Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ingatan di Musim Panas

24 April 2020   13:32 Diperbarui: 24 April 2020   13:36 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja adalah waktu yang tepat untuk mengenangmu, Mas. Namun, begitu ingatan itu berputaran aku tidak bisa menuliskan surat untukmu. Dua hari lagi adalah tanggal 26 April. Biasanya di tanggal itu kita merayakan suatu momen yang berharga. Berjemur di bawah terik matahari sambil sesekali bereksperimen membakar kertas.

Mas Fendik terkasih, di bawah terik matahari menjadi sesuatu yang amat menyenangkan untuk manatap wajahmu, tanpa bergumam. Ada ribuan rindu yang melelah dari kepala. Pori-poriku berembun, Mas. Kau tahu, di saat seperti itu kita telah kehilangan ion-ion dalam tubuh. Dan, kita hanya mampu memanfaatkan waktu sekadar bertatapan.

Aku menyukai musim panas, ketika kita duduk di sebuah perapian. Menciumi bau jalan dengan debu-debu yang berkeliaran. Aroma itu masuk dalam penciuman kita. Seketika, kamu mengambil langkah, kemudian memetik sebuah awan. Katamu, awam adalah jiwamu. Tiada tapi berasa.  Ohh, Mas Fendik terkasih, aku masih menggenggam awan itu hingga senja di tanggal 23 April.

Menyesali waktu sesungguhnya pekerjaan orang bodoh. Hanya orang-orang bodoh yang terus menggerutu masa lalu. Padahal ia tahu, bahwa waktu tidak dapat kembali. Seperti orang hendak menunggu tibanya pukul 13.00. Tentu tidak akan datang kan. Hanya ada 1-12 pada jam dinding.

... terkasih. Senja keemasan, menyimpan gelombang rindu. Keemasannya adalah harapan untuk kembali pagi, menyusun senyuman. Aku menyukai musim panas, ketika kamu memberi senyum. Kita saling melemah di antara rumputan menghijau. Memetik awan, kemudian kamu memintaku untuk menyimpan ke dalam tas.

Awan itu telah terkumpul. Ketika musim panas tiba, mereka saling berdialog, hendak menciptakan sebuah keajaiban perihal melepasmu.

Awan-awan itu membuat perkumpulan. Teramat berisik ketika musim panas tiba, dan sebentar kemudian mereka luruh menciptakan hujan untuk menenggelamkanmu, Mas.

Aku menyukai musim panas, dan membenci musim hujan tanpa kau bertanya, mengapa bisa.

Suci Ayu Latifah

24.02.2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun