"Diperkirakan seluruh Jakarta Utara di bawah permukaan laut pada 2030. Akibatnya saat tersebut 13 sungai yang melewati Jakarta tidak bisa alirkan airnya ke Teluk Jakarta," ujar Jokowi di Kantor Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (27/4/2016). (1)
Masih terngiang ucapan Bapak Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas membahas Reklamasi Teluk Jakarta pada 27 April 2016. "Data yang saya terima penurunan muka tanah di DKI sudah sangat mengkhawatirkan, rata-rata 7,5 cm sampai 12 cm," ujar pria yang akrab disapa pak Jokowi (2). Bahkan, beliau memprediksi, jika dibiarkan dan tak ditanggulangi, seluruh Jakarta Utara akan tenggelam pada 2030 mendatang.
 Namun, hal ini dibantah oleh calon petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, "Karena teori itu, masih berdebat. Ini karena ada teori yang mengatakan, dia akan turun, tetapi akan berhenti pada batas tertentu. Cuma, ada teori yang mengatakan, mungkin dia sampai 1 meter, kemudian dia akan berhenti. Namun, ada juga teori yang mengatakan enggak, akan terus," ujar Ahok.
Analisis lain berasal dari Kementerian Pekerjaan Umum yang memprediksi dalam jangka waktu 34 tahun ke depan wilayah Jakarta akan tenggelam. Prediksinya mengacu pada asumsi penurunan permukaan tanah rata-rata 16 sentimeter (cm) per tahun. Pada periode 2007-2008, kecepatan penurunan permukaan tanah di Jakarta berada pada rentang 1 hingga 26 cm.
Saat 2008, ketinggian tanah di Jakarta Pusat pada titik poin Monumen Nasional (Monas) hanya 4,9 meter di atas permukaan laut, sedangkan di daerah selatan mencapai 6,9 meter.
Dengan asumsi laju penurunan tanah 16 cm selama 34 tahun, pada 2050 semua wilayah Jakarta akan tenggelam.
Analisis tersebut bermuara kepada stigma tentang masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta yang masih sangat bergantung kepada penggunaan air tanah. Saat ini ada 12,5 juta jiwa yang membutuhkan air di Jakarta yang luasnya hanya 622 kilometer (km). Sementara yang bisa terlayani oleh air bersih lewat sambungan pipa perusahaan air minum (PAM) hanya 54 persennya saja. Masih ada sekitar 4,6 juta jiwa yang menggunakan air tanah.Â
Kebutuhan akan air tanah pun terbilang sangat penting dari permasalahan di atas karena air yang disediakan oleh PDAM terbatas pada waktu tertentu. Keterbatasa tersebut karena satu daerah dengan daerah yang lainnya harus bergantian untuk menerima air bersih yang dikirimkan oleh PDAM. Penggunaan kembali air sungai, air rawa, maupun dari laut masih menjadi sebuah wacana. Pilihan terakhir yang akhirnya dapat dipilih adalah penggunaan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.
Dampaknya banyak daerah rawan amblas di daerah Jakarta. Yang sempat mengagetkan publik di tahun 2010 yaitu amblasnya  Jalan RE Martadinata sepanjang 103 meter. Jalan di daerah Jakarta Utara ini, menurut Direktur Wilayah II Binamarga, Winarno, kemungkinan terjadi lantaran tiang pancang yang menjadi pondasi berada di tanah dengan kontur lunak sehingga mudah bergeser. Apalagi, ada pengerukan di laut yang menimbulkan abrasi sehingga jalan anjlok.Â
Masalah lainnya yang pernah menjadi sorotan publik antara lain banjir rob besar yang menenggelamkan jalan tol Bandara Soekarno-Hatta pada tahun 2008, jebolnya Situ Gintung setahun kemudian, dan tahun 2010 banyaknya tanggul jebol termasuk jebolnya tanggul penahan air sepanjang 115 meter di bantaran saluran Kanal Barat yang terletak di jalan Sultan Agung, Setiabudi, Jakarta Selatan. Â
Fakta lain yang membuat masyarakat Jakarta perlu waspada adalah miringnya Menara Syahbandar di Jalan Pasar Ikan Raya, Jakarta Utara yang mirip seperti Menara Pisa di Italia. Menara tersebut memiliki kemiringan hingga 5 derajat dari posisi semula. Hal ini menurut Ahli Geodesi Institut Teknologi Bandung, Bapak Hasanuddin Z Abidin disebabkan oleh tanah di wilayah Jakarta Utara, banyak mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi bahkan sejak 1974. Daerah ini diyakini sebagai daerah yang paling besar mengalami penurunan tanah. Besaran penurunannya mencapai 10 sentimeter per tahun.Â
Masih banyak permasalahan yang telah menjadi penanda di Jakarta yang membuat Ibukota Indonesia ini harus bersiaga terhadap bencana land subsidence atau penurunan muka tanah. Tentunya, kita harus sudah mulai siaga terhadap permasalahan ini.