Wacana tentang terbentuknya kedisiplinan massal seperti yang digambarkan oleh Foucault memberi landasan terhadap tumbuh kembangnya humanisme modern Eropa pada abad 19. Kedisiplinan, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, lebih diletakkan dalam konteks untuk menciptakan suasana nyaman, aman, dan terkendali dengan tujuan utama untuk meletakkan sikap dasar kepatuhan dari nilai-nilai yang telah terinternalisasi.
Internalisasi nilai-nilai yang menjunjung tinggi kenyamanan dan keamanan bersama merupakan target dari kedisiplinan massal ini. Internalisasi juga membuat kekuasaan tidak lagi diberlakukan secara mencolok (visible). Karena dari dalam diri sudah muncul sikap batin untuk bertindak secara teratur, patuh, dan terprediksi, kekuasaan yang muncul dalam sosok-sosok militer atau simbol-simbol yang kelihatan tidak lagi dibutuhkan.
Perlu digarisbawahi, bahwa dalam konteks terbentuknya kedisiplinan macam ini, perilaku normatif dan kepatuhan pada suatu aturan main yang baku sangat lah diharapkan. Bertindak secara berbeda merupakan tindakan yang melukai kebersamaan. Persoalan selanjutnya adalah: apakah dengan sekedar menerima dan menjalankan aturan main apa adanya itu tidak berarti sama artinya dengan menerima mentah-mentah agenda status quo?
Kalau kita mencermati sejarah pengembangan kurikulum, akan kita temukan bahwa pada suatu waktu tertentu, agenda persekolahan memang pertama-tama ditujukan untuk menjamin keberlangsungan dasariah ekonomis macam ini. Model pengembangan kurikulum yang diajukan oleh kelompok social efficiency seperti Bobbit dan Charters mengacu pada mekanisme macam ini.
Dua orang ini mengajukan cara praktis untuk mengembangkan kurikulum yang disebut sebagai activity analysis. Ini merupakan pendekatan kinerja gerakan manajemen ilmiah dari Frederick Winslow Taylor.Pertama-tama, mesti kita siapkan sebuah katalog untuk mencatat berbagai aktivitas manusia, yang dikelompokkan ke dalam sejumlah kategori fungsional, misalnya aktivitas kewarga-negaraan atau aktivitas santai. Berikutnya, perilaku yang dicatat dengan detail - yang dikumpulkan melalui pengamatan ilmiah - diolah dan kemudian dipakai sebagai tujuan atau objektif dari kurikulum.
Alasan yang diajukan oleh para pendukung model pengembangan kurikulum ini memang masuk akal. Pengajaran atas berbagai mata pelajaran didasarkan pada beragam aktivitas nyata yang dijalani oleh manusia. Pengajaran tidak lagi kering kerontang dan hanya berkisar pada tataran otak saja, tetapi langsung terkait dengan aktivitas nya.
Namun, kritikan terhadap model macam ini pun tidak kurang-kurang. Para frontier thinkers pada era 1930-an mengajukan keberatan yang sangat masuk akal. Di mata mereka, proses pendidikan yang tidak lebih dari sekedar melanjutkan apa yang biasa dilakukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari bisa menjadi sangat terbatas dan rutin. Karena yang diterima adalah perilaku standar dan normal, gagasan-gagasan eksploratif dan kritis tidak pernah diajarkan atau distimulasi di sekolah.Mereka melihat bahwa apa yang terjadi di masyarakat tidak dengan sendirinya baik. Anak perlu dikenalkan dengan semangat untuk memperbaiki atau rekonstruksi sosial atas realitas di masyarakat.
Rugg dan Billings akhirnya mempublikasikan serangkaian buku teks sejarah Perang Dunia I yang menggoncangkan Amerika selama satu dekade (1928-39). Dengan asumsi bahwa prinsip pendidikan yang lebih mengedepankan social efficiency tidak lebih dari sekedar melatihkan sikap patuh, santun, dan taat pada tujuan-tujuan ekonomis besar yang ditentukan oleh pasar dan pemerintah, kedua orang ini mengusung pendidikan terobosan yang diharapkan mampu membekali peserta didik untuk menjadi warga negara yang kreatif, aktif, dan mampu melihat alternatif pemecahan soal.
Kalau diperhatikan dengan lebih seksama, gagasan kedisiplinan massal seperti yang digambarkan oleh Foucault lebih mirip dengan cara-cara yang ditawarkan oleh para teoretisi social efficiency. Pelajaran sejarah yang diwacanakan oleh Foucault tentang keteraturan sosial ini dilanjut-kembangkan oleh Bobbit dan Charters dalam konteks ilmu kurikulum.Status quo adalah label yang sah untuk menggambarkan cara pandang masyarakat tersebut. Slogan yang dimunculkan dalam kondisi masyarakat macam ini adlaah: self-control, self-regulation, and self-accountability.
Nah sampai di sini dulu ya … soalnya, masuk ke dunia post-mo ada trend yang lain lagi. Dan butuh diskusi yang lumayan panjang.
** Catatan kuliah.