Mohon tunggu...
Muhammad Badriansyah
Muhammad Badriansyah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menulis itu dapat majangin umur, meski umur pendek, tulisan tetap berbekas.\r\nHobi ini ditularin oleh temen, dan akhirnya ketagihan sendiri.\r\nasal tau saja, menulis memang menyenangkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan “Ilegal”

9 Januari 2014   21:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keluarga ku bukanlah tipe keluarga yang suka menghabiskan dengan traveling, terutama ayahku. Ia lebih senang menghabiskan waktu di rumah, meluangkan energi dengan taman di belakang rumah, memberi makan ikan, membersihkan pekarangan, mencuci mobil, di bandingkan dengan traveling ke tempat-tempat baru. Bukan karena ia membenci hal semacam itu, tapi lebih karena jumlah uang yang dikeluarkan.

“Masih banyak yang lebih penting dari hanya sekedar jalan-jalan”, bantahnya, secara tidak langsung, saat ibu atau saudaraku mengajukan perjalanan liburan saat liburan panjang tiba. Dan kami tidak bisa berbuat banyak, ia pemimpin nya bukan. Maka kami pendam jauh-jauh harapan tersebut, membuang, menghapus secara kejam. Selesai.

Beda sang ayah, beda juga sang ibu. Ibuku kebalikan dari ayah. Ia menyukai traveling, mengujungi tempat baru yang belum pernah dikunjungi sebelumnya, bertemu dengan orang baru, di tanah baru, mencoba masakan di tempat baru. Kurasa hobi ibuku menurun ke kami, anak-anaknya.

Dan, setelah kesekian kali “proposal” traveling kami di tolak oleh ayah, kami memutuskan perjalanan secara diam-diam. Hanya aku dan ibu saja. Adikku belum lah cukup untuk melakukan perjalanan panjang, berumur 1 tahun, sehingga di titipkan ke bibi Indah, adik ibuku, untuk dijaga beberapa hari. Kakak ku sudah menikah dengan pria idaman, begitulah katanya, seorang dokter mapan dan sedang hamil tua. Tidak memungkinkan untuk ikut perjalanan “ilegal” kami, meskipun ia tahu dan berjanji tidak akan bilang-bilang ke ayah.

“Ini Cuma perjalana dinas, tak kan lama, dan aku ingin mengajak Raken” bujuk ibuku. Karena ini perjalan dinas, tak banyak yang bisa dilakukan ayahkku. Diam sejenak lalu mengangguk tanda setuju. Ia memang tak banyak bicara seperti biasanya.

***

Perjalanan kami di mulai. Di pagi-pagi buta kami diantar ayah ke stasiun terdekat lalu mengucapkan pamit.

Satu jamberada di kereta, membuatku sangat excited, mengeluarkan kepala membiarkan angin menerpa muka coklat ku dan membentangkan tangan kiri selebar-lebarnya. Berusaha menggapai daun-daun kelapa yang tumbuh liar di pinggir rel kereta. Aku sungguh menikmati, dan aku tidak berbohong. Ini adalah pengalaman pertama dan masa bodoh dengan orang-orang yang melihat ku. Aku sedang liburan. Liburan yang “ilegal”.

“Hati-hati ken, kau tidak ingin terjatuh dari jendela kereta, bukan? Karena kalau itu terjadi, siapa yang akan membawa tas-tas ini”, ujar ibuku sambil terkekeh. Melihat ku sejenak dan kembali memalingkan muka ke buku catatan perjalanan yang ia tulis. Aku tidak terlalu mengubris buku coklat kecil itu, aku sedang menikmati liburan ini.

Kota yang kami tuju adalah bangka, dan tujuan pusat kami adalah Pantai Parai Tenggiri.

“Dulu saat masih kecil kami sekeluarga pernah ke pantai Parai itu, sudah 16 tahun tidak kesitu”, ujar ibu. Meski aku sendiri tidak tahu itu benar atau tidak, karena tidak ada foto atau dokumentasi bentuk apapun. Tapi siapa yang peduli, sekarang kami sedang menuju pantai tersebut.

Dari stasiun, kami beralih menggunakan bus, menuju hotel yang telah di booking ibu dua hari lalu. Hotel bintang 4, cukup berkelas, apalagi untuk aku yang tidak pernah menginap di hotel sebelumnya. Semua nya serba pertama bagiku. Hanya satu yang tak ku mengerti. Kenapa ibu tidak memilih hotel di dekat pantai.

“Kita akan menggunakan sepeda kesana, raken, itu lebih menyenangkan, tak jauh, hanya 1 km. Tidak akan terasa, besok kita baru kepantai. Sekarang istirahatlah dulu”, hibur ibuku.

***

Ibu pasti bercanda?! Ini baru pukul 5 pagi, bu!” protesku. Bagaimana tidak, dengan senyum yang mengembang, Ibu tega membangunkan ku dari tidur pulasku.

“Buat apa liburan jauh-jauh jika hanya menumpang di hotel untuk bangun siang, sayang. Bangun cepat”. Jawab ibuku dengan muka yang seolah-olah marah. Ia tidak pernah benar-benar marah padaku. “Kau pasti tidak akan menyesal, ayo kita lihat sunrise di pantai.” Ajak ibuku.

Tentu saja aku segera menyambut ajakan ibuku dengan cepat dan semangat. Meloncat, lalu sedikit membasuh muka, dan semua nya siap

“Kau bisa mandi di pantai, raken. Bergegaslah”.

***

“Ayolah, ibu takut kalah kan?” tantangku.

“Buat apa berlomba ke sana, kita sedang liburan, bukan di tengah perlombaan sepeda tahunan”, jawab ibu santai. “Kau akan menyia-nyiakan momennya, sayang”.

“Bilang saja ibu takut kalah, lagipula perjalanan kita lumayan juga, bu” teriak ku. Aku mulai mengayuh sepeda, tidak lambat, namun juga tidak terlalu cepat. Paling tidak cukup membuat ibuku ketinggalan beberapa meter dariku. Meski ngebut, aku berusaha menikmati momen-momen mengendarai sepeda seperti sepeda ontel ini, meski ku tahu bukan. Membiarkan angin lembut menghempaskan ke wajaku, menyisir rambut secara acak. Dingin dan sejuk, dan pastinya menyenangkan.

“Hey, jangan sampai tersesat”, teriak ibuku sayup-sayup. Sudah jauh ketinggalan di belakangku dengan muka yang sedikit menyeringai, berusaha membodohi. Bagaimana bisa tersesat, perjalanan menuju pantai hanya perlu lurus saja mengikuti jalan utama sekitar 1 km dan tiba di pantai. Itu mudah, tidak perlu peta apalagi GPS untuk membuatku tidak tersesat. Bahkan akan sulit untuk sengaja tersesat, haha.

***

Langit mulai terlihat sedikit memerah saat matahari mulai beranjak bangun dari tempat bersembunyiannya. Matahari baru setengah menampakkan diri ketika aku tiba di pantai. Rasa haus menghilang ketika melihat pemandangan yang begitu indah, angin yang menyejukkan, suara burung memeriahkan, dengusan ombak di pinggiran pantai, pasir putih yang menggelitik di kaki, suara ibu di belakang.

“Eh, dasar bandel, kau meninggalkan ibu.” protesnya dari belakang, gesit menjewer telinga kananku.

Aku benar-benar melupakan ibuku yang ketinggalan, dan rasa sakit di telinga. Perhatian ku benar-benar teralihkan, ke pantai di depanku. Pantai Parai Tenggiri, bangka. Mataku mencoba menyisir pinggiran pantai, terdapat batu-batu besar yang tertumpuk alami. Airnya yang jernih membuat bagian batu terlihat cantik di sinari cahaya matahari. Sungguh eksotik. Terdapat juga pasangan yang sudah tiba lebih dulu, bule-bule yang juga mulai berdatangan memenuhi pantai Parai Tenggiri. Siapa yang peduli.

Kami bermain air, berenang, lalu sarapan di resto terdekat dengan pantai. Menyeruput teh hangat yang kami pesan.

“Ayo, kita menyelam”, usul ibuku.

“Bagaimana bisa aku menolak, bu”, jawabku dengan antusias tinggi. Ini perjalanan ke pantai pertamaku, tak terbayangkan kalau mau menyelam, ku kira hanya sedekar berjalan-jalan di pinggir pantai.

Seharian kami memiliki menghabiskan di pantai eksotik ini, menyewa kapal nelayan, menyewa kacamata renang, lalu meluncur ke dalam air. Luar biasa indahnya. Beratus-ratus lipat indah daripada hanya melihat di layar tv atau dari hasil penelusuran google.

Pukul 15.00, kami baru pulang, dengan puas dan kulit yang sedikit terbakar, kembali ke hotel mengendarai sepeda. Kali ini lebih santai dan pelan, bukan karena kami kelelahan, tapi karena tidak ingin hari ini berlalu dengan cepat. Membiarkan angin berhembus pelan.

Ibu” ujarku pelan.

“Ada apa?”

“Aku .... akuu lapar”

“Kau mau garam?”

Seketika melirik ibuku, tak mengerti.

“Lihat kulitmu, sudah seperti cumi bakar, pasti enak ditamburi garam”, terusnya sambil terkekeh memegangi perut. Dia benar, kulitku sudah seperti cumi bakar, paling tidak, tidak gosong.

TAMAT

|Artikel ini diikutkan dalam mini kontes masroqib.com| link pengumuman

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun