan yang lain. Kompleksitas detail muncul dari beragam variabel perubahan yang muncul pada waktu bersamaan. Beragam variable macam ini sering membawa dampak yang cukup bermakna bagi para partisipan. Kompleksitas dinamis, di lain pihak, mengacu pada sebab dan dampak jangka panjang. Perubahan yang muncul bersifat sangat lembut dan jarang dirasakan oleh para partisipan yang berada di dalam sistem tersebut.

4.Focusing on areas of high leverage.

Beberapa orang menyebut bahwa pemikiran sistem merupakan “ilmu baru yang tidak mencerahkan" karena ajaran ini menegaskan bahwa solusi-solusi yang paling jelas dan masuk akal justru tidak disarankan untuk dipilih. Dikatakan bahwa solusi-solusi macam itu paling-paling hanya akan memecahkan persoalan jangka pendek, dan bahkan bisa memperburuk keadaan di masa yang akan datang. Pemikiran sistem ini juga mengajarkan bahwa aksi yang kecil dengan fokus yang jelas dapat menghasilkan perbaikan yang bermakna dan berkelanjutan, jika aksi macam itu ditempatkan pada porsi yang tepat. Para pemikir yang menyumbang ajaran pemikiran sistem merujuk gagasan macam ini pada prinsip “kayu pengungkit” (leverage). Memecahkan persoalan yang sulit sering ditentukan oleh kemampuan meletakkan di mana kayu pengganjal untuk menghasilkan angkatan yang lebih tinggi – tentu dengan upaya seminimal mungkin – guna memungkinkan perubahan yang bermakna dan berkelanjutan.

5.Avoiding symptomatic solutions

Tekanan dan desakan untuk segera mengubah hal-hal dalam kultur sekolah yang disfungsional dalam waktu cepat bisa jadi sangat kuat. Sayangnya, dengan begitu luasnya pola pikir linear di dalam sekolah dan juga masyarakat secara umum, upaya untuk perbaikan biasanya berfokus pada penanganan simptomatis, bukan pada akar permasalahannya. Kecenderungan macam ini hanya berdampak pada pembenahan masalah sementara waktu, dan memunculkan lebih banyak tekanan di waktu-waktu mendatang dalam bentuk intervensi tingkat rendah.

***

Gagasan tentang systems thinking sangat terbuka untuk dikembangkan dan diterapkan pada kehidupan personal maupun institusional. Pada tataran implementatif, akan muncul beragam tarik-menarik yang bersifat paradoksal. Dituntut sebuah kesediaan untuk berani belajar terus-menerus dan sekaligus terbuka terhadap berbagai sudut pandang baru dan bahkan berseberangan sekalipun. Mengusung kepercayaan bahwa keyakinan diri sendiri sebagai kebenaran mutlak sama halnya dengan membawa keranda kematian diri, karena orang macam ini dengan sendirinya terjebak ke dalam kebenaran semu.

[caption id="attachment_133609" align="aligncenter" width="300" caption="source: www.ninaspencer.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun