Debat pertama tadi malam menyisakan dua catatan pokok. Ini lah yang hendak saya bagikan.
Debat dalam format relasionalitas
Mengikuti debat Capres dan Cawapres dari dua kubu (Pra-Hara vs. JKW-JK) melalui tayangan live TV menjadi satu pengalaman yang luar biasa. Dari sisi mekanismenya, saya melihat format yang dipilih KPU sebenarnya sangat “ramah” dan “tidak menegangkan” sama sekali. Mengapa demikian? Tipe masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan relasionalitas, bukan rasionalitas individualistik, sangat tepat dengan model dan format debat macam itu. Bandingkan dengan gaya debat Capres di Amerika. Dalam memori saya, menyaksikan debatMcCain vs. Obama (2008) menciptakan ketegangan yang sangat tinggi. Waktu tayang dibuat seketat mungkin. Kesempatan berpikir untuk menjawab pertanyakan “dadakan” sangat pendek. Berbagai kemungkinan bisa terjadi, termasuk munculnya pertanyaan yang paling sensitif dan hendak disembunyikan sekalipun.
Masyarakat Indonesia mengedepankan relasionalitas, atau sikap tepo selira. Masyarakat kita lebih memilih untuk menyediakan waktu untuk berpikir. Waktu yang diberikan untuk masing-masing calon cenderung luas. Untuk menghadirkan sesuatu yang konseptual, disediakan waktu maksimal 6 menit. Distribusi waktu selebihnya disesuaikan dengan kompleksitas pertanyaan. Saya secara pribadi sangat menikmati distribusi waktu seperti ini. Sebagai bangsa, kita bisa menikmati waktu untuk berpikir, dan pada waktu yang sama disediakan jeda. Ini merupakan alokasi waktu yang sangat murah hati, dan sekaligus manusiawi. Setidaknya, itu yang saya tangkap pada debat perdana tadi malam. Apakah ciri-ciri yang sama akan muncul di debat-debat selanjutnya? Kita tunggu saja. Terlepas dari itu semua, untuk debat pertama tadi malam, saya salut atas kinerja KPU.
Kapasitas manusiawi
Sebagai warga negara Indonesia, saya sangat beruntung menyaksikan pertarungan antar dua kubu. Di satu sisi, dua sosok Prabowo-Hatta menghadirkan diri mereka dengan kekhasannya. Saya harus berani mengakui bahwa Prabowo merupakan sosok dengan kecerdasan retorika yang mumpuni. Sekalipun ada waktu-waktu ketika beliau dinilai terlalu sibuk menjelaskan masa lalunya (terkait raibnya 13 aktivitas pada tahun 1998), gaya beliau dalam menempatkan persoalan HAM cukup “mengagumkan” bagi orang-orang yang sejauh ini hanya tahu sedikit tentang persoalan ini. Betul bahwa beliau terkesan berapi-api, bahkan agak lepas kendali, namun dengan menantang JK untuk langsung menanyakan ke para atasannya tahun 1998 silam, beliau bisa melewatkan persoalan yang paling sulit ini dengan cukup elegan.
Di lain pihak, dua sosok JKW-JK justru menghadirkan penggambaran yang sangat berbeda. Kata-kata yang dipilih sederhana. Tidak menghadirkan interpretasi terlalu rumit bagi pemirsa. Tidak salah bila bahasa yang dipakai dalam hidup keseharian memang lebih mengena bagi kalangan rakyat kebanyakan (grassroots). Ini lah yang membuat saya sungguh jatuh hati. Sebenarnya, beberapa waktu lalu saya sendiri sempat kecewa dengan JKW. Beliau dihadirkan di Metro TV dalam acara temu capres. Saya menjumpai JKW yang “cenderung mutar-mutar” saat berbicara tentang pendidikan. Saya memang akhirnya menghibur diri, JKW memang “a guy speaking with data.” Ya, beliau adalah sosok yang sangat mantap saat berbicara tentang 13 sungai yang membelah kota Jakarta. Beliau juga sangat mahir dalam bernegosiasi. Kawasan kumuh yang tidak tersentuh selama beberapa generasi berhasil beliau “sulap” hanya dalam tempo kurang dari dua tahun. Berbagai terobosan pengentasan kemiskinan dan sapaan bagi mereka yang termarginalisasi bisa mengubah wajah Jakarta. Revolusi mental bukan hanya bualan kosong, tetapi sungguh telah mendarah-mendaging dalam diri JKW.
Berakhirnya era great leaders
Warren Bennis, seorang otoritas dalam leadership, mencatat berakhirnya era pemimpin besar yang mengeksploitasi retorika (kepandaian berpidato). Great leaders telah hilang ditelan jaman, karena sekarang masuk jaman accountability era. Era sekarang ini ditandai dengan semakin terbukanya informasi, di mana masyarakat tidak mau membiarkan diri dibodohi dengan klaim-klaim dan slogan-slogan normatif. Kepemimpinan recursive yang bercirikan integritas (satunya kata dan perbuatan) memiliki kekuatan menggerakkan. JKW lahir dan tumbuh besar dalam kemiskinan, dan kemudian tumbuh dalam kepemimpinan dengan cara merangkak dari bawah. Dalam istilah Zalesnik, JKW merupakan twice-born leader – sosok yang dilahirkan dua kali melalui berbagai kesulitan hidup. Beliau dibentuk, diperkuat, dan diperkaya, bahkan melalui berbagai black campaigns. Beliau adalah inspirasi bagi kita yang memperjuangkan kebenaran. Jelas, JKW-JK merupakan pilihan tak terbantahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H