Mohon tunggu...
Dewi 237
Dewi 237 Mohon Tunggu... pegawai negeri -

I looooveee,,,MYSELF

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengalaman Menjadi Tim Hore Sosialisasi Calon Kepala Daerah

13 Mei 2014   21:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:32 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menonton Mata Najwa  Rabu (7/5/14) edisi Jokowi dan Ahok membuat saya terpesona. Sama terpesonanya saya saat menonton Najwa mewawancarai Bupati Bantaeng, Walikota Bandung, KPK, dan narasumber keren lainnya. Ini bukan karena saya kader/simpatisan PDIP atau Gerindra, pendukung, kenal langsung, apalagi saudaraan sama beliau berdua. Bukan karena orangnya, tapi karena nilai-nilai (yang menurut saya) positif yang mereka citrakan pada pemirsa televisi. Bagaimana kompaknya mereka dengan segala perbedaan yang melekat adalah pemandangan yang indah. Bagi saya, tidak tampak kepalsuan pada setiap statement yang mereka sampaikan karena semuanya terlihat simple dan apa adanya. Entah ini hanya sekedar gimmick, kampanye terselubung, atau taktik PR mereka yang OK punya.

Saya jadi teringat peristiwa yang kontra dengan nilai-nilai kepemimpinan jokohok. Tahun 2004 yang lalu suami teman saya maju menjadi calon wakil bupati di sebuah kabupaten di Sumbagsel mendampingi calon bupati yang berlatar belakang birokrat selama puluhan tahun. Karena waktu itu saya gak ada kerjaan jadi mau-mauan lah saya diajak teman saya itu sowan ke desa-desa yang nun jauh disana untuk program sosialisasi alias perkenalan cabup dan cawabup. Saya bukan timses lho. Saya ikut blusukan sekedar nemenin teman saya tadi biar dia ada temen ngobrol menyalurkan kekoplakan setelah berjam-jam berjaim ria. Lumayan banyak pengalaman yang saya dapat, mulai dari serunya mobil yang kami tumpangi nyaris nyemplung ke sawah karena jalannya licin berlumpur, pecah ban di jalan sepi di daerah yang terkenal rawan pembegalan, hingga rajinnya saya mengikuti pengajian ibu-ibu nyaris dua hari sekali di tempat yang berbeda-beda. Padahal kalau dirumah belum tentu sebulan sekali saya ke masjid!!!

Saya gak paham apa yang melatarbelakangi pasangan calon kepala daerah itu untuk maju bersama. Apakah mereka seideologi atau sepaham ingin memajukan daerah atau apa saya gak tau. Jadi saat sosialisasi dan kampanye mereka mulai berkonflik, saya jadi bingung. Namun akhirnya mereka memenangi pilkada satu putaran. Gesekan pun tiba-tiba hilang, berganti dengan euphoria kemenangan. Masa pelatikan yang dinanti merubah wajah-wajah pasangan kepala daerah dan tim sukses pada sumringah secerah matahari yang bersinar jam 7 pagi,,hangat dan tidak menyilaukan gituh. Namun hal tersebut tak berlangsung lama, konflik pecah kembali. Salah satu kejadian yang saya ingat adalah acara pelantikan pejabat struktural yang telah disetujui oleh bupati namun akhirnya dibubarkan pada hari-H oleh wakil bupati. Alasan sang wabup, acara pelantikan menyalahi aturan dan dia kecewa karena pihaknya tidak diinformasikan tentang mutasi/pelantikan pejabat berbagai eselon tersebut. Maka, makin renggang lah hubungan keduanya hingga membuat para pejabat bingung harus loyal pada siapa. Begitu pula dengan ibu-ibu PKK/Dharma Wanita nya, gang-mengegang pun tak terelakkan.

Singkat waktu berakhirlah masa jabatan pasangan ini dan masing-masing memilih untuk maju kembali menjadi calon orang nomor satu dengan pasangan yang berbeda. Beda dengan penghormatan Ahok pada Jokowi di Mata Najwa yang bilang dia akan mundur jika 2017 Jokowi memutuskan untuk berganti pasangan sebagai kepala daerah DKI. Lalu incumbent bupati menang satu putaran. Tak lama kemudian timbul konflik dengan pasangan yang baru. Lalu sang Bupati masuk penjara karena kasus korupsi dan gratifikasi, dan sang wabup naik tahta. Perombakan kabinet pun terjadi dimana pejabat-pejabat yang loyal dengan bupati sebelumnya dimutasi di tempat yang jauh dan “berlahan kering” dan ada pula yang non-job alias kembali jadi staf. Ntah apa yang akan terjadi bila bupati ini mencalonkan diri lagi dengan pasangan yang baru dan berkonflik lagi. Ampe kiamat juga gak bakal maju dan sejahtera rakyatnya kalo model pemimpinnya begitu terus.

Saya jadi berandai-andai bila jokohok sudah tak berminat dengan kursi di DKI atau RI sungguh senang rasanya jika jokohok turun kasta jadi bupati/wabup di kabupaten tersebut. Walau dibilang nyaris ga mungkin, yaa mimpi dan berdoa saja dulu, mana tau Yang Maha Kuasa kasihan. Hihihi

Baiklah, selamat siang semuanya. Selamat menikmati under-maintenancenya Kompasiana.

Salam 18++

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun