Senja hampir tiba, sepulang meliput berita UN di Kecamatan Palibelo. Sambil menikmati suasana sore itu, arah motorku sengaja kulewati jalur pinggir pantai. Ada hal yang menarik dan begitu kontras di pinggir laut yang ku lalui. Sebuah pemandangan akan gubuk reot, yang ternyata berpenghuni. Pasangan suami istri (Pasutri) warga Desa Talabiu ini, terlihat tua renta namun tak patah arang dalam melakoni hidupnya. Di tengah himpitan ekonomi yang tak pernah lepas dari hidupnya, keduanya tak pernah menyesal akan susahnya kehidupan mereka. Untuk tetap bertahan dan menikmati hidup di masa tua, kendati harus tinggal di gubuk usang pun halal adanya. Wajah sumringah penuh senyum, mereka tunjukkan itu ketika pewarta Kahaba menghampiri kehidupan mereka. Optimis dan perjuangan, itulah hikmah catatan Potret Bima dari cuplikan kisah nyata yang dirilis pewarta Kahaba, Bin Kalman.
***
Jika hendak menuju Bandara Sultan Muhammad Salahudin Bima, dari arah terminal Kota Bima, menggunakan lajur bawah pas di Desa Panda, gubuk reot milik pasangan suami istri, Ishaka (55) dan Rugayah (50) tampak seperti bukan tempat yang layak di huni. Bahannya dari bambu dan kayu bakau, tak ubahnya tempat berteduh sementara dari teriknya mentari. Tapi, ternyata itu tempat huni permanen, dengan dinding yang rapuh, dan hanya berlantaikan pasir dan air laut. Kedua pasangan renta itu telah bertahun-tahun berhuni di gubuk reot itu.
Terlintas, saya tidak percaya dengan keadaan gubuk itu sebagai tempat tinggal permanen. Namun, setelah mendengar cerita pilu dari Pak Ishaka, mereka sudah bertahun-tahun hidup di sana. Beralaskan tempat tidur usang seadanya, hidup dalam ancaman penyakit, dan sangat kumuh, semakin menaruh rasa iba terhadap mereka. Hidup mereka kian susah kian harinya. Bergantung pada penghasilannya di laut, cara mereka melanjutkan kehidupan.
“Kita tinggal di sini sudah puluhan tahun, nak. Hidup dan mencari nafkah dengan mencari ikan di laut,” ujar Rugayah dengan bahasa lokal memotong pembicaraan saya dengan Pak Ishaka, sembari membenarkan sejumlah kayu pada dinding gubuknya.
Sebelum memutuskan tinggal di pinggir laut, Rugayah mengaku, tinggal di rumah salah satu anaknya di Desa Talabiu. Karena merasa tak enak, mereka akhirnya memilih pindah dan membangun gubuk di pinggir pantai. Untuk bertahan hidup, sehari-hari hanya bisa mengandalkan dari ikan bandeng yang di cari menggunakan jaring di sekitar pantai. Jika ada, maka akan dijual di pinggir jalan, di depan tempat tinggal mereka. Kebutuhan akan beras dan yang lainnya, selain mendapatkan bantuan dari orang-orang yang lewat, juga dibeli dari hasil penjualan bandeng.
“Jika beruntung, sehari kita bisa dapat sekitar 30 ekor bandeng. Tapi jika sepi, hanya beberapa ekor saja,” keluhnya.
Untuk mendapatkan air bersih pun mereka mengaku kesulitan. Terpaksa, untuk bisa mendapatinya, Ishaka harus menaiki bus yang lewat dan membayar ongkos Rp 2 ribu rupiah hingga tiba di Desa Talabiu. Memiliki tempat tinggal, bukan lantas mereka bisa tidur nyenyak. Setiap malam, jika air laut pasang, maka akan menggenangi tempat tidur mereka yang hanya menggunakan alas kasur yang sering dikenal serangge. Dan ketika tempat tidur mereka tergenang air laut, mereka harus menggelar tikar, dan melanjutkan tidur di pinggir jalan raya.
“Mau tidur di mana lagi, kalau gubuk digenangi air laut, kami gelar tikar dan tidur di pinggir jalan raya,” tutur Ibu paruh baya, dari empat orang anak ini.