Aku anak jujur, tak suka berbohong.Â
Aku anak jujur tak suka omong kosong Â
Aku anak jujur, terus terang bila bertutur.Â
 Aku anak jujur mohon maaf bila terlanjur  ---Pemi Ludi-
Nada polos itu terlantur lugas dari bibir para anak kecil yang belum mengerti beratnya menjadi jujur. Sebuah tanda kemurnian para penerus bangsa kelak. Oase yang menyegarkan ditengah teriknya suasana kejujuran di negeri ini. Optimisme besar bagi para pendahulu yang ingin melihat Indonesia dipegang orang orang jujur di masa depan.
Gerakan berani jujur memang terus digalakkan oleh pemerintah sebagai upaya membasmi ketidakjujuran yang mewabah di tiap generasi di Indonesia. Gerakan tersebut bersambung dengan sambutan baik banyak kalangan. Apakah berhasil?, aku rasa masih jauh dari kata berhasil. Masih terus terjadi ketidakjujuran yang sistematis dan multilevel dan belum menunjukkan sikap jera.Â
Tiap hari di media tak luput dari pemberitaan baik koruptor maupun praktik tidak jujur yang terasa tak habis untuk dikonsumsi. Sejenak terpikir bahwa apakah negeri ini separah itu sehingga tak mungkin untuk berubah, namun optimisme muncul ketika kita melihat ke sosok penerus yang masih murni, anak kecil.
Ya, disosok merekalah kita bergantung. Mereka adalah penyelamat bangsa di masa mendatang. Sosok yang belum terpapar oleh gelimang harta, tahta dan jabatan. Sosok yang masih murni dan setiap tindakannya masih jujur apa adanya. Namun, apakah kita berani jujur mengakuinya?, Pertanyaan tersebut harus berani kita iyakan karena tindakan kecil mengakui bahwa merekalah penerus bangsa sesungguhnya akan menjadi tonggak ukur kesuksesan bangsa ini kedepan.Â
Masih teringat beberapa bulan yang lalu sedikit tertampar oleh nasehat dari ponakan yang masih berusia 5 tahun. Dalam sebuah kegiatan bermain diteras dia sedang bermain memasukan bola ke keranjang. Hipotesis yang aku pikirkan bahwa anak kecil punya ego yang besar, Ada satu ketika bola lawan masuk di area keponakanku, lantas aku bilang "eh itu cepat diambil bolanya", dia menjawab "enggak boleh itu kan punya  dito, kata bu guru kita gak boleh ambil punya orang lain, kita harus jujur."Â
Sejenak pun aku malu dan terdiam. Permainan tersebut berlanjur dan mereka bedua bermain dengan sportif, mengambil puluhan bola yang berserakan dan memasukannya ke keranjangnya masing-masing tanpa ada kecurangan. Dan ketika dihitung anak kecil yang kalah mampu mengakui kekalahannya dan melanjutkan permainan.Â
Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa tindakan kecil yang mereka lakukan sebenarnya adalah sebuah bentuk nyata bahwa dunia dengan tingkat kejujuran tinggi itu bukan hanya idealisme kosong yang tak terwujud. Dunia itu ada dan bisa menjadi kenyataan dengan syarat lebih banyak aksi aksi kecil yang mendukung kejujuran itu sendiri.Â
Jika aksi aksi kecil tersebut kita kumpulkan secara kolektif dan dikomunikasikan secara meluas maka dampak besar akan segera terwujud. Mindset bahwa "AKU ANAK JUJUR" dan bangga akan hal tersebut akan menjadi katalis sistem kejujuran itu sendiri. Skala utama penentu kesuksesan aksi ini adalah keluarga. Karena jika tiap keluarga bisa menanamkan nilai dan konteks betapa besarnya manfaat dari kejujuran itu sendiri maka buah kejujuran itu dapat dipanen secara nasional.Â
Modal utama untuk mewujudkan itu semua cuma satu. Keberanian untuk mengawal aksi aksi kecil para penerus bangsa ini (Anak Kecil) dalam berucap, bertingkah dan berperilaku jujur agar terus membudaya di setiap keluarga di Indonesia. Jika hal tersebut dilakukan secara tersistem dan inklusif maka masa depan Indonesia untuk menjadi Bangsa yang besar dan bermartabat akan segera kita temukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H