Oleh Sirilus Aristo Mbombo
Jam menunjukan pukul 12:00. Waktu terus berpola tanpa henti. Angin terus berhembus dalam ruang kehidupan. Namun kota ini terasa sangat hampa. Kota ini terasa tidak bermakna jika manusia hidup seperti ini saja, manusia hidup tanpa membuat sepenggal makna baru, tanpa membuat jejak kaki yang membekas di lumpur kehidupan agar dunia mengetahui jejak kaki siapa hari ini. Dunia bertanya-tanya jejak kaki manusia mana ini? Jejak kaki petani, pedagang atau jejak kaki para pecandu intelektual? Dunia akan melihat perbedaan diantara beribu jejak kaki petani, pedagang dan jejak kaki para intelektual.
Jika jejak kaki para intelektual sama dengan jejak kaki para petani lantas mengapa disebut intelektual? Lebih pantas dan terhormat disebut petani dan pedagang dibandingkan sebutan untuk para intelektual. Jika dirimu dikenal dengan sosok intelektual bercerminlah agar dirimu memantulkan cahaya intelektual. Jika dirimu intelektual tetapi memantulkan cahaya petani, pedagang lantas sebutan apa yang pantas dan terhormat bagi dirimu? Jika dirinya petani dan pedagang tetapi mampu memancarkan cahaya intelektual itu yang diharapkan dalam ritme kehidupan zaman ini. Inilah cerminan jati diri manusia yang sesungguhnya dalam siklus kehidupan.
Di sebuah rumah mewah ada beribu pasangan semut yang sedang berjalan tak tau arah di lantai rumah itu. Apa tujuan dari perjalanan semut-semut itu? Entakah semut-semut itu berjalan mencari makan dalam sehari atau mencari makan untuk kenyang setahun bahkan bertahun-tahun. Kita hanya menaruh kecurigaan mendalam dengan keberadaan semut-semut itu. Â Semut yang dijuluki sebagai kepala dan pemimpin, nyatanya memimpin sesama semut yang lain tanpa arah dan tujuan yang pasti. Sesama semut yang lain bertengkar karena kemelaratan dan kemiskinan dalam hidupnya. Sesama semut yang lain bertengkar dan saling membunuh karena kekurangan makanan dan kesejahteraan. Sesama semut yang lain pula memberontak ingin hidup sendiri dan melepaskan diri dari pemimpin yang buruk itu yang tidak dapat menjamin kesejahteraan bagi semua bangsa semut yang ia pimpin. Semua kehidupan bangsa semut kelihatan dalam ancaman serius akan konflik dan perpecahan. Lantas dimana gagasan intelektual sang pemimpin? Pemimpin yang katanya intelektual, pemimpin yang katanya bijaksana tetapi mengapa masih ada diskriminasi dan pemberontakan dalam kehidupan bangsa semut? Hal ini nyata bahwa ada yang tidak benar di balik kerangka isi otak pemimpin bangsa semut. Â Hal ini nyata pula bahwa pemimpin bangsa sang semut bukan seorang intelektual dan bukan seorang yang bijaksana. Semuanya hanya bersembunyi di balik angan-angan ketidakpastian. Semuanya hanya bersembunyi di balik batu-batu sandaran. Semua warga semut menduga dan bertanya kapan batu sandaran itu akan runtuh. Semuanya hanya tentang waktu yang belum menjawab secara pasti.
Dan di sisi lain semua semut terus menyibukan diri dengan perjalanan yang mereka tempuh. Entahkah mereka mencari makan atau mereka mencari kawan untuk saling berpautan lalu terus berjalan tanpa arah dan tujuan yang tepat karena pemimpinya yang buruk dalam memimpin.
Apakah manusia jauh berbeda dari kehidupan semut? Ataukah sebagian manusia sama dengan semut yang hidup tak tau arah dan berusaha untuk saling berpautan, saling merindukan, lalu berjalan tanpa arah? Hidup zaman ini terkesan nyata banyak manipulasi, banyak propaganda, banyak kebusukan yang belum terungkap secara nyata. Apakah manusia membutuhkan pemimpin dalam dirinya ataukah dirinya yang memimpin keberadaan dirinya? Itu menjadi pertanyaan eksistensial manusia dewasa ini. Zaman ini kelihatan sangat tampak manusia hidup dalam krisis sosok pemimpin dalam dirinya yang membawa hidupnya ke arah dan tujuan yang jelas. Semua persoalan ini kembali pada gagasan dan pola pikir manusia tentang keberadaan dirinya sebagai manusia.
Di samping teras rumah mewah itu nampak ada seorang pemuda berumur 20-an tahun sedang duduk di sofa sambil mengscroll handphone-nya tanpa henti dan mengabaikan sebuah buku di hadapannya. Buku yang dikenal di zaman klasik sebagai gudang ilmu, zaman ini buku ibaratnya dikenal dengan kuburan karena ilmunya telah lama mati dikubur tanpa dibaca oleh manusia. Manusia zaman ini enggan membaca buku dan menjadikan handphone-nya prioritas utama dalam hidupnya. Manusia zaman ini mengabaikan buku-buku yang menyimpan segudang ilmu yang membawa pencerahan dalam memahami ilmu kehidupan. Inilah salah satu kegagalan di masa depan dan membutuhkan pembaharuan jati diri manusia secara konkret.
Zaman ini hadirnya gadget dalam bentuk handphone menjadi alat komunikasi yang optimal tanpa mengabaikan banyak sampah dalam bentuk entertainment atau hiburan semata. Â Banyak waktu yang diluangkan tanpa makna bagi handphone. Zaman ini manusia diperbudak oleh handphone. Zaman ini handphone membuat manusia bisu dan diam seribu bahasa dalam setiap perbincangan. Handphone menjadi sampah bagi ide dan gagasan jika handphone tidak digunakan untuk hal-hal positif dalam menemukan gagasan-gagasan baru yang memenuhi ruang kosong di balik isi otaknya. Zaman ini tampak adanya kehancuran masal di masa depan.
Cerita berlanjut, disamping pemuda yang sedang mengscroll handphone tanpa henti tiba-tiba ia hanyut dalam kecemasan dan berpikir tentang masa depan yang tak tau arah. Pemuda itu pun sadar dan meletakan handphone-nya dan membaca salah satu buku di hadapanya. Seiring waktu berjalan ia pun menyadari bahwa semua isi dan ilmu buku itu sudah menyelinap masuk di isi otaknya. Pemuda itupun menyadari bahwa ada kenikmatan sejati dari ilmu pengetahuan. Pemuda itu berniat untuk berpacaran dengan buku dan mengandung ilmu pengetahuan selama hidupnya.
Dan isi buku itu secara sederhana mengisahkan tentang makna hidup menjadi seorang pejuang di medan pertempuran yang sangat menantang bagi dirinya. Ketika pejuang itu tidak membunuh musuhnya maka musuhnya akan membunuhnya. Maka seorang pejuang itu hidup dalam dilema akan keselamatan hidupnya. Pejuang itu akhirnya memutuskan untuk membunuh musuhnya dalam mempertahankan hidupnya. Dikisahkan bahwa pejuang itu terus berjuang dengan taktik dan kemampuan yang ia miliki hingga memenangkan pertempuran itu tanpa cacat apapun dengan membawa kemenangan. Dan pejuang itu berpesan kepada manusia zaman ini agar manusia zaman ini mampu membunuh kebodohan, kebohongan, kemunafikan, keegoisan, keserakahan, dan semua problem lainnya agar manusia mampu melanjutkan misi hidup ke tahap yang akan datang. Lantas apa yang manusia pikirkan di balik kerangka isi otaknya jika tanpa aksi konkret dalam kehidupannya? Apakah manusia hanya ditakdirkan sebatas berpikir tanpa aksi? Saatnya manusia membutuhkan perubahan dari dalam dirinya.