Kami menjalani hari yang sangat melemahkan jiwa. Para dokter memberikan berita yang paling buruk
[caption id="attachment_149826" align="alignright" width="300" caption="source: http://rlv.zcache.com/"][/caption] yang bisa didengar oleh orang tua manapun.
Putri kami, yang baru saja selesai menjalani operasi tumor otak pertama untuk menghilangkan tumor dan harus mengikuti serangkaian perawatan radiasi berikutnya, kali ini secara resmi hanya memiliki kesempatan hidup dua persen.
Dalam catatan medis, belum ada satupun yang sembuh ketika diserang jenis kanker seperti itu. Aku dan istriku berkeputusan untuk membawa putri kami untuk makan siang, sebelum melanjutkan pembicaraan tentang langkah-langkah kami selanjutnya.
Kami pergi ke restoran dekat rumah sakit, dan kami duduk membisu sambil menunggu pelayan menghantarkan makanan pesanan kami. Putri kami, Molly, sama sekali tidak merasakan degup kekhawatiran dan ketakutan kami berdua.
Dia sibuk dengan krayon dan kertas gambarnya. Sungguh, dia tidak pernah sekalipun kehilangan keriangan anak kecil seusianya. Tanpa sengaja aku memperhatikan pasangan kakek-nenek yang duduk di kursi-meja agak jauh dari kami.
Seperti kami yang diam membisu, mulut mereka pun terkunci rapat. Pikiranku melayang, bertanya-tanya apa gerangan yang mereka hadapi sehingga mereka juga diam membisu seperti kami? Apakah mereka juga mengalami siksaan batin karena berita yang mengenaskan dari anak mereka?
Masih dalam kebisuan yang mendalam kami mencoba menikmati makanan yang kami pesan. Namun, aku tidak bisa melepaskan dari pasangan tua tersebut, dan aku makin memperhatikan mereka dari waktu ke waktu.
Sepengetahuanku, tidak ada satu patah katapun yang telah mereka ucapkan kepada satu sama lain, dan aku makin heran apakah mereka benar-benar menikmati kedamaian, atau makanan, atau keduanya? Seiring dengan pikiranku yang mereka-reka itu, aku kembali lagi ke makanan yang ada di piringku.
Molly masih saja berbicara dengan riangnya, menikmati makannya. Aku dan istriku mendengarkan apapun yang dia katakan, mencoba untuk menikmati detik-detik kebersamaan yang rasanya terlalu mahal bagi kami.
Tiba-tiba, seakan tanpa aku tahu datangnya, sebuah tangan dengan benjolan-benjolan akibat artritis gemetar menyentuh tangan anakku. Tangan itu sama sekali tidak enak dipandang: buku-buku pada jarinya membengkak tidak karuan.
Kedua bola mataku tidak bisa lepas dari tangan itu. Ternyata nenek tua yang semula duduk saling membisu dengan suaminya di kursi seberang datang, hanya untuk mengucapkan kata-kata berikut ini, "Seandainya saja aku bisa memberikan sesuatu yang lebih untukmu, aku akan melakukannya dengan senang hati."
Senyumnya mengembang dari sudut bibirnya, lalu dengan langkah-langkah berat, dia bergabung dengan suaminya yang telah menunggunya di depan pintu keluar.
Molly, dengan kepolosannya, berteriak nyaring, "Coba lihat, aku dapat uang satu dollar!" Sang nenek tua tersebut telah meninggalkan selembar uang kertas di dekat tangan Molly.
Memang benar, uang itu telah ditinggalkan oleh nenek. Aku baru akan mengucapkan terima kasih, namun dua pasangan tua itu sudah tidak kelihatan lagi.
Aku sendiri masih duduk, rasanya tertampar oleh rasa aneh yang menyelusup dalam kalbu. Aku tatap mata istriku yang juga tampak tegang selama ini. Hampir bersamaan, kami pun saling melemparkan senyum. Kepedihan hari itu telah luntur oleh kebaikan dan sentuhan tangan dari seorang nenek yang sangat menderita itu.
Uang selembar satu dollaran itu memang membuat Molly senang, dan bukan uang lah yang membuat kami tersenyum. Perhatian dan kata-kata nenek tua itu lah yang membuat kami mulai merasakan penderitaan kami dengan cara berbeda.
Wanita tua itu jelas sangat menderita selama bertahun-tahun. Perhatiannya kepada kami, terutama kepada Molly, yang tidak lain adalah orang asing, mengajarkan kepada kami rasa kepedulian bahwa dia juga berempati dengan penderitaan kami.
Tangan yang cacat dengan bentuk yang tidak enak dipandang tersebut telah menjadi sentuhan yang menyembuhkan bagi kami. Kami disadarkan bahwa kami tidak harus melewati masa-masa sulit macam ini sendirian.
Ada begitu banyak yang peduli dan siap membantu kami. Kami merasa dikuatkan, diteguhkan dan lebih bisa menjalani hari itu dengan pikiran-pikiran yang jernih dan membahagiakan.
Aku tidak akan pernah melupakan sentuhan tangan yang berbentuk aneh itu. Bahkan dengan penderitaannya, nenek tua itu mengajarkan satu pelajaran penting: di sekitar kita ada begitu banyak orang yang peduli dan siap membantu.
Bahkan mereka yang lebih menderita sekalipun tidak segan-segan mengulurkan tangan untuk kita. Tangan yang menyentuh tangan Molly waktu itu masih di sana.
Dan sekalipun Molly tidak lagi bersama kami, aku bisa melihat bahwa tangan tua tersebut sekarang membimbing Molly. Mereka berdua dipenuhi dengan senyum dan tawa bahagia.
Aku yakin, surga sekarang ditambahi kedua malaikat itu, dan pelajaran yang aku peroleh waktu itu, masih tertanam kuat-kuat di dalam hatiku.
Catatan ini ditulis oleh Tim Reynolds yang kehilangan putrinya karena kanker ganas.
***
Tertarik dengan seri Chicken Soup for the Soul sebelumnya?
- Seni Poligami sebagai Sarana Mengurus Jiwa
- Kisah Brooklyn Bridge yang Dibangun Hanya dengan Satu Jari!
- Cinta dalam Satu Helai Kumis Harimau
- Sang Pencuri Pembawa Panji Kemenangan
- Semua Ada Maksudnya
- Sebuah Pelajaran untuk Guru*
- Yang Mengejutkan, yang Menyenangkan
- Ketika Murka Meraja Lela
- Manusia Tanpa Kemanusiaannya Jauh Lebih Rendah Daripada Binatang!
- Persembahan Cinta
- Pedulikah Kita pada Mereka yang Cacat dan Malang?
- Pa, Kapan Jari-jariku Tumbuh Lagi?
- Penipuan Berkedok Pelelangan
- Perihal Rontoknya Mental Musuh
- Belajar Hal Yang Tidak Dipahami
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H