Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

2016 Sebagai Tahun Berkat?

2 Januari 2016   20:10 Diperbarui: 2 Januari 2016   20:10 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Shawn Achor (2011) dengan tegas mengingatkan, bila kita mau sehat secara mental, bentengi diri dengan berbagai hal positif. Jangan biarkan diri terjebak ke dalam berbagai negativitas. Berpikir positiflah. Paus Fransciscus, dalam pesan Tahun Baru 2016, menyatakan bahwa sekarang waktunya untuk merayakan banyak hal yang baik. Insan media: jurnalis, pemred, editor, dan ilustrator, diharapkan untuk lebih banyak menampilkan berbagai hal positif. Revolusi mental, salah satunya, bisa ditempuh melalui “publikasi hal-hal baik.” Hal baik bisa disampaikan dalam banyak cara. Bagi saya, cerita adalah pintu masuk luar biasa. Berikut ini saduran dari cerita yang ditampilkan oleh Noa Baum – pencerita yang begitu lincah mengaduk-aduk perasaan. Ketika dunia dipenuhi dengan kecurigaan antar penganut agama, kita perlu mendapatkan energi positif dari cerita. Cerita di bawah ini menegaskan betapa keberagaman agama sesungguhnya bukan alasan untuk bertikai, justru karena kita adalah sama. Kita adalah saudara. 

“A Father’s Gift.”

Bilal tumbuh besar di Lahore, provinsi Punjab Pakistan. Ketika dia masih kecil, perang India dan Pakistan sedang terjadi. Kepada ayahnya, dia bertanya, “Mengapa ada kebencian di antara orang-orang Muslim dan Hindu?”

Sang ayah menyahut, “Saat dirimu telah cukup besar untuk memahaminya, akan aku jelaskan kepadamu.”

Beberapa tahun kemudian, ketika Bilal berusia 13 tahun, ayahnya mengajaknya berkunjung di rumah sang kakak di bagian utara kota. Bilal sangat menikmati kunjungan semacam ini. Pamannya (kakak dari sang ayah) memiliki rumah yang paling menyenangkan yang bisa dibayangkan. Rumahnya dibangun mengelilingi sebuah halaman. Di tengah-tengahnya halaman terdapat air mancur yang indah. Semua ruangan di rumah itu, semua pintu dibuat mengarah langsung ke halaman dengan air mancur tersebut.

Bagi Bilal, yang paling menyenangkan dari rumah pamannya itu adalah pohon beringin di belakang rumah. Bersama kakak-kakak sepupunya, Bilal akan menghabiskan waktu berjam-jam di atas pohon. Di atas pohon itu, mereka bergelantungan, untuk berbagi cerita dan berbagi tawa.

Begitu sampai di rumah yang dituju, kedua kaki Bilal segera saja siap untuk membawanya ke pohon yang dirindukan tersebut. Namun seruan dari sang ayah menghentikan langkahnya.

“Bilal, kini waktunya ayahmu menjawab pertanyaanmu.”

“Pertanyaan apa?”

“Ayo kemari!”

Ayahnya menggapai tangan Bilal dan mengajaknya ke lantai atas, tepatnya kamar yang khusus untuk menyimpan berbagai benda pusaka. Para sepupunya cenderung menghindari ruangan itu. Mereka menyebutnya Kamar Berhantu – justru karena kamar itu hampir tidak pernah dibuka. “Ayah, aku tidak mau ah …”

“Tidak ada apa-apa. Ada sesuatu yang hendak aku tunjukkan padamu. Ayo.”

Ayahnya memutar kenop pintu, dan membawanya masuk ke dalam ruangan. Ayahnya menarik tali untuk menyalakan lampu gantung. Ruangan itu berdebu dan gelap. Ada furnitur tua di ruangan itu. Ada juga senapan tua dan helm perang dunia yang dimiliki almarhum kakek. Ayahnya menuju sebuah kotak kayu, membukanya, dan mengambil buku besar, yang dijilid dengan kulit.

Katanya kepada sang anak, “Bilal, ini adalah Bahi kita, buku sejarah keluarga. Buku sangat tua. Diwariskan dari generasi ke generasi, kepada tiap anak tertua dalam keluarga. Ini lah alasan mengapa buku ini ada di rumah pamanmu, karena dia adalah anak tertua. Aku mau dirimu membaca-baca buku ini. Namun, berhati-hatilah. Buku ini sudah sangat tua.”

Bilal membuka buku tersebut. Ada sejumlah halaman yang kosong. Ada satu halaman dengan nama-nama – kurang lebih jumlahnya sepuluh lembar. Dia mengenali namanya sendiri, Bilal Ahmed Sahi, di samping saudaranya Jamal dan saudarinya Sarah. Ibunya, Naeema Cheema Sahi, dan ayahnya, Gulam Ahmed Sahi. 

“Hei, ini kita!”

 “Benar,” ayahnya tersenyum. “Itu kita. Itu keluarga kita. Terus pelajari berikutnya.”

Dan dia pun mulai membuka halaman demi halaman. Ada kira-kira 10 nama dalam setiap halamannya. Dia menemukan nama-nama sepupunya, paman-pamannya, bibi-bibinya, orang-orang yang dia ketahui, orang-orang yang dia pernah dengar. Halaman demi halaman hanyalah nama. Tiba-tiba dia menemukan nama-nama itu berubah.

Dia pun membaca, “Sing Gurmeet Singh – Singh Gurmeet Singh Sahi? Ini bukan nama Islam.”

“Memang bukan,” kata ayahnya. “Itu kan nama Sikh. Mereka adalah keluargamu juga. Terus pelajari.”

Dan dia terus membuka-buka halaman demi halaman. Kertasnya sudah begitu tua, sehingga hampir robek ketika jari-jarinya menyentuhnya.

Dan tiba-tiba, dia membaca, “Anil? Apa itu?

“Ini nama Hindu!”

“Hindu!!!”

“Ya, dan mereka adalah keluargamu juga. Terus pelajari.”

Dia pun tetap membuka-buka halaman demi halaman. Setelah beberapa lama, tidak ada lagi kertas. Namun yang tersisa adalah parchment. Sesudah beberapa lama, dia sama sekali tidak memahami tulisan tangan atau bahasa di sana.

Dia memandang ayahnya, dan berkata, “Aku tidak tahu. Apa ini artinya?

Ayahnya menjawab, “Kamu bertanya tentang kebencian kan? Ingat? Aku ingin kamu melihat ini. Aku ingin dirimu melihat Tuhan hidup dalam segalanya. Dan jangan pernah membiarkan orang lain benci satu sama lain, karena kamu tahu, mereka semua ada dalam buku ini – Muslim, Sikh, Hindu, Kristen, dan Yahudi. Mereka adalah keluarga kita.”

Ketika Bilal berusia 13 tahun, apa yang bisa dia pikirkan adalah bagaimana dia bisa segera keluar dari ruangan gelap dan pengap, agar bisa segera bergabung dengan para sepupunya bergelantungan di pohon beringin.

Bertahun-tahun lewat. Bilal meninggalkan Pakistan. Akhirnya, dia menjadi seorang dokter, menikah, dan memiliki tiga anak. Tinggal di Rochester, New York. Kurang lebih sebelum dua tahun sang ayah meninggal, Bilal mendengar berita tentang The National Geographic’s Genome Project. Proyek ini memungkinkan orang-orang untuk mengirimkan sampel DNA mereka. Mereka akan menganalisisnya, dan mereka akan mengirim peta yang menyusuri perjalanan para leluhur mereka sepanjang sejarah. Jika anda ingin, anda juga dapat mengetahui siapa, yang masih hidup di dunia ini, yang secara genetis bersaudara dengan anda. Jelaslah, ada penanda khusus yang unik pada kelompok-kelompok populasi tertentu, dan jika penanda anda sesuai dengan penanda dari orang lain, mereka bersaudara secara genetis dengan anda, dan Proyek akan mengirimkan email kepada kelompok populasi tersebut.

Bilal hendak menghargai ingatan akan ayahnya, yang juga tertarik dalam genealogi dan sejarah. Dia pun mengirim peralatan untuk proyek tersebut. Ayahnya pun mengambil cairan ludah, dan menempatkan dalam botol kecil, dan memberinya nomor. Tanpa dinamai sama sekali.

Beberapa minggu kemudian, hasilnya pun tiba. Ada peta besar yang mencakup seluruh dunia, memberikan jejak-jejak perjalanan para leluhurnya. Dan seperti masing-masing dari kita semua yang ada di planet bumi ini, semuanya berasal dari Afrika. Dari sana, mereka bermigrasi selama ribuan tahun ke Ukraina, Denmark, Polandia. Kurang lebih tahun 5000 yang lalu, mereka bermigrasi ke daerah yang disebut India. Pada tahun 1000 tahun berikutnya, mereka bertempat tinggal di daerah yang sekarang ini disebut Pakistan.

Selama beberapa minggu berikutnya, sejumlah email segera berdatangan. Email yang berasal dari saudara-saudara genetis.  Dia menerima email dari seseorang bernama L. Freiberg. Email yang lain dari seseorang bernama David Barry Baum. Yang lain dari Maurice Krasnow, Clayton Schultz, Jack Salztein, Ed Leviten. Tampaknya, menurut hasil analisis DNA, kerabat genetik yang paling dekat dengan Dr. Bilal Ahmed, Muslim Pakistan, adalah Yahudi dari sebuah desa kecil di Polandia Timur.

Dengan ini pula dia ingat. Dia berpaling kepada putrinya yang berusia 13 tahun, dan berkata, “Kamu tahu, ketika aku seusia dirimu, ayahku membawaku ke rumah paman dan menunjukkan Bahi kita, buku sejarah keluarga.” 

Dan dia pun menceritakan apa yang dialaminya puluhan tahun silam. Dia ingin anak-anaknya senantiasa mengingat apa yang dikatakan kakeknya: “Jangan pernah membiarkan siapapun mengajarimu untuk membenci siapapun, karena kamu bisa melihat, mereka mereka semua di sini – mereka adalah keluargamu.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun